BAB 3

511 57 1
                                    

Setelah insiden tak terduga di bandara, suasana di antara Jake dan Heeseung semakin memburuk. Jake, yang merasa bersalah namun tidak ingin memperburuk situasi, tetap diam sepanjang perjalanan menuju hotel di mana mereka akan menghabiskan malam pertama bulan madu mereka. Sementara itu, Heeseung duduk di sampingnya dengan perasaan hancur, hatinya seakan terpecah-pecah setelah mendengar Jake dengan mudahnya menyebut dirinya hanya sebagai "teman."

Jake dan Heeseung tiba di hotel yang cukup mewah dengan suasana elegan, namun aura canggung di antara mereka semakin terasa tebal. Saat mereka sampai di meja resepsionis, petugas hotel menyambut mereka dengan ramah, namun langsung mengabarkan bahwa hanya ada satu kamar yang tersisa.

Jake menghela napas dalam, berusaha menahan kekesalan yang sudah memuncak sejak di bandara. Tidak ingin memperpanjang waktu di lobi dan membuat situasi semakin tidak nyaman, Jake akhirnya menerima cardlock dengan berat hati. "Terima kasih," ujarnya dengan suara datar, sambil menyerahkan kartu identitas kepada resepsionis untuk di-scan.

Sementara itu, Heeseung hanya bisa diam, memegang kopernya dengan erat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi malam yang mungkin akan terasa panjang. Resepsionis kemudian menyerahkan kunci kamar pada Jake sambil memberikan senyum profesional. "Semoga Anda menikmati masa menginap Anda," ujar resepsionis itu.

Jake memberikan anggukan singkat tanpa balasan kata-kata, kemudian berbalik dan melangkah menuju lift, diikuti oleh Heeseung yang tetap membisu. Dalam hati, Heeseung merasa semakin terasing, tidak tahu harus bagaimana bersikap dalam situasi yang serba sulit ini. Ketika mereka akhirnya memasuki lift, keheningan semakin terasa mencekam, seolah-olah udara di sekitar mereka menjadi lebih berat. Keduanya sama-sama tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan.

Lift berhenti di lantai yang dituju, pintu terbuka, dan mereka keluar dengan langkah-langkah yang ragu. Jake memimpin jalan menuju kamar mereka, menghentikan langkah di depan pintu dengan nomor kamar yang sesuai. Dengan gerakan lambat, Jake menempelkan cardlock ke kotak sensor dan membuka pintu kamar. Tanpa banyak bicara, ia berjalan masuk, menyeret kopernya ke dalam ruangan.

Heeseung mengikuti dari belakang, mengamati kamar yang cukup luas namun terasa dingin dan asing. Perabotan mewah dan dekorasi elegan tidak mampu mengusir perasaan canggung dan ketidaknyamanan yang mendominasi ruangan. Jake segera duduk di tepi ranjang, membuka kopernya dengan gerakan cepat, seolah berusaha menghindari kenyataan yang tidak bisa diabaikan.

Heeseung, di sisi lain, meletakkan kopernya di sudut kamar, tidak yakin harus melakukan apa. "Aku... akan mandi dulu," ucapnya pelan, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan. Jake hanya mengangguk singkat, tetap sibuk dengan kopernya tanpa menatap Heeseung.

Dengan langkah perlahan, Heeseung berjalan menuju kamar mandi, berharap air hangat bisa menenangkan pikiran dan perasaannya yang kacau. Di belakangnya, Jake menghela napas panjang, merasa semakin terjebak dalam situasi yang ia ciptakan sendiri. Kedua pria itu tahu bahwa malam itu tidak akan mudah, namun keduanya juga tahu bahwa mereka harus menjalani kenyataan yang telah mereka pilih.

Malam itu, di kamar hotel yang mereka tempati, keheningan di antara mereka begitu tegang. Jake menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sementara Heeseung yang baru saja selesai membersihkan diri berdiri di depan jendela, menatap pemandangan malam kota yang berkilauan. Tangannya yang gemetar menyentuh kaca, mencoba menenangkan hatinya yang kacau.

"Jake," Heeseung akhirnya memecah keheningan dengan suara bergetar. "Apa... Apa aku ini benar-benar tidak berarti apa-apa untukmu?"

Jake terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya terdengar datar. "Kita menikah karena permintaan orang tua kita. Aku tidak pernah meminta pernikahan ini, dan aku yakin kamu juga tidak."

Kata-kata itu menembus hati Heeseung seperti belati. Dia tahu pernikahan ini tidak didasarkan pada cinta, tetapi mendengar Jake mengatakannya dengan cara yang begitu dingin membuat luka di hatinya semakin dalam.

Heeseung tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya dengan kasar. "Maaf karena menyeret mu dalam situasi ini, aku hanya ingin membuat ibuku bahagia di sisa hidupnya. Tapi... aku tidak tahu akan seperti ini rasanya."

Jake, meskipun hatinya juga sedikit terguncang oleh kejujuran Heeseung, tetap bersikeras untuk menjaga jarak. Dia tidak pernah ingin terlibat lebih dalam pernikahan ini, apalagi dengan situasi yang semakin rumit setelah insiden di bandara.

**

Hari-hari bulan madu mereka berlalu dalam keheningan yang membebani. Jake dan Heeseung lebih banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat terpisah, seolah berusaha untuk menghindari satu sama lain. Jake merasa kesulitan untuk menyembunyikan kegelisahannya setiap kali ia berpikir tentang Somi, sementara Heeseung tenggelam dalam perasaan terasing dan ketidakberdayaan.

Namun, satu malam, ketika Heeseung tidak bisa lagi menahan kesedihannya, ia mengunci diri di kamar mandi hotel. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin, merasakan beban yang begitu berat di pundaknya. "Apa yang harus aku lakukan, Bu?" bisiknya pelan.

Tangisan Heeseung yang tertahan akhirnya pecah. Dia merasa sendirian, terjebak dalam pernikahan yang tidak ia inginkan, bersama seseorang yang tidak mencintainya. Hatinya terasa begitu hancur, dan untuk pertama kalinya, dia merasa menyesal telah menerima perjodohan ini demi kebahagiaan ibunya.

Ketika Jake mendengar suara tangis dari kamar mandi, dia merasakan dorongan untuk masuk dan menenangkan Heeseung. Namun, dia menahan diri. Jake berjalan ke jendela dan membuka tirai, menatap langit malam yang gelap. Di luar, angin malam berhembus lembut, membawa dinginnya malam. Dia mengingat kembali pelukan Somi di bandara dan kebohongannya kepada gadis itu. Jake tahu bahwa pada akhirnya, dia harus menghadapi kenyataan-baik itu kepada Somi maupun kepada dirinya sendiri. Tetapi untuk saat ini, dia lebih memilih untuk tetap diam.

Malam itu, mereka tidur di tempat tidur yang sama, namun tetap terpisah oleh jarak yang lebih besar dari sekadar beberapa inci. Dan dalam keheningan itu, keduanya menyadari bahwa perjalanan hidup mereka tidak akan mudah, tetapi juga tidak ada jalan untuk mundur.

**

Keesokan paginya, saat matahari mulai menembus jendela kamar hotel mereka, Heeseung terbangun dengan mata yang bengkak karena menangis. Jake sudah bangun lebih dulu, duduk di sofa dengan ponsel di tangan, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Aku akan turun untuk sarapan," kata Jake datar tanpa menoleh, meninggalkan Heeseung sendirian di kamar.

Heeseung hanya mengangguk pelan, merasakan beban yang sama menyelimutinya seperti malam sebelumnya. Dia tahu bahwa dia harus kuat, tapi tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam pernikahan yang dingin dan tanpa cinta ini.

Mereka menghabiskan sisa bulan madu mereka dengan cara yang sama-tanpa kehangatan, tanpa keintiman, dan tanpa cinta. Ketika akhirnya mereka kembali ke rumah keluarga Shim, hubungan mereka tetap seperti semula-sebuah pernikahan dalam nama, tetapi bukan dalam hati.

TBC...

FATE  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang