BAB 4

480 53 2
                                    

Waktu terus berjalan, namun pikiran Jake terus dibayangi oleh pertemuannya dengan Somi di bandara. Ketika Heeseung dan Jake tinggal di hotel, hubungan mereka semakin renggang, sementara pikiran Jake lebih sering melayang pada janji yang dia buat kepada Somi. Akhirnya, Jake memutuskan untuk memenuhi janjinya bertemu dengan ayah Somi. Dia mengajak Jay dan Sunghoon, sahabat baiknya, yang juga dekat dengan Somi.

Hari yang ditentukan pun tiba. Jake, Jay, dan Sunghoon berkendara menuju rumah Somi yang terletak di daerah elit kota. Mereka berusaha menjaga suasana tetap santai meski Jake merasakan kegelisahan yang samar di dalam hatinya. Setibanya di rumah Somi, mereka disambut oleh gadis itu dengan senyum lebar yang langsung membuat suasana hati mereka sedikit lebih ringan. Somi tampak senang bisa berkumpul dengan mereka, terutama dengan Jake, kekasih yang sudah lama tidak bertemu dengannya.

"Sudah lama tidak melihat kalian!" seru Somi ceria, mempersilakan mereka masuk. "Dad sudah menunggu di ruang tamu."

Mereka bertiga masuk dan disambut oleh ayah Somi, seorang pria paruh baya dengan wajah bule yang tegas namun hangat. Dengan ramah, dia menyambut kedatangan mereka. "Ah, akhirnya kita bertemu, Jake. Senang sekali bisa bertemu kalian bertiga," ucapnya, menjabat tangan mereka satu per satu.

Setelah obrolan ringan dan dengan beberapa cangkir teh, suasana di ruang tamu mulai mencair. Ayah Somi, yang dipanggil "Daddy" oleh putrinya, mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang kehidupan kampus mereka, kegiatan sehari-hari, dan, tentu saja, hubungan Jake dengan Somi.

Ketika topik mulai menyentuh tentang masa depan, Daddy Somi, dengan nada yang tampak bercanda namun jelas mengandung makna, bertanya, "Jadi, Jake, kapan kamu akan menikahi putri kesayanganku ini?"

Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba dan membuat Jake, Jay, dan Sunghoon tersentak kaget. Mereka serempak tersedak saat mendengar ucapan tersebut, membuat suasana menjadi sedikit canggung. Jay dan Sunghoon mencoba menahan tawa mereka saat Jake berusaha memulihkan diri dari batuk yang tiba-tiba.

Somi, yang juga kaget dengan pertanyaan ayahnya, segera menyerahkan segelas air kepada Jake yang masih terbatuk-batuk. "Dad! Jangan bercanda seperti itu," protesnya dengan wajah memerah karena malu. Setelah menyerahkan air kepada Jake, Somi bergegas memberikan gelas-gelas air kepada Jay dan Sunghoon yang juga tersedak karena kaget.

"Hahaha, kalian memang benar-benar sahabat sejati, tersedak bersama seperti itu," kata Daddy Somi sambil terkekeh melihat kekompakan mereka. Ucapannya menambah rasa canggung namun juga membuat suasana kembali ringan dengan tawa yang meledak di ruangan itu.

Namun, di balik tawa dan canda itu, Jake merasa berat di dadanya. Meskipun Daddy Somi terdengar bercanda, Jake dapat merasakan keseriusan yang tersirat dalam ucapannya. Jake tahu bahwa hubungan mereka telah berjalan cukup lama, dan tuntutan untuk membawa hubungan itu ke tahap yang lebih serius semakin terasa.

Setelah beberapa saat, suasana kembali tenang. Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, namun pertanyaan tadi terus menggelayuti pikiran Jake. Jay dan Sunghoon pun menyadari ketegangan yang dirasakan Jake, meski mereka tidak membicarakannya di depan Somi dan ayahnya.

Ketika akhirnya pertemuan itu usai, dan mereka berpamitan, Jake tidak bisa mengusir bayangan pertanyaan tadi dari pikirannya. Saat mereka bertiga meninggalkan rumah Somi, Jay, yang biasanya cerewet, terdiam selama perjalanan pulang. Sunghoon sesekali melirik Jake, seolah ingin bertanya sesuatu, namun memilih untuk tetap diam.

Di dalam hatinya, Jake tahu bahwa ada keputusan besar yang harus dia ambil. Pertemuan itu, meski singkat dan diselingi tawa, telah membuka mata Jake akan kenyataan yang harus dia hadapi: Somi menginginkan lebih dari sekadar hubungan pacaran, dan ayahnya ingin melihat putrinya bahagia bersama Jake.



***



Pagi itu, langit masih kelabu saat Jake Shim melangkahkan kakinya menuju kampus. Matahari belum sepenuhnya naik, namun suasana hatinya sudah terasa mendung. Jake berjalan bersama dua sahabatnya, Jay dan Sunghoon, menyusuri koridor kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa. Seperti biasa, mereka menarik perhatian banyak orang. Tak hanya karena wajah tampan dan karisma mereka, tetapi juga karena reputasi mereka sebagai trio paling populer di kampus. Namun, popularitas yang mereka miliki tidak datang tanpa harga; selalu ada persaingan, dan rivalitas terbesar mereka adalah Nicholas dan gengnya.

Nicholas, yang satu angkatan dengan Jake, Jay, dan Sunghoon, adalah sosok yang juga terkenal di kampus. Bersama gengnya yang terdiri dari tiga orang lainnya, Nicholas menikmati popularitas yang hampir setara dengan trio Jake. Namun, satu hal yang membuat Nicholas geram adalah kenyataan bahwa Jake, Jay, dan Sunghoon selalu berada di puncak-baik dalam hal akademik, prestasi, maupun perhatian para wanita. Peringkat tertinggi selalu diduduki oleh Jake, Jay dan Sunghoon hal ini lantas menjadi salah satu pemicu utama permusuhan antara dua kubu tersebut.

Permusuhan ini semakin membara ketika gadis yang diam-diam dicintai Nicholas, Somi, ternyata lebih memilih Jake. Nicholas merasa Jake telah merebut Somi darinya, meskipun kenyataannya Somi sendiri yang menolak Nicholas. Namun, hal itu tidak menghentikan Nicholas. Dia semakin gencar mendekati Somi, meski harus berhadapan dengan Jake. Di mata Nicholas, Jake adalah musuh nomor satu yang harus disingkirkan.

Pagi itu, saat Jake, Jay, dan Sunghoon melangkah melewati lorong kampus, mereka berpapasan dengan Nicholas dan gengnya. Mata Jake dan Nicholas bertemu sejenak, dan atmosfer di sekitar mereka langsung berubah tegang. Tanpa basa-basi, Nicholas sengaja menyenggol bahu Jake dengan keras, membuat tubuh Jake terhuyung mundur beberapa langkah.

"Sialan," umpat Jake kesal, suaranya rendah tapi penuh amarah. Nicholas hanya tersenyum sinis, sementara teman-temannya tertawa kecil, seolah menikmati ketegangan yang mereka ciptakan.

Sunghoon, yang sejak tadi menahan diri, langsung terpancing. Ia hampir saja melayangkan tinju ke wajah EJ, salah satu anggota geng Nicholas, namun Jay dengan sigap menahan lengannya. Jay tahu, keadaan bisa berakhir buruk jika mereka mulai bertindak kasar.

"Tenang, Sunghoon," bisik Jay, mencoba menahan emosi sahabatnya itu. Ia kemudian melirik Jake, yang wajahnya sudah memerah, rahangnya mengeras, dan tangan terkepal erat di sisi tubuhnya. Jay mengenal Jake terlalu baik; saat sahabatnya itu marah, tidak ada yang bisa menghentikannya. Tapi kali ini, Jay harus mencoba. Dia dengan cepat meraih lengan Jake, menariknya menjauh dari Nicholas sebelum segalanya semakin parah.

Namun, baru beberapa langkah mereka menjauh, suara Nicholas kembali terdengar, dan kali ini ucapannya benar-benar menusuk.

"Player kaya lo hebat juga ternyata," ucap Nicholas dengan nada meremehkan, suaranya jelas terdengar di seluruh lorong. "Bisa pacaran selama ini sama Somi. Gue jadi penasaran gimana rasanya kalau lagi 'main' sama dia."

Kata-kata itu seolah menyalakan sumbu bom dalam diri Jake. Tanpa berpikir panjang, Jake berbalik dan melesat ke arah Nicholas. Amarah yang sudah ia tahan sejak pagi akhirnya meledak.

"Bangsat!" teriak Jake, dan dengan satu pukulan telak, ia menghantam wajah Nicholas hingga lelaki itu terjatuh keras ke lantai. Nicholas mengerang kesakitan, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya. Jake baru akan melayangkan pukulan kedua ketika sebuah suara memanggilnya dari belakang, menghentikan gerakannya.

"Jake!" suara itu milik Somi, yang berlari menghampiri mereka. Keributan yang terjadi di lorong kampus itu sudah memancing perhatian banyak orang, dan sekarang, mereka berkumpul menyaksikan dua kelompok mahasiswa populer ini berkelahi.

Jake menoleh ke arah Somi, matanya masih dipenuhi kemarahan. Namun, melihat wajah khawatir Somi, kemarahannya sedikit mereda. Somi dengan lembut meraih lengannya, mencoba menariknya menjauh dari Nicholas yang masih tergeletak di lantai, tertawa sinis meski dengan darah di bibirnya.

"Sudahlah, Jake... Ayo pergi dari sini," bisik Somi pelan, matanya memohon. Jake menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Dengan enggan, ia membiarkan Somi menuntunnya pergi, meninggalkan Nicholas yang masih tersenyum mengejek di belakang mereka.

Jay dan Sunghoon mengikuti mereka, meninggalkan kerumunan yang masih berbisik-bisik tentang apa yang baru saja terjadi. Nicholas mulai dibantu berdiri oleh teman-temannya, tapi tatapan matanya yang penuh kebencian tertuju pada punggung Jake yang semakin menjauh.

Permusuhan di antara mereka jelas belum berakhir. Bahkan, mungkin semakin parah.



TBC...

FATE  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang