"Evan..."
Suara itu, suara yang begitu dikenalinya, membuat napas Evan tersengal-sengal. Ia berbalik perlahan, dan di ujung lorong, matanya bertemu dengan sosok Jake, yang duduk di atas kursi roda dengan wajah pucat, namun tersenyum lemah. Jessi, yang berada di belakang Jake, mendorong kursi rodanya dengan lembut, sementara Vincent, suami Jessi, berdiri di sampingnya, memberi isyarat halus agar mereka memberi ruang bagi kedua pria itu.
Evan menatap Jake tanpa berkedip, seolah tak percaya bahwa pria yang begitu ia cintai benar-benar ada di depannya. Dengan perlahan, Evan mendekati Jake, setiap langkah terasa berat karena emosi yang meluap-luap di dalam dadanya.
Ketika ia akhirnya sampai di hadapan Jake, ia berjongkok di depan pria itu, ingin memastikan mereka sejajar. Air mata Evan jatuh semakin deras, pipinya kini basah oleh emosi yang tak lagi bisa ditahan. Tangan Evan yang gemetar terulur, dengan lembut menyentuh pipi Jake, merasakan kehangatan yang mengalir dari kulit pria itu.
Jake, meskipun lemah, terkekeh kecil. "Jangan menangis, sayang. Aku baik-baik saja," ujarnya sambil menutup mata, tampak menikmati sentuhan lembut di pipinya yang basah oleh air mata Evan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meskipun matanya tetap tertutup, seolah ia ingin menenangkan Evan dengan setiap kata yang diucapkannya.
Namun, Evan tak bisa menahan diri. Suaranya pecah, lirih, saat ia berbicara, "Maafkan aku, Jake..." Nada suaranya penuh dengan rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam.
Jake segera menggeleng, membuka matanya dan menatap Evan dengan penuh kasih sayang. "Ini bukan salahmu, Evan. Kau tidak perlu meminta maaf. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama."
Namun, sebelum Jake bisa melanjutkan, Evan memotong dengan nada yang lebih mantap, "Heeseung." Nama itu, nama yang telah lama terkubur dalam memorinya, meluncur dari bibir Evan. Jake terkejut, matanya melebar saat ia menatap Evan dengan kebingungan yang jelas.
"Aku ingat... Aku ingat semuanya, Jake," Evan-atau lebih tepatnya, Heeseung-berkata dengan senyum kecil di bibirnya, meskipun air mata masih mengalir deras. "Maafkan aku, Jake. Maafkan aku, sayang. Aku telah melupakanmu... tapi sekarang aku ingat, aku ingat segalanya."
Jake tak bisa berkata-kata. Ekspresi wajahnya berganti antara keterkejutan, kebahagiaan, dan kelegaan yang mendalam. Dengan penuh rasa syukur, ia menarik Heeseung ke dalam pelukannya, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskan. Tubuh mereka bergetar di bawah beratnya emosi yang telah lama terpendam.
"Aku mencintaimu, Heeseung... Aku sangat merindukanmu," Jake berbisik di telinga Heeseung, suaranya bergetar oleh emosi yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya suara isak tangis keduanya yang terdengar, menyatu dalam kehangatan cinta yang kembali ditemukan setelah sekian lama hilang.
"Tidak sia-sia aku mengatur kepindahan dari Australia ke LA setahun yang lalu," bisik Vincent pelan, dengan nada puas di balik isak tangis Jessi yang berdiri di sampingnya. Jessi, meski air mata masih mengalir di pipinya, tak bisa menahan diri untuk tidak terkekeh kecil mendengar ucapan suaminya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meski matanya masih penuh dengan air mata.
Vincent tersenyum samar, pikirannya kembali melayang ke setahun yang lalu-momen yang menjadi titik balik dalam hidup mereka semua. Ia teringat dengan jelas bagaimana ia pergi ke LA untuk sebuah pemotretan, kesempatan yang pada awalnya tampak biasa saja. Tapi di sanalah, di tengah hiruk-pikuk kota LA, ia bertemu dengan seorang pria yang langsung menarik perhatiannya. Pria itu adalah Evan, nama yang digunakan Heeseung saat itu. Meski penampilan dan sikapnya berbeda, ada sesuatu di balik mata pria itu yang mengingatkan Vincent pada Heeseung, adik iparnya yang hilang di sungai Danube.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE [JAKESEUNG]
RomantiekCerita ini mengikuti Jake Shim, yang harus menikahi Lee Heeseung, seorang intersex, untuk memenuhi janji ibunya, Maretta Shim, kepada sahabatnya, Lee Amera. Janji ini dibuat untuk melindungi dan memberikan masa depan yang aman bagi Heeseung setelah...