O4

10 3 0
                                    

Hi-! Part 4 siap buat nemenin ur dayy ^^
Enjoy this chapter yyy-♡



Walaupun sama sekali tidak ada percakapan yang tercipta, untungnya Alin sampai tujuan dengan keadaan sehat dan utuh. 

"Makasih, ya," tutur Alin ketika taksi sudah berhenti di depan gerbang sekolahnya. 

Laki-laki yang menawarkan tumpangan tadi menoleh, "bukannya hari libur? Kok ke sekolah?"

Alin berdeham pelan, menetralkan suaranya. "Latihan paskibra, hehe."

Laki-laki tadi ber-oh tanpa suara, kemudian menjulurkan tangan kanannya. "Ajun."

Alin mengangkat alis sejenak. Uh, apakah ini sesi perkenalan? 

"Zaylin," jawabnya ramah seraya menyambut uluran tangan itu. Tidak mau lebih lama hanyut dalam obrolan, Alin segera pamit dan turun dari taksi. Toh, tidak enak juga kepada sopir taksi yang sejak tadi hanya menyimak.

Setelah memastikan taksi tadi pergi, Alin menghela napas lega. Tidak sadar bahwa sejak tadi dirinya tidak bernapas dengan teratur. 

Jadi namanya Ajun? Hehe, lumayan juga. 

Udah ganteng, wangi, baik, sopan, tidak menyuruhnya membayar taksi lagi. Uang yang Alin berikan untuk membayar ongkos ditolak oleh Ajun. Katanya, 'kan aku yang nawarin.'

Ternyata masih ada waktu sebelum latihan dimulai. Alin melangkah santai masuk ke dalam sekolah. Memilih untuk menaruh tas dan botol minumnya di kelas dulu. Bibirnya masih saja terangkat ke atas, membayangkan laki-laki tadi seperti tokoh di drama korea. 

"Lin?"

Langkahnya tiba-tiba berhenti, diikuti senyuman gilanya yang ikut meluntur. Alin membalik badan, mengikuti sumber suara. "Kak Ji?"

Setelah benar-benar yakin bahwa sosok yang ada di hadapannya ini adalah Jibran, Alin segera celingak-celinguk ke sekitar. "Ngapain di sekolah, Kak? Sama siapa?" 

Pasalnya, Alin memiliki alasan jelas untuk datang ke sekolah di hari libur ini. Oh, apa semua murid pintar juga akan datang ke sekolah walaupun hari minggu?

Jibran menggaruk tengkuknya, "eum, dari ruang musik."

Alin mengangguk saja sebagai jawaban.

Eum, kira-kira tanya apa lagi ya?

"Lo? Paski?" Tebak Jibran sekenanya. 

"Iya, Kak. Hari penentuan buat ngumumin siapa yang lolos jadi peserta lomba, do'a in ya." 

"Mau ke kelas dulu? Atau gimana?" Jibran melangkahkan kakinya mendekati Alin. Alin pun menyingkirkan diri, kemudian berjalan beriringan. 

"Mau ngadem aja sih, Kak. Latihannya belum dimulai," ucap Alin menatap ke depan koridor. "Btw, ke ruangan musik ngapain, Kak?"

Pertanyaan itu tidak langsung terjawab. Jibran diam cukup lama, kemudian menoleh. Menatap Alin dari samping cukup intens. "Lo, ada satu hal yang dilarang sama ortu tapi tetep dilakuin, nggak?"

Tentu pertanyaan itu membuat Alin menghentikan langkahnya. "Maksudnya?"

Walaupun Alin sudah paham jelas tentang pertanyaan yang dilontarkan kakak kelasnya ini, tapi masa iya langsung memberi jawabannya?

"Gue nggak boleh main musik sama Bunda, Lin. Tapi gue suka musik," ujar Jibran menyandarkan dirinya ke pagar pembatas. Oh, Alin paham.

"Nyembunyiin alat musik di ruang musik sekolah?" Reka Alin yang membuat Jibran terkekeh. 

I'm Home, BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang