Sang bagaskara siang ini nampak begitu berani, dengan gagah menampakkan diri lebih tinggi. Mega putih bak permen kapas ikut menemani, menghiasi bumantara yang biru bak permata. Cerah sekali, secerah senyuman pria kecil yang kini tengah mematut diri didepan cermin.
"Arfa!" Suara Aisha yang cukup lantang berhasil mencuri perhatian Arfa.
"Iya, Kak," sahut Arfa tak kalah keras.
"Ayo!"
Arfa beranjak dari kamarnya, berlari kecil menghampiri Aisha di ruang tengah. "Iya, sebentar."
"Arfa!" Lagi-lagi suara kakaknya yang cukup nyaring itu terdengar, menggema di setiap sudut rumah.
"Iya, Kak."
"Ayo!"
Arfa mempercepat langkahnya yang sudah cukup dekat dengan Aisha, hanya tersisa beberapa langkah lagi. Namun sepertinya kesabaran kakaknya yang satu ini setipis tisu. Teriakannya kembali terdengar memanggil Arfa.
"Arfathan!"
Arfa menatap jengah punggung Aisha. Ia menarik pelan ujung jilbab Aisha yang cukup panjang. "Ini, Kak," sahutnya mulai lelah.
Aisha berbalik, sedikit menunduk menatap adik lelakinya itu. "Ayo." Ia menarik lengan kecil Arfa, membuat pria kecil itu sedikit terkejut.
Arfa mencibir pelan disela langkahnya, "gak sabaran."
~888~
Ting!
Ting!
Ting!
Ayra meringis pelan. Bunyi notifikasi beruntun dari ponsel yang sialnya lupa ia senyapkan itu membuatnya menjadi pusat perhatian. Ia menatap tak enak beberapa pasang mata didekatnya yang sepertinya sedikit terganggu karena notifikasi ponselnya. Jemarinya bergerak menekan tombol volume dari ponsel yang sengaja ia simpan terbalik diatas meja, berharap bunyi notifikasi itu tak terdengar lagi.
We can't be friends
But I'd like to just pretend
Mata Ayra membola sempurna. Sepertinya ia salah menekan tombol. Alih-alih membuat senyap, ponselnya justru berdering semakin keras. Sialnya disaat seperti ini justru dering telepon yang berbunyi. Jemarinya kembali bergerak cepat menekan tombol volume hingga suara penyanyi asal amerika itu tak terdengar lagi.
Ayra meringis pelan, kembali melayangkan tatapan tak enak pada rekan-rekannya. "Sorry."
'Kenapa harus ada yang nelepon, sih?' batinnya menggerutu.
"Diangkat dulu aja, Ra." Keenan-ketua himpunan yang tengah memimpin rapat- memberi arahan, membuat Ayra yang tengah menunduk menahan malu sedikit terperanjat.
"Hah?" cetus Ayra tanpa sadar.
Keenan tersenyum kecil. Ia mengulangi ucapannya, "diangkat dulu aja, Ra."
"Barangkali penting," tambahnya kemudian.
Ayra tersenyum kikuk. "Izin sebentar, ya, Kak." Ia beranjak dari tempatnya, keluar dari forum setelah mendapat izin dari kakak tingkatnya itu.
Langkah Ayra berhenti di depan ruang ormawa. Ia membuka ponselnya yang sudah dibanjiri notifikasi pesan dan panggilan dari adik perempuannya. Aisha terus menghubunginya sejak tadi. Ayra tahu gadis itu pasti menagih janji untuk menemaninya menonton film adaptasi dari salah satu novel koleksinya yang baru-baru ini tayang di bioskop.
Tapi timing-nya kurang tepat.
Drrtt... Drrtt... Drrtt....
Baru saja dirinya akan menelepon balik. Namun kalah cepat. Aisha yang kukuh dan keras kepala sepertinya tak akan bosan menghubungi Ayra hingga gadis itu mendapat apa yang ia inginkan.
"Ha-"
"Kakak kemana aja, sih? Susah banget dihubungin dari tadi. Kakak gak lupa, kan, hari ini mau nemenin Ais nonton? Ais sama Arfa udah di bioskop nungguin kakak. Ayo buruan!"
Ayra kembali menjauhkan ponsel dari telinganya. Belum ada satu kata ia berbicara, adiknya itu sudah nyerocos begitu saja. Ayra menggeleng kecil menatap ponsel dengan nama panggilan Aisha di layarnya. Gadis remaja ini kesabarannya benar-benar setipis tisu.
Ayra menghela nafas pelan sebelum kembali mendekatkan ponsel digenggamannya pada daun telinga. "Salam dulu, Aisha," tegurnya berusaha tetap lembut.
"Assalamu'alaikum," ujar suara diseberang sana terdengar sedikit ketus.
Ayra tersenyum kecil. "Wa'alaikumussalam."
"Kakak dimana? Ayo buruan kesini! Gak lupa, kan, udah ada janji sama Ais?"
~888~
Gradasi warna oranye dan merah memantulkan sinar senja yang indah. Sang bagaskara terlihat mulai kembali bersembunyi di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berakhir. Dua langkah besar dengan satu langkah kecil ditengahnya terus menyusuri area jalan Soekarno, menikmati senja sembari bercengkrama ria.
"Kak, ada pameran foto," ujar Aisha dengan mata yang berbinar. Jari telunjuknya menunjuk puluhan foto yang terpajang di taman kota.
"Ayo kesana, Kak." Kini Arfa ikut bersuara. Pria kecil itu lagi-lagi menarik ujung bajunya.
Ayra terkekeh kecil. Ia mengangguk mengiyakan, "iya, ayo."
"Yeayy!!" Arfa bersorak kegirangan. Kaki kecilnya berlari tanpa aba-aba, membuat kedua kakaknya sontak menegur bersamaan.
"Jangan lari, Arfa!"
Bugh!
"Aduh ...."
~TBC~
![](https://img.wattpad.com/cover/373528619-288-k184028.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Bu! (Segera Terbit)
Chick-LitAku pernah menemukan kalimat seperti ini, 'hidup tanpa ibu itu bagaikan rumah tanpa lampu'. Awalnya aku tak begitu paham. Namun semesta seolah ingin aku memahaminya. Aku Ayra. Aku akan sedikit bercerita tentang teater kehidupan yang aku lakoni. Te...