[Tante bikin nasi goreng udang kesukaan kamu.]
[Dimakan, ya, Cantik.]
Kedua sudut bibir Ayra terangkat sempurna. Kedua ibu jarinya aktif menari diatas layar, mengetikkan balasan pada Tante Fira. Perempuan yang sudah seperti ibu kedua baginya itu begitu perhatian pada Ayra dan kedua adiknya.
[Tenang, Tan, tanpa tante suruh, pun, nasi gorengnya pasti mendarat di perut Ay.]
[Terimakasih banyak, ya, Tan.]
"Punten, go-food."
Ayra sedikit terperanjat ditempatnya. Pupil matanya berotasi kala mendapati sahabat kecilnya tengah menyengir lebar dengan sebuah paper bag ditangannya.
"Tahu dari mana lo gue ada disini?" tanya Ayra sedikit heran. Pasalnya ia hanya mengatakan pergi ke mushola pada Aisha tadi. Dirinya juga belum sempat membalas pesan pria itu.
"Mata gue jeli kalau buat nyari lo, Ay," jawab Elzan sedikit angkuh.
"Dih, nyebelin." Ayra menggeser duduknya, memberi ruang untuk sahabat kecilnya itu.
"Nih, nasi goreng udang spesial buat lo." Elzan memberikan paper bag yang ternyata berisi nasi goreng padanya. Matanya memicing menatap Ayra yang langsung melahap nasi gorengnya begitu saja. Ia berdehem kecil dan menyindir gadis disampingnya itu, "sama-sama."
Sesendok nasi mengambang di udara karena pergerakan Ayra yang sempat tertahan. Ia menoleh menatap Elzan dengan alis terangkat, kemudian mengendik acuh tanpa menghiraukannya.
"Ih, cantik-cantik gak tau terimakasih." Elzan kembali menyindir sahabatnya itu.
Pergerakan Ayra kembali tertahan. Ia melirik Elzan dengan ekor matanya. "Ganteng-ganteng mulutnya lemes kayak cewe," balasnya.
"Lah, kocak, bukannya bilang makasih, Lo."
Ayra mengendik acuh. "Udah bilang makasih gue."
"Makasih pake bahasa kalbu, Lo, huh?"
Ayra mencebik. Ia mengambil kembali ponsel yang sebelumnya dimasukkan dalam saku, menunjukkan room chat dirinya dengan Tante Fira pada Elzan.
"Itu, kan, sama bunda, bukan sama gue."
Ayra menghela nafas pelan. Malas berdebat lebih panjang dengan manusia menyebalkan itu, akhirnya ia mengalah. Ayra menarik paksa kedua sudut bibirnya. "Terimakasih, Elzan," ucapnya penuh penekanan.
~888~
Dua pasang kaki dengan ukuran yang cukup jauh berbeda melangkah beriringan menyusuri koridor rumah sakit. Pertengkaran-pertengkaran kecil karena tingkah jahil salah satu diantara mereka membuat keduanya tak jarang mencuri perhatian beberapa pasang mata disana.
"Ish! Diem gak?!" Ayra yang mulai geram menghentikan langkahnya. Ia menatap kesal manusia menyebalkan yang tangannya tak bisa diam sejak tadi, terus saja menjahilinya.
Elzan-si manusia menyebalkan-menempelkan tangannya pada dahi seperti tengah hormat. Matanya memicing, kepalanya celingukan seperti sedang mencari seseorang. "Kayak ada yang ngomong," gumamnya membuat sebuah cubitan mendarat di pinggangnya.
"Maksud, Lo?" Ayra melotot, menatap geram pria dengan kaus hitam itu.
"Eh?" Elzan memasang wajah terkejut. Ia tersenyum menyebalkan pada Ayra. "Disini ternyata."
Ayra berdecak kesal. Sungguh, manusia ini bukan hanya menyebalkan, tapi tengil. Ia menghembus kasar sembari membuang muka. Tangannya menyilang di dada. Kakinya menghentak kasar lantai rumah sakit.
"Dasar tiang listrik," sindir Ayra geram.
"Dih, iri." Sepertinya Elzan gemar sekali membuat Ayra kesal. Ia terus saja menggoda gadis itu.
"Makanya, tumbuh, tuh, ke atas, Ay." Elzan sedikit menunduk. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga Ayra, berbisik pelan pada gadis itu, "bukan kesamping."
Ayra mendelik. "Apa, sih, manusia?" ketusnya.
Sepertinya pertengkaran diantara keduanya tidak akan selesai begitu saja. Sifat jahil Elzan jika sudah bertemu batas kesabaran Ayra yang mendadak tipis setipis tisu membuat keduanya sulit akur. Tingkah keduanya mendadak seperti anak kecil jika sudah begitu.
"Tuh, Kak Ay."
Ayra memicing menatap punggung pria disamping ranjang Arfa saat dirinya membuka pintu ruangan dimana adik kecilnya itu dirawat. Kakinya melangkah lebih dalam, diikuti Elzan dibelakangnya. Belum sampai satu langkah, pemilik punggung tegap itu menoleh.
"Mas Ziyad?"
~TBC~
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Bu! (Segera Terbit)
ChickLitAku pernah menemukan kalimat seperti ini, 'hidup tanpa ibu itu bagaikan rumah tanpa lampu'. Awalnya aku tak begitu paham. Namun semesta seolah ingin aku memahaminya. Aku Ayra. Aku akan sedikit bercerita tentang teater kehidupan yang aku lakoni. Te...