"Bukannya Arfa sudah pulang, ya, Mbak?"
Kening Ayra berkerut samar saat Ms.Fia balik bertanya padanya. "Sudah pulang, Ms?" tanyanya kembali memastikan.
Ms.Fia mengangguk mengiyakan. "Arfa langsung pulang begitu selesai kelas, Mbak. Saya kira Mbak Ayra memang sudah menjemput, karena Arfa gak ada balik lagi dan menanyakan Mbak seperti biasa."
Ayra menghela nafas panjang. Kerutan di keningnya kian kentara. Ia baru sempat menjemput Arfa setelah dzuhur karena kelasnya baru selesai. Tapi anak itu sudah tidak ada di sekolahnya. Pantas saja Ms.Fia tidak menelepon atau mengiriminya pesan seperti biasa setiap Ayra telat menjemput.
'Apa Aisha yang jemput?' batinnya mulai menerka. 'Tapi gak mungkin. Kalaupun Aisha yang jemput, dia pasti bilang dulu.'
"Mbak Ayra."
"Ya?" Ayra mengerjap, sedikit terkejut karena lamunannya. Ia bergumam kecil dan kembali bertanya, "Maaf, Ms, apa Ms sempat melihat, Arfa pulang sama siapa?"
Ms. Fia menghela nafas pelan dan menggeleng kecil. "Kebetulan enggak, Mbak."
Ayra ikut menghela nafas. Apa mungkin Arfa memang sudah dirumah? Tapi pulang sama siapa anak itu?
Ayra kembali menoleh pada Ms. Fia. "Yasudah, Ms, terimakasih banyak, ya. Saya coba cek ke rumah, semoga saja Arfa memang sudah pulang," ucapnya kemudian.
"Iya, Mbak, semoga Arfa nya memang sudah dirumah, ya."
"Aamiin." Ayra mengangguk kecil. "Yasudah, mari, Ms. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, berkabar, ya, Mbak."
~888~
Sebuah ferari hitam dengan plat D berhenti didepan rumah minimalis dengan gerbang yang tak terlalu tinggi. Sepasang mata dengan iris kenari dibalik jendela sedikit memicing menatap rumah dengan kebun kecil halamannya itu. Ia menoleh, menatap dua bocah laki-laki di kursi belakang.
"Rumahnya bener yang ini, Fa?" tanyanya pada salah satu dari mereka.
"Bener, Abang, ini rumah Arfa," jawab Arfa setelah melirik rumahnya dari balik jendela.
"Tapi, kok, sepi, Fa?" tanya Faras disampingnya. Bocah laki-laki itu ikut memperhatikan rumah dengan dominan putih pada catnya didepan sana.
"Kalau siang emang sepi, soalnya kakak-kakak aku, kan, gak ada, pada sekolah,"
Faras menoleh menatap Arfa. "Emangnya ibu Arfa gak ada dirumah?"
Arfa menggeleng kecil. "Ibu Arfa kerja, Faras."
Bibir Faras membulat lucu. Ia mengangguk beberapa kali, membuat Abangnya di kursi kemudi terkekeh gemas. Pemilik netra kenari itu kembali melirik gerbang hitam dari balik jendela.
"Arfa, gerbangnya digembok gak?"
"Biasanya enggak, Bang."
Ziyad-abangnya Faras- mengangguk kecil. Ia kembali bertanya pada teman adiknya itu, "kita mau nunggu disini atau disana?" Tangannya menunjuk rumah Arfa yang memang nampak sepi.
Alih-alih menjawab, Arfa justru balik bertanya pada Faras. "Faras mau dimana?"
Faras menoleh. Ia nampak berpikir sejenak. Telunjuk yang sebelumnya bertengger manis di pipi gembulnya beralih menunjuk rumah Arfa. "Disana aja, yu, Faras mau lihat rumah Arfa."
"Boleh." Arfa kembali menatap Ziyad yang menunggu jawabannya. "Disana aja, Bang."
"Oke, kalau begitu." Ziyad membuka kunci pada pintu mobilnya. Matanya menatap Arfa dan Faras dari kaca spion. "Kita turun."
Dua pria kecil yang masih setia dengan seragamnya itu turun lebih dulu, diikuti Ziyad di belakangnya. Arfa berlari kecil ke sebelah kanan untuk membuka pintu gerbang. Ia menarik lengan Faras untuk ikut bersamanya.
"Ayo, kita tunggu di teras," ujarnya antusias. "Nanti kita ke kamar Arfa, ya."
Faras mengangguk semangat. "Ayo, ayo!" sahutnya tak kalah antusias.
Ziyad terkekeh di belakangnya. Ia tak berhenti dibuat gemas oleh interaksi kedua bocah itu. Tak sampai setengah jam ketiganya menunggu, grand filano biru yang tadi pagi dilihatnya di sekolah kini terparkir di halaman. Seorang perempuan dengan pakaian yang masih sama seperti tadi pagi melepas helem dan turun menghampiri ketiganya.
"Mas nya lagi?"
~888~
Tok! Tok! Tok!
Kening Ayra berkerut samar mendengar suara ketukan dari pintu utama. Kepalanya sedikit maju, mengintip pintu yang sebetulnya tidak akan terlihat dari tempatnya berdiri sekarang. " Siapa yang bertamu?" monolognya bertanya.
"Aisha!" panggilnya kemudian dengan suara yang cukup lantang. "Tolong bukain pintu!"
"Iya, Kak," sahut Aisha tak kalah keras.
Ayra melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Ia menuangkan air panas pada gelas yang sudah diisi susu bubuk sebelumnya. Salah satu rutinitas baru menjelang tidur yang sepertinya tak bisa lagi ia lewatkan, membuat susu untuk Arfa. Tak lupa dua cangkir cokelat panas untuk dirinya, dan Aisha tentunya.
"Selesai," gumamnya setelah menuangkan air panas pada cangkir terakhir miliknya. Ia membawa ketiga minuman itu dengan bantuan square tray yang sengaja diambilnya dari rak.
"Kak, tunggu!"
Baru saja kakinya akan melangkah, namun kalah cepat oleh suara Aisha. Gadis remaja dengan piyama doraemon itu berjalan ke arahnya dengan wajah yang lebih berbinar.
"Biar Ais aja yang bawa," ujar Aisha membuat Ayra sedikit heran melihatnya.
"Tumben."
Aisha menyengir lebar menanggapi ucapan kakaknya. "Mau buat kopi sekalian."
"Buat siapa?"
"Iiiii, kepo," jawab Aisha membuat Ayra mendelik.
Jawaban yang menyebalkan.
"Kak Ay!" Ayra mengalihkan fokus saat suara Arfa terdengar memanggilnya dari ruang tengah.
"Iya, Arfa, sebentar."
Adik kecilnya itu kembali berteriak. Kali ini memberi tahu sebab binar diwajah Aisha yang akhirnya menular padanya. "Ayah pulang."
~TBC~
![](https://img.wattpad.com/cover/373528619-288-k184028.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang, Bu! (Segera Terbit)
Literatura FemininaAku pernah menemukan kalimat seperti ini, 'hidup tanpa ibu itu bagaikan rumah tanpa lampu'. Awalnya aku tak begitu paham. Namun semesta seolah ingin aku memahaminya. Aku Ayra. Aku akan sedikit bercerita tentang teater kehidupan yang aku lakoni. Te...