Setelah semua kejadian di kampus, Reva merasa semakin lelah dengan tekanan yang datang bertubi-tubi. Meski sahabat-sahabatnya, Rangga, Naura, dan Halim selalu berada di sisinya, Reva tahu bahwa ini bukan hanya masalah yang bisa diselesaikan di lingkaran pertemanan. Ini soal harga diri dan keamanan dirinya.
Di tengah semua kekacauan itu, Reva memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya di akhir pekan. Rumah keluarganya terletak di daerah pinggiran kota yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kampus. Ia merasa butuh dukungan moral dari keluarganya, terutama dari ibunya, Intan, yang selalu menjadi tempat curhatnya.
Saat Reva memasuki rumahnya, aroma masakan khas ibunya langsung menyambutnya. Ibu Reva, Intan, yang selalu hangat dan perhatian, sedang memasak di dapur. Dia adalah sosok wanita yang kuat, tetapi lembut hati. Ayah Reva, Fachri, seorang pengusaha sederhana, sedang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
“Reva! Kamu pulang, Nak?” sapa Intan dengan senyum lebar. Ia segera mematikan kompor dan menghampiri Reva, memeluknya erat. "Ibu kangen, sudah lama nggak ketemu."
Reva membalas pelukan ibunya, merasakan hangat dan nyaman. “Aku juga kangen, Bu.”
Fachri menoleh dari kursinya dan menurunkan koran yang sedang dibacanya. “Eh, putri kesayangan Papa pulang. Gimana kuliahnya, Va? Lancar?”
Reva tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kekhawatiran. “Lancar, Pa... cuma ada beberapa masalah aja di kampus.”
Intan langsung merasakan ada yang tidak beres. “Masalah apa, sayang? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Ceritain ke Ibu dan Papa.”
Setelah duduk bersama di ruang makan, Reva akhirnya menceritakan semuanya—tentang Mutia, Rein, Gisa, dan semua yang terjadi di kampus belakangan ini. Intan mendengarkan dengan seksama, sesekali menghela napas panjang. Fachri, yang biasanya tenang, mulai menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran.
“Anak-anak zaman sekarang ya, mainannya sampai seperti itu,” gumam Fachri sambil menggelengkan kepala. “Kalau Papa jadi kamu, mereka pasti sudah Papa laporin ke pihak kampus.”
Reva mengangguk. “Rangga dan teman-teman juga bilang begitu, Pa. Tapi aku nggak tahu, aku takut malah mereka semakin nekat.”
Intan, yang masih memegang tangan Reva, berkata dengan lembut, “Nak, kamu harus tahu kalau kamu nggak sendirian. Ibu dan Papa selalu di sini buat kamu. Kalau kamu merasa mereka sudah keterlaluan, nggak ada salahnya melibatkan pihak kampus atau bahkan polisi.”
“Tapi Bu, Pa… Mutia itu anak dari keluarga kaya dan berpengaruh. Aku takut malah situasinya makin rumit,” jawab Reva ragu.
Fachri menatap putrinya dengan mata yang penuh perhatian. “Reva, kamu harus ingat satu hal. Harga diri dan keamanan kamu lebih penting daripada apapun. Kalau mereka sampai menyentuh kamu lagi, Papa sendiri yang akan turun tangan.”
Intan mengangguk setuju. “Dan Ibu yakin, teman-teman kamu pasti akan tetap ada di sisimu. Mereka peduli sama kamu, sayang.”
Malam itu, setelah makan malam, Reva berbincang lebih lanjut dengan orang tuanya. Dia merasa lega bisa menumpahkan segala kekhawatirannya. Dukungan mereka memberinya semangat baru. Meskipun masih ada rasa takut, tapi ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Keesokan paginya, Reva bangun lebih segar. Pagi itu, ia duduk di beranda rumah sambil menikmati teh hangat yang dibuat ibunya. Ia merasakan ketenangan yang lama tidak ia rasakan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ternyata itu pesan dari Naura:
*Naura: Rev, Mutia ada di kampus lagi. Dia lagi deketin pihak BEM buat sesuatu. Aku dan Halim lagi coba cari tahu. Kamu baik-baik aja di sana?*
Reva menghela napas. Dia tahu Mutia tidak akan tinggal diam. Tapi kali ini, Reva merasa lebih siap. Dia balas pesan Naura:
*Reva: Iya, aku baik-baik aja, Naura. Makasih ya. Aku akan segera balik dan bantu kalian. Kita harus siap-siap buat segala kemungkinan.*
Setelah percakapan singkat itu, Reva merenung. Dukungan dari Rangga, Naura, Halim, dan sekarang juga dari keluarganya, membuatnya sadar bahwa dia punya banyak orang yang peduli padanya. Dia tidak akan biarkan Mutia mengontrol hidupnya lagi.
Di saat yang sama, di rumah Mutia, Dodo dan Dwi masih mendiskusikan langkah berikutnya. Dwi, meskipun biasanya mendukung putrinya, mulai merasa ada sesuatu yang harus diubah.
“Pak, saya rasa kita perlu bicara sama Mutia. Anak kita sudah semakin jauh, dan saya khawatir apa yang dia lakukan bisa berdampak buruk nantinya,” kata Dwi, mencoba membujuk suaminya.
Dodo menatap istrinya dengan tegas. “Kamu tahu, Dwi, kita nggak bisa kelihatan lemah di mata orang lain. Mutia harus tahu bagaimana caranya menjaga nama baik keluarga kita.”
Namun, jauh di dalam hati Dwi, ia merasa ada yang salah. Dan mungkin, ia akan melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya—bicara langsung dari hati ke hati dengan Reva.
Di kampus, Mutia semakin agresif dengan rencana barunya. Dia ingin menekan Reva lebih jauh dengan segala cara. Tapi kali ini, Reva tidak sendirian. Dia punya teman-teman yang siap membantunya melawan balik. Pertempuran ini akan menjadi lebih dari sekadar drama kampus—ini akan menjadi pertarungan antara dua dunia yang berbeda.
---
![](https://img.wattpad.com/cover/375877119-288-k421773.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Istimewa Bagaikan Senja
Novela JuvenilRangga, seorang mahasiswa yang biasa aja dan lebih suka hidup tanpa drama, gak pernah nyangka bakal ketemu Reva, cewek sederhana tapi punya pesona unik yang bisa bikin siapa pun terpesona. Ketertarikan mereka dimulai dari pertemuan gak sengaja di ka...