Ketegangan semakin memuncak di kampus. Reva, Rangga, Naura, dan Halim terus berjuang untuk membongkar kebenaran dan melawan taktik-taktik kotor yang diterapkan Mutia. Upaya mereka untuk menjelaskan situasi kepada mahasiswa semakin intensif. Mereka mengadakan pertemuan, mendistribusikan pamflet, dan berusaha mengumpulkan dukungan dari berbagai pihak.
Pada suatu sore, Reva duduk di ruang belajar bersama Rangga dan Naura, memeriksa laporan yang telah mereka susun. Mereka sedang mempersiapkan presentasi yang akan mereka sampaikan kepada mahasiswa untuk mengklarifikasi semua isu yang beredar.
“Jadi, menurut gue, kita harus bikin presentasi yang jelas dan meyakinkan. Kita harus tunjukkan semua bukti dan jelasin dengan detail kenapa tuduhan Mutia nggak ada dasarnya,” kata Rangga sambil menatap layar laptop.
Naura mengangguk setuju. “Betul. Kita juga perlu siapkan jawaban untuk semua kemungkinan pertanyaan atau tuduhan yang mungkin muncul. Jangan sampe mereka bisa ngeragukan kejelasan dari informasi yang kita kasih.”
Reva memandangi mereka dengan penuh tekad. “Kita udah ngelaluin banyak hal, dan kita nggak bisa berhenti sekarang. Ini tentang keadilan, dan kita harus pastiin semuanya jelas.”
Sementara itu, Mutia semakin gelisah dengan situasi yang berkembang. Ia merasa terpojok dan semakin agresif. Dalam sebuah rapat dengan Rein dan Gisa, Mutia mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kita perlu ngerencanain langkah selanjutnya,” kata Mutia dengan nada frustrasi. “Reva dan timnya udah mulai dapet dukungan dari banyak orang. Gue nggak bisa biarin ini berlanjut. Kita harus lakukan sesuatu yang lebih drastis.”
Rein mengangguk. “Apa yang lo pikirin, Mutia?”
Mutia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kita harus ngerencanain sesuatu yang bisa bikin Reva dan timnya jadi minder. Mungkin kita bisa nyebarin gosip lebih parah atau bikin sesuatu yang bisa bikin mereka kehilangan dukungan.”
Gisa menambahkan, “Tapi kita juga harus hati-hati. Jangan sampai tindakan kita malah nambah masalah.”
Mutia menghela napas. “Gue ngerti, tapi kita butuh cara yang lebih ampuh. Kita harus ngegoyangin posisi mereka biar mereka bisa mundur.”
Di sisi lain, Dwi memutuskan untuk berbicara dengan Mutia sekali lagi. Ia tahu bahwa semakin lama konflik ini berlangsung, semakin sulit untuk memperbaikinya. Dwi berusaha mencari cara untuk membuat Mutia mengerti tentang dampak dari tindakan-tindakannya.
“Mutia, kita perlu bicara,” kata Dwi saat menemui putrinya di rumah. “Ini udah jadi masalah besar, dan mama khawatir kalau ini terus berlanjut.”
Mutia mengerutkan kening. “Muti tau, ma. Tapi mereka udah mulai ganggu posisi Muti, dan Aku nggak bisa biarin mereka menang begitu aja.”
Dwi menatap Mutia dengan khawatir. “Tindakan Kamu sekarang cuma akan memperburuk keadaan. Kamu harus mikirin lebih jauh tentang akibat dari tindakan kamu. Jika kamu terus kayak gini, semua orang akan kena dampaknya.”
Mutia menghela napas panjang. “Muti cuma pengen berjuang buat apa yang Muti anggap benar.”
Dwi menggenggam tangan Mutia dengan lembut. “Tapi kadang berjuang bukan berarti melawan dengan cara yang salah. Cobalah pikirkan bagaimana kamu bisa menyelesaikan ini dengan cara yang lebih baik.”
Sementara itu, Reva dan timnya bersiap untuk presentasi mereka. Mereka melakukan latihan akhir dan memastikan bahwa semua data dan bukti yang mereka miliki sudah siap untuk disampaikan.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Reva dan Rangga berdiri di depan aula kampus yang penuh dengan mahasiswa dan staf. Mereka memulai presentasi mereka dengan penuh percaya diri, menjelaskan semua bukti yang telah mereka kumpulkan dan menjawab semua pertanyaan dengan jelas.
“Ini bukan hanya tentang kita,” kata Reva kepada hadirin. “Ini tentang keadilan dan integritas. Kami di sini untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan untuk didengar dan bahwa semua tuduhan yang tidak berdasar dapat dibuktikan dan diluruskan.”
Presentasi mereka berlangsung lancar, dan mereka mendapatkan dukungan luas dari mahasiswa. Banyak yang mulai memahami bahwa Mutia telah mencoba memainkan taktik kotor untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Di sisi lain, Mutia semakin frustrasi dengan perkembangan ini. Rencananya untuk menjatuhkan Reva tampaknya tidak berjalan sesuai harapan. Ia mulai merasakan tekanan dari berbagai arah, dan ketidakstabilan emosionalnya semakin terasa.
Dengan dukungan yang semakin menguat untuk Reva dan tekanan yang meningkat terhadap Mutia, situasi di kampus semakin mendekati titik balik. Keberanian Reva dan teman-temannya untuk melawan ketidakadilan mulai menunjukkan hasil, dan mereka tahu bahwa perjuangan ini hampir mencapai puncaknya.
Hari-hari berikutnya akan menentukan bagaimana konflik ini akan berakhir. Apakah Reva akan berhasil mengatasi semua rintangan dan membawa keadilan? Atau akankah Mutia berhasil mendapatkan kembali kendali dan memenangkan pertarungan ini? Hanya waktu yang akan menjawab.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Istimewa Bagaikan Senja
Novela JuvenilRangga, seorang mahasiswa yang biasa aja dan lebih suka hidup tanpa drama, gak pernah nyangka bakal ketemu Reva, cewek sederhana tapi punya pesona unik yang bisa bikin siapa pun terpesona. Ketertarikan mereka dimulai dari pertemuan gak sengaja di ka...