1

185 10 1
                                    


"El, aku ... hamil."

Terjaga. Elno membuka kedua matanya, menatap langit-langit kamar yang berserawang ditelan gelap. Ia mengerjapkan mata lalu bangun perlahan dari tidurnya. Cowok itu mengusap keringat yang mengembun di dahinya. Ia menoleh dan mendapati sisi kasurnya kosong. Bekas selimut tersibak membuat Elno bangun dari ranjang berukuran sedang itu dan keluar dari kamar. Dan seketika itu, ia mendapati Neira duduk di meja makan sedang menyantap sesuatu.

Mendekati cewek hamil itu, Elno mengusap kepala Neira. Membuat si empunya tersentak dan menoleh ke arah sang suami. Elno duduk di sisinya. Ia menopang dagu dan tersenyum.

"Kenapa enggak bangunin aku?"

Neira menaruh sendoknya. "Kamu kelihatan capek banget, aku enggak tega bangunin. Kamu juga mau makan? Masih ada sisa nasi goreng, kok. Mau aku ambilin?"

"Enggak usah." Elno menolak, membuat pergerakan Neira yang mau berdiri kembali pada posisi semula. Elno tersenyum manis. "Neira sama Dara aja yang makan."

"Kamu balik tidur aja lagi," kata Neira. Ia mengusap bawah mata Elno yang menggantungkan kantung mata. Cowok ini sudah bekerja sangat keras seharian ini. "Tidur."

"Enggak bisa tidur kalau enggak ada Neira. Aku tungguin."

Neira hanya menipiskan bibir, lalu memilih melanjutkan lagi makannya. Ia sudah bangun sejak setengah jam lalu karena merasa lapar. Sejak ia hamil, Neira jadi mudah kelaparan. Padahal berat badannya sudah naik drastis. Tapi, karena tahu itu wajar, Neira akhirnya tidak terlalu memikirkannya.

Baginya yang awam ini. Baginya yang baru berusia tujuh belas tahun ini, Neira sama sekali tidak tahu menahu tentang kehamilan. Apalagi ia jurusan IPS. Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Demi kesehatan anak mereka, Neira mesti belajar tentang apa yang mesti ia lakukan dan tidak lakukan.

Walau ia juga tidak pernah menginginkan ini. Walau ia pada awalnya ingin menggugurkan anak ini. Semua itu akhirnya sirna saat Elno mengatakan ia akan bertanggung jawab.

"Aku udah selesai. Mau tidur sekarang?" Neira menggeser piring kosongnya ke bagian tengah meja. Ia meminum air sejenak sedang Elno menganggukkan kepala dan masuk duluan dalam kamar.

Neira kemudian menyusul. Melihat Elno cuma duduk di sisi ranjang, ia berdiri di depan suaminya dan mengusap rambut tebalnya. Elno menyandarkan sisi wajahnya ke perut besar Neira dan memejamkan mata.

"Katanya mau tidur."

"Kamu naik dulu," kata Elno, menjauhkan diri.

Menurut saja, Neira naik ke kasur pelan-pelan. Duduk menyelonjorkan kedua kaki, menyandarkan punggung ke tembok. Elno memperhatikan lama. Lalu tanpa aba-aba ia merebahkan kepalanya di paha sang istri. Neira hanya merapatkan bibir. Tapi, tangannya bergerak mengusap kepala Elno lembut.

"Udah mau pagi. Kamu tidurnya yang bener."

"Hm." Elno hanya bergumam. Memutar badan, menyembunyikan wajahnya di perut Neira. Terdengar helaan napas panjang dari istrinya. Tapi, Elno tidak menggubris. Ia memejamkan mata, walau kantuknya sudah hilang sejak mimpinya beberapa saat lalu.

"Ra, tenang, ya? Aku ... aku bakal tanggung jawab."

Tanggung jawab, ya?

Elno makin menenggelamkan wajahnya dalam perut Neira. Meredam pikirannya yang berkabut. Berusaha menghalau emosi negatif dalam dadanya.

Ia ... tidak menyesal, kan?

***

Elno tidak ingat bagaimana ia bisa berakhir dengan Neira pada suatu malam. Dalam keadaan yang memalukan dan menjijikan. Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi selain terkahir kali ia mengobrol dengan temannya mengurus acara ulang tahun sekolah. Elno ingat ia berada di sekolah. Satu-satunya hal yang bisa jadi petunjuk adalah Reiga yang terus bersamanya. Tapi, cowok itu mengaku tidak tahu apa pun.

Rumah Kecil KitaWhere stories live. Discover now