2

89 9 1
                                    


Neira Niluana sangat menyukai Elno. Walau mereka tidak pernah saling bicara sebelumnya, walau mereka terjebak dalam rumah yang sama dengan cara salah, Neira setidaknya bersyukur Elno adalah sosok paling baik yang pernah ia temui selain keluarga. Tidak ada yang indah dari awal pernikahan mereka. Tapi, Neira sudah merasa cukup dengan semua yang ia miliki ini. 

Bohong kalau Neira tidak merasa bersalah karena pernikahan mereka membuat Elno kehilangan segalanya. Tapi, ia tidak mau munafik butuh pertanggungjawaban. Mendapati dirinya terbangun bersama cowok asing, Neira rasanya mau gila. Terlebih ketika tahu ia hamil, Neira benar-benar tidak tahu mesti melakukan apa selain menemui Elno.

Tapi, percuma. Karena tahu latar belakang Elno dari teman-temannya, Neira yang tadinya mau menuntut pertanggungjawaban, seketika runtuh dan kehilangan kata-kata di depan cowok itu. 

Elno si peringkat pertama paralel. Elno si juara olimpiade matematika hingga provinsi. Elno yang masuk sekolah karena beasiswa. Elno yang sempurna dan memiliki masa depan cerah. Mana berani Neira mengatakan semua itu. Yang ia pikirkan adalah ia akan dicampakan. Elno pasti lebih memilih mimpinya. 

Tapi, bukan itu yang terjadi. 

***

"Aku bakal gugurin dia. Kamu enggak usah khawatir."  Tangan Neira meremat udara di sisi tubuh. Ia mengatakan dengan nada dingin. Matanya melurus menatap Elno yang berdiri dua meter di hadapannya, memasang riak wajah terkejut. Cowok itu bahkan sampai kesulitan berkata-kata.

"Lo-!" Elno menelan ludah. Napasnya mulai terasa tidak nyaman dan jantungnya berdegub makin kencang.  Mengembuskan napas mencoba menenangkan diri, Elno lantas bertanya, "Nama lo siapa?" 

Neira diam sesaat sebelumnya menjawab,"Neira." 

Mengangguk, Elno menatap cewek itu lekat-lekat. "Jangan ngelakuin hal gegabah, Neira. Emang gugurin bayi segampang itu?"

"Dia belum jadi bayi." Neira memilih memutus kontak mata, menundukkan kepala.

"Apa pun itu. Gimana bisa lo mau gugurin dia kalau muka lo sepucet itu ngomongnya?" Ucapan Elno membuat Neira tidak lagi tahu mesti berkata apa. Ia cuma diam lama. Sedang Elno memperhatikan lama. Ia menghela napas panjang. "Kalau lo enggak yakin, gue malah tambah takut kalau lo ngelakuin itu beneran."

"Terus aku harus apa?" Neira bergumam. Mengangkat pandangannya, menyorot Elno dengan mata sembab dan merahnya. Ia meneruskan dengan suara bergetar. "Aku harus apa? Aku ... aku enggak bisa. Enggak ada cara lain. Ibu bakal marah. Aku bakal dikeluarin dari sekolah. Belum lagi omongan orang-orang. Aku ... aku-"

"Ra, dengerin gue." Elno menyela, maju spontan, dan meraih kedua bahu Neira dan mencengkeramnya erat-erat, "Lo enggak akan ngalamin semua itu."

Neira mendongak. Matanya menatap lebar dengan air menggenang di sana. Ia mengatupkan bibir serapat mungkin. Menahan diri untuk tidak menangis keras. Elno yang melihat itu juga sama-sama terdiam selama beberapa saat. 

"Ra, tenang, ya? Aku ... aku bakal tanggung jawab."

Hening. 

"Kamu bakal kehilangan semuanya." Neira memberitahu. Ia tahu Elno susah payah mengatakan itu. Tapi, ia juga tidak tahu mesti bagaimana lagi. Neira ingin Elno bertanggung jawab walau pun itu bukan salahnya. Tapi, opsi lain yang ia pikirkan mungkin lebih baik. 

"Dari awal aku enggak punya apa-apa." Elno berujar pelan. "Aku bakal tanggung jawab. Kamu mau minta itu dari aku, kan? Aku turutin. Walau ini bukan salah siapa pun. Bayi itu juga punyaku."

***

"Ra?"

Tersentak. Neira menoleh dan sudah mendapati Elno berdiri di sisinya entah sejak kapan. Cewek yang sedang mengangkat pakaian di luar rumah itu menyalimi Elno yang mengulurkan tangan. Elno menelengkan kepala, menatap khawatir. 

"Kamu kenapa? Kelihatan agak pucet." Elno menyentuh pipi Neira hati-hati. Ia sudah memanggilnya beberapa kali, tapi Neira seolah terjebak di alam bawah sadarnya, ia tidak menjawab panggilan Elno sampai Elno menyentuh bahunya. 

"Enggak apa-apa. Cuma ... tadi pagi perut aku agak sakit. Mungkin kontraksi kecil." 

Elno tertegun. "Kenapa enggak telepon?" 

"Soalnya enggak lama sakitnya hilang, sekarang udah enggak apa-apa." Neira tersenyum seolah mengatakan ia baik-baik saja. Walau sebenarnya ia nyaris menangis ketakutan sebelumnya. Walau sebenarnya masih ada perasaan khawatir menyelubungi hatinya. Neira tidak boleh membuat Elno yang capek kerja ikut khawatir padanya.

Cowok itu sudah terlalu melakukan banyak hal untuk Neira.

"Beneran?" Elno tidak percaya, ia mencengkeram lengan Neira pelan. Matanya menatap menelisik dan yang ia dapatkan benar-benar tidak bisa dipercaya. "Jangan bohong. Kalau sakit lagi harus bilang sama aku."

"Iya," Neira mengangguk, membenarkan pakaian yang barusan ia angkat darii jemuran, ia meneruskan, "kamu hari ini pulang lebih cepet. Mau teh atau kopi? Biar aku buatin."

"Teh tolong."

Neira mengangguk. Lalu berjalan lebih dulu masuk dalam rumah. Elno mengekor di belakangnya. Ia masuk dalam kamar mengambil baju ganti dan memilih segera membersihkan diri.

Begitu selesai, Elno kembali menemui Neira di dapur. Ia melihat cewek itu kesulitan berjongkok,  tangannya tampak berusaha mengambil sesuatu dari lemari yang terletak di bawah meja dapur bersih itu. Elno tersenyum kecil. Mendekat, lalu mengangkat tubuh cewek itu susah payah hingga si pemiliknya kembali berdiri.

"Kamu itu kalau butuh sesuatu bilang. Jangan dipaksa ngelakuin semuanya sendiri." Elno berkata demikian ketika mendapat tatapan tanya dari istrinya. Ia menekuk lututnya. "Mau ambil apa?"

"Ah, sebenernya tadi aku dikasih kue sama Mbak Tari tadi siang. Toples yang hijau." Neira menunjuk dengan jarinya. Elno mengangguk, mencari benda yang dimaksud sebelum akhirnya menunjukkannya pada Neira.

"Ini?"

"Iya," Neira tersenyum. "Buat kamu. Kamu cobain."

Alis Elno mengerut sesaat. Ia berdiri, membuka toples itu dan melihat ke dalamnya. Kue nastar, ya? Padahal lebaran sudah lewat lama. Elno memilih menarik kursi tidak jauh dari Neira ke dekat cewek itu, lalu menyuruhnya untuk duduk. Sedang dirinya duduk di kursi lain hingga berhadapan dengan cewek itu.

"Mbak Tari kayaknya sering ngasih kamu makanan, ya?" Elno bergumam. Tangannya merogoh kue itu dan melahapnya satu. Elno mengangguk-angguk. Rasanya enak. "Kamu cobain juga."

"Buat El aja." Neira berkata begitu. Ia tersenyum. "Aku enggak terlalu suka nastar."

Tidak. Itu adalah salah satu kebohongan kesekian yang Neira ucapkan selama mereka menikah. Neira suka nastar. Sejak kecil, ia selalu menyukai kue itu. Hanya saja kadang ekonomi keluarganya yang terlalu kejam, membuat Neira tidak selalu bisa memakannya.

Tapi, kali ini tidak terlalu menginginkannya. Melihat Elno menyukai makanan itu, Neira jadi tidak mau dibagi. Selama mereka menikah, Neira cuma bisa memasakan makanan seadanya. Sesekali Tari, tetangga yang lebih tua beberapa tahun darinya, membagikan makanan atau kue. Kalau cuma makanan lauk, Neira juga selalu memakannya. Tapi, jika kue seperti ini, Neira merasa sayang. Ia akan lebih lega jika Elno yang menghabiskan semuanya.

"Beneran enggak suka? Padahal enak, lho." Elno menyodorkan lagi. Tapi, Neira menggelengkan kepala, menolak.

"Mungkin semenjak hamil, seleraku berubah. Kamu habisin aja."

Tersenyum lewat sudut bibirnya, Elno menopang dagu dan menatap Neira lekat-lekat. "Neira selalu tenang, ya? Kadang aku gak bisa bedain Neira lagi bohong atau enggak."

"Aku enggak pernah bohong, kok."

Elno tersenyum lebih tipis. Kali ini senyumnya terasa lebih menyakitkan. "Aku seneng dengernya. Aku juga berharap aku enggak pernah bohong ke Neira."

***

Mba itu bener-bener nyakitin, gess. Jadi, jaga diri kalian baik-baik, yaaa.

Rumah Kecil KitaWhere stories live. Discover now