4

73 9 0
                                    


"Elno itu nyebelin banget."

Neira mengerling pada cewek yang duduk di sebelahnya. Mereka masih berada di kantin sejak beberapa menit lalu menghabiskan semangkuk bakso dan es jeruk yang kini cuma tinggal setengah. Ayla menghela napas panjang dan menyangga dagu dengan dua tangannya.

"Sekeras apa pun gue belajar, dia kayak ada di langit ketujuh. Bisa-bisanya paham materi perkuliahan abangnya Reiga." Ayla mendumel sambil memicingkan mata tajam pada Elno yang duduk beberapa meja di depannya, bersama teman-temannya.

Ia menoleh pada Neira yang sedari tadi cuma mendengarkan baik. "Lo gak mungkin gak tahu Elno, kan?"

Neira menaikkan alis sebentar lalu menegakkan punggung tanpa sadar. "Tahu, kok."

Ayla menghela napas lagi. "Kenapa sih dia harus sekolah di sini? Buat ngedapet nilai seratus aja gue mesti belajar mati-matian. Tapi, dia kelihatan gampang banget ngerjainnya."

"Kan kelihatannya." Neira menimpali, membuat Ayla menoleh dan mengerutkan dahi. "Kamu kan enggak tahu di belakang dia belajar sekeras apa. Kebanyakan manusia selaku ngeliat dari depan terus."

Menggembungkan pipi tidak suka, Ayla memprotes, "Kok lo belain dia, sih? Lo sekutu sama dia, ya?"

Berkedip sekali, Neira berkata lugu, "Aku gak pernah ngobrol sama dia. Ini cuma pendapat aku aja."

"Pendapat lo ngebelain dia banget," cibir Ayla.

Neira meluruskan pandangan pada cowok yang dibicarakan anak atasan tempat ibunya bekerja itu. Matanya memperhatikan lekat-lekat tiap gerak Elno. Senyuman Elno. Cara interaksi Elno. Cowok itu memang kelihatan berbeda dari yang lain. Andai ia adalah pemain utama dalam sebuah cerita, dengan semua prestasi yang dia miliki, masa depan Elno akan secerah mentari pagi di hari Senin.

Ini ... benar-benar berbeda dengan Neira.

Ah, tidak-tidak. Neira menggelengkan kepala dia kali. Berusaha mengeyahkan pikiran piciknya. Ia tidak boleh iri dengan Elno atau siapa pun yang berada di sekitarnya. Ia bahkan tidak pernah bicara dengan Elno. Ia tidak tahu siapa Elno. Benar-benar curang kalau Neira merasa cemburu atas pencapain orang lain.

"Nei, lo mau lanjut ke mana?" Ayla bertanya. Ia menelengkan kepala. Berusaha mengganti topik –tidak mau semakin kesal memikirkan Elno yang terus menyerobot prestasinya.

Terdiam sejenak, Neira berpikir. Lalu ia menggelengkan kepala pelan. "Belum tahu. Kita baru naik kelas sebelas, kan?"

"Iya, sih. Cuma kan harus dipikirin mateng-mateng. Jangan sampe salah jurusan terus ngedrama berhenti kuliah atau apalah. Ribet."

Kuliah, ya?

Neira tidak memikirkan itu sejauh ini. Ia bukan sosok pintar seperti Elno. Atau beberapa temannya yang ranking kelas. Neira cuma segelintir hawa dan tokoh sampingan yang tidak pernah disorot oleh siapa pun.

Belum lagi, masalah perekonomian. Ibu saja bekerja di rumah Ayla. Ia sekolah juga karena orang tua Ayla yang terlalu baik mau membantu biaya. Padahal Neira bilang ia tidak apa-apa sekolah di tempat yang lebih jauh dan murah. Sekolah ini benar-benar mencolok di kota. Juga biayanya tidak murah.

Tapi, Ayla dan orang tuanya benar-benar baik. Neira terus diberi kesempatan. Padahal sekeras apa pun ia belajar, kapasitas otaknya tidak bisa menyamai anak-anak di sekolah ini.

"Lo enggak lagi mikirin biaya kuliah, kan? Sampe akhirnya mikir gak mau lanjut setelah SMA?"

Neira terhenyak. Ia tidak bisa menjawab. Dan Ayla langsung tahu segalanya. Ia berdecak kesal.

Rumah Kecil KitaWhere stories live. Discover now