3

85 9 3
                                    


"Aljabar linear elementer?"

Elno menoleh, mendapati Angga duduk di bangku sebelahnya membaca judul buku yang tengah ia baca. Cowok dengan rambut agak keriting dan panjang itu mengernyitkan dahi.

"Ini buku mane lagi?" tanyanya.

"Itu buku abang gue." Reiga yang menjawab. Sosok yang duduk di bangku depan Elno, menghadap ke belakang dan melipat tangan di atas meja memperhatikan reaksi Elno yang anteng membaca buku kuliah abangnya.

Angga menatap horor. "Abang lo bukannya semester lima matematika murni, kan?"

Reiga mengangguk.

Gantian melihat Elno, Angga menyorot tidak menyangka. "Lo baca buku anak semester lima?"

"Enggak-enggak, itu buku bab awal biasanya buat anak semester satu, kok. Jadi masih aman buat El." Reiga lagi yang menjawab. Tapi, Angga yang merupakan anak kelas sebelah tidak jua mau mengatupkan mulut.

"Tetep aja, woy! Apaan itu elementer?! Coba gue liat!" Angga merampas buku itu dari tangan Elno. Membuka halaman demi halaman dan mendapati x dan y di mana-mana, Angga langsung mengembalikan buku itu. "Mata gue sakit."

Elno hanya memutar bola mata. "Bab satu masih materi materi sekolah SPL sama matriks. Cuma lebih dalem aja. Gue juga enggak langsung paham apa itu operasi baris elementer, eliminasi Gauss-Jordan, atau solusi trivial, atau–"

"Lo bahkan udah apal istilah-istilahnya, oy! Gila lo, ya?!" Angga setengak berteriak ketakutan. Sumpah, ia paling takut jika disuruh mencari x dan y. Dan bisa-bisanya ia berteman dengan makhluk gila bernama Elno ini.

Reiga tertawa. "Itu aslinya dia udah paham."

Elno menatap Reiga lempeng. "Enggak juga. Cuma dikit."

"Dikit lo itu beda sama dikit versi manusia normal, paham?" Angga mengernyit jijik. Elno kelihatan acuh tak acuh. "Lo mau ambil matematika emang?"

"Enggak tahu."

"Aslinya iya itu jawabannya." Reiga menimpali lagi.

"Nanti coba liat aja. Buat sekarang gue cuma lagii penasaran dikit sama materinya."

Reiga mendengkus. "Gue tebak lo bakal lulus cepet, sih. Kalau kata gue, mumpung sekolah kita lumayan punya nama, mending sekalian daftar beasiswa ke luar negeri."

Elno tampak diam memikirkan ucapan Reiga. Sempat rersirat benang keraguan terlukis di wajahnya. Sampai Reiga tersenyum dan menepuk pundak Elno.

"Lo bener-bener punya kesempatan banyak, El."

***

Tapi, kini kesempatan itu telah hancur.

Dalam satu malam. Semua pelaung dan kesempatan yang telah Elno pikirkan dan bayangkan lebur tak tersisa.

Elno benci mengakui ia masih tidak bisa ikhlas dengan semua ini. Ia benar-benar benci mengakui bahwa masih ada selububg gelap yang menghitamkan hati dan pikirannya tentang takdirnya yang curang ini. Bahkan sampai kini, Elno tidak bisa melupakan gemuruh dalam dadanya, perasaan campur aduk yang meriuhkan isi kepalanya hingga berantakan.

"El."

Panggilan itu membuat Elno membuka matanya. Menyadarkannya dari tidur ayamnya sejak beberapa jam lalu. Cowok itu memutar tidurnya hingga menghadap Neira.

"Kenapa belum tidur?"

Neira menggelengkan kepala. Ia mendekat pada Elno dan mencengkeram kerah kaus cowok itu. Menyembunyikan wajahnya dan memejamkan mata. Perutnya terasa tidak nyaman. Neira tidak bisa tidur dengan tenang. Rasanya seperti begah. Punggungnya juga sakit dan pegal. Neira tidak terbiasa walau sudah beberapa kali mengalami ini sejak beberapa minggu lalu.

Rumah Kecil KitaWhere stories live. Discover now