#3 Kaivan Tarumanegara

24.7K 2.7K 1.7K
                                    


HAI HAI HAI!!!

Apa kabarrrrrr semuanyaaaa???

KANGEN BANGEEETTTTT!!!!

Coba absen sini cimolku yang gembul itu:

***

Zayyan membuka pintu rumahnya dengan pelan. Suara derit pintu yang terbuka menjadi pemecah keheningan yang menyelimuti rumah itu. Tubuhnya terasa sangat berat, lelah setelah seharian bekerja. Satu tangannya menggenggam tas ransel yang sudah lusuh, sementara tangan lainnya memegang sebungkus nasi yang masih hangat. Matanya menyapu ruang tamu yang terlihat remang. Di sana, di sofa tua yang warnanya mulai pudar, ada ayahnya yang sedang duduk. Pria itu tampak termenung, pandangannya kosong, seolah tengah menerawang jauh ke depan sana.

"Ayah," panggil Zayyan, mencoba memecah lamunan ayahnya. Namun, pria itu tetap diam, seakan tidak mendengar. Kening Zayyan berkerut, perasaan cemas mulai merayapi hatinya. Dia meletakkan barang-barangnya di lantai kemudian mendekati ayahnya. Jika dilihat dari dekat, wajah ayahnya kini tampak lebih tua dari sebelumnya. Garis-garis kerasnya kehidupan tergambar jelas di wajah yang sayu itu.

"Ayah udah makan?"

Lamunan Edwin akhirnya buyar. Dia menatap putranya dengan ekspresi kaget sebelum akhirnya mengukir senyum tipis. "Belum," jawabnya dengan sedikit gelengan kepala.

Zayyan bergerak mengambil sebungkus nasi yang tadi sempat ia beli, kemudian menyodorkan ke hadapan ayahnya. "Makan, ya, Yah," ucapnya.

Edwin menatap sebungkus nasi dan wajah anaknya itu secara bergantian. "Hanya satu? Kamu makan apa?"

Zayyan tersenyum hangat. "Zayyan udah makan sebelum pulang. Jadi, ini bungkusan buat Ayah," jelasnya.

Edwin akhirnya menerima uluran makanan itu. Tanpa berlama-lama, ia segera membuka kertas minyak yang membungkusnya. Senyum lebar seketika terbit begitu melihat sepotong ayam goreng yang menjadi lauknya. Perut yang sudah keroncongan minta diisi membuatnya segera melahap makanan itu dengan cepat.

Entahlah, Zayyan justru berkaca-kaca ketika melihat ayahnya yang sedang berbahagia atas makanan sederhana yang ia bawakan. Rasanya, semua ini tidak adil. Seseorang yang sama sekali tidak bersalah, harus menanggung semua beban hidup yang terasa lebih berat dari sebelumnya.

"Zayyan bersih-bersih dulu, ya. Selamat makan, Ayah," katanya sebelum melenggang pergi menuju kamarnya yang berdempetan dengan dapur.

Nyatanya, laki-laki itu tidak langsung mandi, melainkan merebahkan diri di kasur yang sebetulnya terasa keras. Sepasang mata sendunya itu menatap plafon di atasnya yang beberapa bagiannya sudah banyak ya g berlubang. Zayyan benar-benar tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berada dalam masa-masa sulit ini. Satu hal yang tidak pernah Zayyan bayangkan sebetulmnya. Jatuh miskin.

Terdengar embusan napas lelah yang keluar dari bibirnya. Lagi dan lagi, Zayyan harus berbohong kepada ayahnya. Jangankan makan malam, sebutir nasi pun belum ada yang ia telan seharian ini. Mungkin, sama seperti malam-malam sebelumnya. Zayyan akan tidur dengan keadaan menahan lapar.

***

Tidak ada kemiripan yang signifikan di antara mereka. Hanya saja, setiap bersama orang itu, Marvel seperti kembali merasakan kehadiran sahabatnya. Setahun sudah dia mengenal baik laki-laki itu. Ada banyak obrolan yang tercipta di antara mereka. Sebagai introver yang sulit berbaur dengan orang baru, Marvel seakan menemukan berlian di antara tumpukan pasir.

"Rasanya nggak adil kalau cuma gue yang ngerasain, Ly. Jadi, gue pengen bagi ini ke lo."

"Buat apa?" Aily mengembuskan napas panjang. "Buat apa kenalan sama orang baru?"

ECCEDENTESIAST 2: After Losing HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang