BAB 1

2.1K 77 0
                                    

"Nduk, kowe ora balek? Iki pora wes wayah e libur semester to, nduk?"
(Nduk, kamu tidak pulang? Ini bukannya sudah waktu libur semester ya, nduk?)

Suara seorang perempuan mengalun dari sebuah benda pipih yang sedang dipegang seorang gadis berumur dua puluh dua tahun.

"Iya, buk. Aku pulang kok. Masalahnya disini masih ada acara kampus. Aku jadi panitianya." Jawab gadis itu.

"Haduh. Kamu apa Ndak kangen ibuk opo? Ibuk tuh kangen kamu. Apa Ndak bisa diganti orang lain aja?"

"Ibuk ni ada-ada aja. Mana mungkin bisa buk. Aku udah jadi panitia, aku berarti harus tanggung jawab. Masa ditinggal pulang gitu aja." Sang gadis menjawab sambil mengetik di laptopnya.

"Yowes, jadi kapan selesainya acaramu kuwi?"

"Emm.. Minggu depan, buk. Aku pulang Minggu depan."

"Tenan loh ya Minggu depan. Awas kalo mundur lagi. Ga ada uang jajan!!!" Orang yang diseberang telepon itu mematikan handphone nya.

Si gadis yang mendengar ancaman ibunya pun pasrah saja. Dia melanjutkan untuk mengetik beberapa laporan organisasi kampusnya.

Lintang Rembulan. Gadis putih berparas ayu. Dia adalah anak pertama dari keluarganya yang ada di desa. Saat ini Lintang merupakan mahasiswa semester tujuh disalah satu kampus ternama di Yogyakarta. Tinggal di kota besar dan jauh dari orang tua memanglah menantang. Apalagi dirinya seorang gadis. Pasti orang tuanya sangat menghawatirkan dirinya. Seperti baru saja terjadi. Ibunya sudah mengomelinya agar pulang kerumah. Memang selama satu tahun terakhir dia tidak pulang karena harus mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya. Sangat melelahkan baginya. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah masuk harus bertanggung jawab.

Lintang merebahkan tubuhnya ke atas kasur sambil menatap plafon kost-an nya. Dia merenung sejenak membayangkan kehidupan di desanya yang mengharuskan untuk terus bersosialisasi. Baginya yang berjiwa introvert ini merupakan tantangan yang menguras energi. Berbeda jika di sini dirinya jika keluar lebih leluasa karena tidak ada yang mengenalinya dan ketika keluar tidak mengharuskan untuk menyapa orang-orang yang ditemuinya.

Tak terasa banyak hal yang Lintang pikirkan membawanya untuk tidur terlelap di sore ini.

🌸🌸🌸

Satu Minggu telah berlalu. Lintang sekarang telah pulang ke desanya. Baru siang tadi dirinya sampai kerumah ini. Sekarang dirinya sedang bersantai di depan rumah dengan adik laki-lakinya bernama Raditya yang masih berumur tujuh tahun. Jarak umur mereka terpaut jauh. Kala itu saat Lintang berusia lima belas tahun mengetahui ibunya sedang mengandung, dia tidak suka sekali karena Lintang berpikir memiliki adik sangatlah menjengkelkan. Namun seiring berjalannya waktu dan Lintang beranjak dewasa, dia menerima dengan ikhlas. Dan lihatlah sekarang, Lintang sedang menyuapi adik kesayangannya.

"Mbak, mbak kok makin putih ya?" Raditya bertanya.

"Ya jelaslah, mbak kan ga pernah kepanasan disana." Lintang menjawab sambil menyuapi adiknya.

"Ooo... Mbak kok makin gendut juga ya."

Lintang mendengar hal tersebut langsung menghentikan tangannya yang menyuir lauk dan menatap adiknya. "Ngomong apa barusan?"

"Mbak makin gendut." Raditya menjawab sambil mengunyah.

"Makan sendiri sana." Lintang memberikan piring yang ia bawa kepada adiknya dengan kasar. Dia tidak suka dibilang gendut. Sebenarnya Lintang tau kalau dirinya gendut. Ketika dirinya mengaca di cermin, tubuhnya itu memang terlihat gendut. Tapi dia gendut bukan gendut yang seperti orang pikirkan. Pernah suatu ketika dia bercermin sambil melepas bajunya alias telanjang bulat, ditubuhnya tidak terlihat lemak bergelambir. Hanya saja bagian dada dan pantat memanglah besar. Hal itu yang kadang membuat Lintang risih.

"Mbak, kemarin ada mas-mas nyari in." Raditya berbicara.

Lintang menengok pada adiknya. "Nyari in gimana?"

"Dia nanya ke aku gini. Kamu adiknya Lintang ya. Terus aku ngangguk. Habis itu dia tanya, mbakmu udah pulang? Gitu mbak."

Lintang mendengarkan sambil menautkan alisnya. "Mas-mas siapa?"

"Ndak kenal. Tapi orangnya itu tinggi, badannya kekar. Gedhe duwur gitu, mbak." Jelas adiknya.

"Siapa namanya?" Lintang bertanya lagi.

"Dibilang Ndak kenal kok."

"Ck, emm.. mukanya gimana?"

"Ganteng. Tapi gantengan aku sih." Raditya menjawab sambil bergaya.

Lintang mengusap wajah adiknya dengan tangannya lalu menarik hidungnya.

"Aduuhhhh, mbak. Sakit woyy."

Lintang menarik tangannya lalu bertanya, "Ketemu dimana kamu?"

"Sawah. Kemarin aku main layangan. Upss." Raditya keceplosan lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Hayoloo, keceplosan main layangan. Tak aduin ke bapak biar di buang ke kali. Ahahahaha." Lintang berucap dengan ekspresi dibuat mengerikan.

Adiknya yang diancam itupun kelimpungan. "Mbak, jangan diaduin to. Aku Ndak mau dimarahin bapak."

Lintang berdiri sambil berjalan mundur tanpa melihat jika dibelakangnya ada sebuah batu bata yang membuatnya tersandung kebelakang.

BRUKK

"Aduhh." Lintang kesakitan.

Aditya yang melihat itu langsung ngibrit masuk ke dalam rumah sambil membawa piringnya tanpa membantu kakaknya yang jatuh.

Pantat Lintang rasanya seperti terbanting apalagi dirinya jatuh tepat pada kerikil teras rumahnya. Tumit kakinya pun rasanya sangat sakit akibat terhantam batu bata.

"Auhh." Lintang berusaha untuk bangkit tapi kakinya terasa sakit.

"Kamu Ndak apa-apa?" Seorang pria berada di samping Lintang sambil berjongkok.

Lintang menatap pria tersebut. Mereka saling bertatapan dalam diam. Dalam hati Lintang pria di depannya ini sangat tampan. Wajah yang terpahat sempurna, mata berwarna hitam mengkilat, rambut potong tipis dan jangan lupakan bibir yang indah itu. Jantung Lintang terasa berdegup kencang.

Pria itu membantu Lintang untuk berdiri. Tangan kirinya ia lingkarkan pada pinggang Lintang dan lengan kanan Lintang ia pegang. Lintang dituntun untuk duduk di kursi teras. Saat tangan pria itu melepaskan pinggangnya, Lintang merasakan pantatnya seperti diraba dari atas lalu kebawah dengan sekilas.

"Terimakasih, mas." Ucap Lintang dengan sedikit malu.

"Iya sama-sama." Pria itu membalas dengan sedikit meringis.

"Mas nya ada apa?" Lintang bertanya.

Pria itu gelagapan seperti baru sadar. Dia mengedipkan matanya berkali-kali dengan alis yang diangkat. "Aaa, itu aku mengantar undangan slametan seribu harinya Mbah Surip nanti malam. Tolong berikan ini ke bapakmu ya." Sambil memberikan sebuah undangan pada Lintang.

Lintang menerima undangan tersebut dengan menganggukkan kepalanya lalu berdiri berniat untuk masuk rumahnya. Namun sebelum dia melangkah, pria tersebut menahan langkah Lintang dengan tangan kirinya menempel pada tembok. Sekarang Lintang terkunci oleh tangan pria itu yang berada ditembok. Tubuh mereka sangat dekat. Bahkan Lintang bisa merasakan hembusan nafas pria tersebut di pipinya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada telinga Lintang.

"Kalau diluar rumah pakai celana ya. Saya tadi lihat warna pink imut." Ucap pria itu sambil berbisik lalu menjauhkan dirinya dari Lintang dan pergi.

Wajah Lintang bersemu merah sambil masuk kedalam rumah dan membanting pintu.

💓💓💓

NIMASKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang