BAB 9 [Lintang POV]

934 80 15
                                    

Pagi menyegarkan dengan sarapan bersama keluarga. Sarapan hari ini sangat spesial karena aku yang memasaknya dan kami sekeluarga bisa sarapan bersama. Biasanya kami tidak pernah sarapan bersama karena di pagi hari semua orang saling menjalankan kegiatan masing-masing. Namun berhubung cuaca pagi ini hujan deras, semua anggota keluargaku tak ada yang keluar melakukan kegiatan apapun. Termasuk adik laki-laki ku yang memilih libur saja padahal harus masuk. Jangan ditiru ya teman-teman. Seburuk apapun rintangannya, jika itu mengenai pendidikan ya kalian harus berjuang. Demi masa depan.

Kami sekeluarga duduk lesehan di meja panjang yang sudah terisi makanan. Makan dengan cara seperti ini lebih mengasikkan karena memang dasarnya aku ndeso saja. Jika orang kota yang menganggapnya.

"Tambah, Buk."

"Radit lapar, Buk."

Adikku meminta tambah makanan pada ibuku. Namun aku salah fokus dengan cara pengucapannya yang seperti Agus lapar, Buk? Aku mengeplak lengan adikku.

"Aduhh, apa to, Mbak? Main ngeplak aja."

"Lintang, ngopo to kok ngeplak?" Ibuku ikut bersuara.

"Bisa aja kamu lawak. Dapat dari mana?" Aku bertanya pada Raditya.

Radit mengunyah makanannya lalu menelan. "Film jadul."

"Lah gayamu." Aku menyuapkan makanan pada mulutku dengan nikmat. Ahh lauk hari ini adalah oseng kangkung dengan sambal terasi makanan favorit ku.

"Nduk." Bapak ku memanggil.

"Dalem, Pak." Aku menjawab seraya menatapnya. Wajahnya yang sudah sedikit keriput itu menatapku juga.

"Itu cincin dari siapa?"

Aku menatap cincin yang tersemat di jari manisku. Cincin cantik yang sesuai dengan ukuran ku. Aku sedikit tersenyum mengingatnya. Mengingat siapa yang memberikannya padaku.

"Nyolong ya, Mbak?" Tiba-tiba adikku menyahut tidak sopan.

Aku langsung menatapnya dengan menjintak kepalanya. "Aduhh, mbak."

"Ndak sopan koyo ngono, Dit." Ibuku menimpali Radit.

"Lha ndak dijawab-jawab lho dari tadi. Tak kiro mbak nyolong."

"Ngawur." Belaku tidak terima.

Bapakku langsung menengahi kami. "Uwis, jadi piye, Nduk?"

Aku menatap bapakku dengan menggigit bibir. "Anu, Pak. Ini dari Mas Pandu." Setelah aku menjawab hal itu, kepalaku menjadi turun karena malu menatap mereka.

"Kamu dilamar Mas Pandu?" Tanya ibuku.

Masih tetap tidak menatap mereka. Bibirku semakin kuat ku gigit.

"Terus kamu jawab, opo?" Bapakku bertanya juga.

"Aku masih belum bisa jawab, Pak."

"Kenapa ndak diterima langsung aja, nduk?" Tanya ibuku lagi.

"Aku masih belum suka Mas Pandu." Jawabku ragu.

Ibuku menyipitkan matanya menatapku. "Kalau belum suka kenapa ambung-ambungan?"
(Ambung-ambungan : Ciuman).

Aku terkejut dengan pertanyaan ibuku yang ceplas-ceplos tanpa melihat tempat. Kulihat Radit ternyata menonton anime di ponselku dengan tertawa.

Aku menelan ludahku dengan perlahan. Apa yang akan aku jawab selanjutnya? Sebenarnya aku memang belum suka dengan Mas Pandu. Hanya saja perlakuan Mas Pandu padaku membuat diriku terlena.

Aku tak bersuara sama sekali karena aku tidak tau harus menjawab apa. Mana mungkin aku menjawab terlena? Mustahil. Pasti aku akan dibuang dari KK. Kulihat wajah orang tua ku satu persatu. Wajah mereka bertanya-tanya dan sepertinya bapak sedikit marah. Sedikit ya.

NIMASKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang