BAB 3

1.2K 57 0
                                    

Bulan Selo merupakan bulan yang digunakan masyarakat desa sebagai waktu pembersihan desa. Seperti saat ini, Lintang akan menonton pertunjukan wayang di desanya. Dengan ditemani sahabatnya sejak kecil yang bernama Linda, mereka berjalan menuju tempat pertunjukan sembari melihat beberapa penjual yang berjualan. Sesekali Lintang menuruti sahabatnya itu yang membeli beberapa jajan terus sedari tadi. Lintang hanya membeli satu jajan, namun temannya ini malah hampir semua jajanan ia beli. Temannya itu doyan makan, lihat saja tubuhnya sudah seperti panda.

"Lin, akwu pwenguen es kwim deh." Linda berbicara sembari makan pentol goreng.

"Ihh, ditelan dulu baru ngomong."

"Hehe." Linda menelan makanannya. "Anu, aku pengen es krim. Ayo beli yuk."

"Malam-malam makan es krim. Dingin tau. Malahan nanti tambah gendut."

"Ayolah. Sekali aja. Ndak apa-apa gendut. Malah semok kok." Ucap Linda lalu Lintang menjintak kepalanya.

"Duh. Sakit tau." Linda mengeluh dengan memegang kepalanya.

"Makanya kalo ngomong jangan asal. Udah ah ayo cari tempat duduk buat nonton."

Linda mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Dia menuruti perkataan Lintang sahabatnya. Mereka berjalan menuju sisi kiri panggung. Kata Lintang lebih asik melihat wayang dari sana karena bisa melihat sinden yang cantik. Sekarang mereka duduk dibawah pohon mangga. Dengan mengemil mereka menunggu acara dimulai.

Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Dalang sudah berbicara karena akan diadakan ruwatan desa dan perangkatnya. Para perangkat desa sudah duduk diatas panggung. Mereka bersiap untuk diruwat. Dari salah satu dari mereka ada seseorang yang menggangu pandangan Lintang. Dia adalah Pandu Sadewa. Tubuhnya yang kekar berbalut baju batik dan celana kain hitam. Wajahnya semakin menawan karena dirinya duduk bersila dengan tegak. Berbeda dengan pria-pria lainnya. Lintang merasakan bahwa Pandu mempunyai aura yang sangat-sangat maskulin. Lihat saja garis rahang, hidungnya yang mancung menambah kesan tegas. Tiba-tiba saja bayangan sekilas dirinya yang dicium oleh pria itu melintas. Dirinya menjadi jengkel melihat pria itu. Rasanya dia ingin memukulnya dengan panci ibunya yang ada dirumah.

"Nda, cowok yang pakai baju batik itu siapa?" Lintang bertanya kepada Linda.

"Cowok yang mana to? Semuanya pakai baju batik. Mana tau aku yang kamu maksud."

Lintang meringis kikuk dengan pertanyaan nya tadi. "Ituloh pojok sana yang warna abu-abu." Lintang menjelaskan sambil menunjuk.

"Oooh, itu Mas Pandu. Anaknya pak Lurah."

Lintang mendengarkan penjelasan Linda dengan serius.

"Kamu emang ndak kenal dia?" Linda balik bertanya pada Lintang. Sementara yang ditanya hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Linda menghadap Lintang. "Ya ampun, dia Mas Pandu woy. Anaknya orang nomer satu di desa."

"Aku ndak kenal. Kenapa heboh gitu sih?" Lintang mengerutkan keningnya.

Linda mangap dengan menutup mulutnya berlagak dramatis. "Hadehhh, Yaiyalah ndak tau. Wong kamu aja setahun ndak pulang-pulang. Mas Pandu itu dulu kuliah di luar kota terus pulang baru satu tahun kemarin, dia sekarang udah jadi juragan besar desa karena tanamannya selalu berhasil. Denger ya dia itu terkenal banget di desa kita. Udah ganteng, juragan buah dan sayur, ketua karang taruna sedesa, anaknya lurah lagi." Linda menjelaskan dengan menggerakkan jari tangannya seperti menghitung.

"Orang-orang di desa pada heboh waktu itu, apalagi para cewek-cewek desa behhh... pada genit-genit. Setiap Mas Pandu ke sawah ya, tuh cewek-cewek udah baris berebut jalan sawah buat ngaterin makanan. Sayangnya Mas Pandu ndak pernah ngeladenin. Makanan pemberian tadi ndak pernah dia makan, dia selalu ngasih ke anak buahnya. Kejadiannya begitu terus selama enam bulan dan para cewek itu akhirnya semakin berkurang karena udah capek caper tanpa dianggap." Lanjut Linda menjelaskan.

NIMASKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang