BAB 8 [Pandu POV]

1.3K 97 14
                                    

Kau tau? Cinta membuat manusia terkadang tidak waras. Pikiran dan perasaan selalu di isi oleh pujaan hati. Menjadikan diri ini seperti berhalusinasi.

"Apakah kau masih mengingat Mas Dewa?"

Wajah cantik yang tadinya bingung dengan sikapku, sekarang sedikit tercengang. Matanya menyiratkan pertanyaan apakah benar yang ku sebutkan.

Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya. Kemudian satu tanganku meraih sebuah benda yang tadi ku simpan di dalam saku celana. Sebuah kotak kecil berwarna hitam ku buka dan menampakkan cincin berwarna emas terhias berlian kecil. Aku tersenyum menatap wajahnya, kemudian ku ambil cincin itu dan memasangnya pada jari manisnya. Dia terkejut dengan perilaku ku. Matanya mencoba mencari penjelasan pada mataku. Bibirnya tak berucap, membuat diriku gemas ingin mengecupnya. Tapi aku harus menahannya.

"Mas Pandu?"

"Hm? Apa Nimas?" Aku menjawab panggilan nya. Sungguh saat ini aku sangat gemas melihat wajahnya yang seperti itu. Aku sangat ingin mencium dan membawanya ke dalam kamar dan.....

"Mas Pandu Sadewa?" Dia memanggil lagi.

Aku mengenyahkan pikiran kotorku dan menjawabnya, "Iya, Nimas. Aku yang menolongmu dari tenggelam waktu itu."

Aku tersenyum. Kulihat dia kemudian menatap jari manisnya terdapat cincin yang telah ku sematkan. Dia memegangnya lalu menatap wajahku lagi.

Aku menggenggam kedua tangannya. "Nimas, aku sudah menyukaimu sejak kamu meninggalkan sungai itu. Aku tertarik padamu karena gadis sekecil dirimu dulu bisa menenangkan pikiran ku yang kalut akan kesedihan dan trauma."

"Semenjak kejadian itu, aku selalu berdebar ketika melihat dirimu, baik dari kejauhan maupun dekat. Perasaan ini telah berlangsung selama enam tahun lamanya. Aku tak bisa menjauhkan pikiran ini darimu. Mungkin ini terlalu mendadak bagimu untuk tau perasaanku. Apalagi aku baru bisa mendekati dirimu saat ini."

Aku mengeratkan genggaman itu lagi. Menyalurkan perasaan ini kepada dia. "Nimas, kamu bisa menolak jika kamu tidak mau."

Aku menarik nafas dan membuangnya. Sebenarnya aku tidak rela mengucapkan hal ini. Namun aku harus tau bagaimana perasaan Lintang padaku dan aku tak boleh egois, aku harus menghargai jawabannya.

Lintang menatap mataku. Kami saling berdiam diri beberapa saat sebelum dia melepaskan tangannya dariku.

"Kalau suka kenapa ndak dari dulu deketin?" Lintang melipat kedua tangannya di dada dan mengacuhkan wajahnya dariku.

Aku menunduk dengan salah. Ya, seharusnya sedari dulu aku mendekatinya. Namun setelah lulus kuliah aku harus bekerja di luar kota dan saat kembali ke sini malah dia tak dirumah.

"Mas."

Aku mendengar Lintang memanggil ku. Lantas aku mendongak menatap wajahnya yang cantik.

"Mas Pandu tau ndak? Semenjak kejadian itu aku ndak dibolehin bapak sama ibuk buat turun ke sungai. Aku cuma bisa liat sungai dari atas jembatan, itupun tujuan ku pengen ketemu Mas Dewa. Tapi semua itu sia-sia karena aku ndak pernah ketemu dia."

"Sebenarnya aku pengen ngucapin terima kasih sama dia. Walaupun aku ndak tau gimana wajahnya." Lanjutnya.

Lintang menolehkan wajahnya menatap langit malam. Angin berhembus memasuki celah sangkar bianglala. Dia memegang cincin itu lalu menatapku. "Aku butuh waktu, Mas." Dia berkata dengan berusaha melepas cincin tersebut namun aku menahannya.

"Jangan. Biarkan disini. Jangan kamu lepas jika kamu belum menjawabnya. Kamu bisa melepasnya kalau kamu tidak menerimaku, Nimas." Aku berkata dengan sepenuh hati. Jujur saja sebenarnya aku tidak suka ketika dia ingin melepaskan cincin itu.

NIMASKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang