Sampai di Rumah

19 1 0
                                    

Mereka sampai di halaman rumah lebih cepat dari bayangan Moreau setelah hampir sepanjang jalan meragukan kemampuan Abihirt dalam berkendara. Pria yang sedang tidak baik – baik saja, tetapi memaksa untuk mengemudi. Moreau masih menyimpan separuh pengetahuan tersebut di puncak kepalanya ketika sedang mengamati Abihirt berjalan nyaris tersaruk menghampiri seorang pria yang sepertinya sudah menunggu lama. Mereka hanya bicara sebentar, lebih daripada itu Moreau menyaksikan sendiri langkah Abihirt yang terburu – buru ingin menggapai ruang tamu.

Dia mengekori di belakang dan menelan ludah kasar saat ayah sambungnya menjatuhkan tubuh dengan kasar di atas sofa, sementara pria lainnya sedang mengeluarkan sesuatu dari tas koper berbahan kulit.

“Apa yang kau lakukan?”

Moreau mengerti bahwa pria yang sejak awal dia amati adalah seorang dokter. Dia hanya ingin tahu apa yang secara spesifik sedang dilakukan—maksudnya, dalam rangka atau sakit yang serupa bagaimana hingga tampaknya Abihirt memiliki urgensi, harus segera ditangani.

“Tidak perlu khawatir, Miss Liveri. Aku Roger, dokter pribadi Abi.”

Sebelah alis Moreau terangkat tinggi, kemudian menatap Roger setengah mendelik.

“Bagaimana kau tahu namaku?” tanyanya. Hampir mendapat kekehan yang menyemprot keluar.

“Aku sepupu dari ayah sambungmu. Mengapa harus tidak tahu? Kau mungkin tidak melihatku di acara pernikahan. Tapi aku tahu kau ada di sana.”

Karena dia terlalu dikejutkan oleh kenyataan di hari itu, masuk akal nyaris tak mengenali siapa pun yang datang atau bahkan sampai mengingat detil – detil wajah dari tamu undangan. Namun, bukan ini yang sedang Moreau pikirkan. Abihirt. Dia penasaran mengapa ayah sambungnya sedang tergoler lemah. Sementara Barbara ... di mana wanita itu?

“Lalu ada apa dengannya?”

Sekali lagi Moreau mengajukan pertanyaan, nyaris tidak membiarkan waktu berjalan lambat. Dia menatap Abihirt dan Roger secara bergiliran.

“Biar kutanyakan dulu ....”

Hanya itu, Moreau menunggu dengan tenang di posisinya sambil mencerna betul – betul percakapan dua pria dewasa di sana.

“Apa yang kau makan, Abi?”

“Steak.”

Suara serak dan dalam dalam Abihirt cenderung menyerupai lirih. Moreau semakin bingung ketika Roger seperti sedang berusaha menahan sesuatuu, tetapi pada akhirnya pria itu menggeram samar.

“Mengapa kau memakannya?”

Tersirat nada setengah kesal, walau Abihirt mungkin sudah tidak memikirkan apa pun selain tidur dengan tenang di sana.

“Bagaimana?”

Moreau segera mengambil peran sekadar mengajukan pertanyaan, lagi. Menahan napas saat Roger antara enggan dan harus mengatakan jawaban untuknya.

“Alergi. Abi alergi daging. Kau tidak perlu khawatir.”

Moreau meringis. “Dia alergi daging dan memakan steak? Wajahnya sangat pucat.”

“Ya, mungkin seharusnya tidak. Abi memang keras kepala, dan memang sudah sering kali melanggar perintahku. Tapi aku akan menanganinya dengan baik.”

Talasemia.

Tentu saja, atas permintaan Abihirt, Roger tak mungkin mengatakan yang sebernarnya bahwa saudara sepupunya memiliki kelainan darah bawaan. Merasa kebenaran separuh tidak terlalu buruk untuk dipikirkan, Abihirt memang memiliki sedikit masalah terhadap daging merah. Moreau tidak akan mengerti dan tidak akan mengambil pusing.

“Pergilah ke kamarmu, Moreau.”

Suara serak dan dalam Abihirt kali kedua mencuak ke permukaan, mengatur, memberi perintah, sayang sekali ... Moreau tidak akan dengan mudah menurut. Dia menatap pria itu serius. Ayah sambungnya terlihat benar – benar tidak sehat.

“Aku akan menghubungi ibuku agar dia pulang,” ucap Moreau. Jika Barbara tidak ada di mana pun di rumah ini, dia yakin wanita itu sedang disibukkan dengan urusan di luar sana.

“Tidak perlu.”

Aneh. Abihirt malah menahan tindakannya. “Sudah ada dokterku di sini. Lagi pula ibumu sedang bersama rekan bisnisnya.”

Dan pria itu menambahkan informasi secara kontinu. Moreau tidak akan memaksa kalau memang benar begitu. Hanya melirik Abihirt yang memejamkan mata ketika bicara, lalu melakukan kontak mata bersama Roger. Dia akhirnya mengambil langkah pergi, menuju kamar seperti permintaan Abihirt.

***

“Kau sangat cantik malam ini.”

Barbara tersipu malu menghadapi pujian langsung diucapkan oleh teman prianya. Samuel menjadi orang paling terakhir yang akan meninggalkan restoran setelah mereka, bersama yang lain menghadapi pelbagai perbincangan ringan.

Lembut sekali lengan Samuel melingkar di permukaan perut rata hingga Barbara tersenyum tipis menanggapi tindakan tersebut. Dia memalingkan separuh wajah, tanpa sadar membuat bibir Samuel menyentuh di kulit pipinya. Mulut pria itu bergerak turun, menciumi ceruk leher, bahkan di sanalah ... dengan cara mengagumkan Samuel menyerahkan setangkai bunga merah. Sudut bibir Barbara, yang diliputi polesan lipstik tebal melekuk lebar.

Setelah menerima pemberian bunga itu, dia berbalik badan, lalu melingkarkan tangan di leher Samuel. Mata mereka bertemu, saling memerangkap untuk mengungkap urusan dari kebutuhan masing – masing. Memang, Barbara mengakui bahwa dia mencintai suaminya, tetapi sesuatu yang didapatkan dari Samuel, tidak pernah ditemukan dalam diri Abihirt.

Pria yang sekarang, mungkin sedang beristirahat, terlalu dingin. Tidak romantis. Nyaris begitu kaku pada setiap peristiwa dan percakapan yang mereka lakukan. Hanya kadang – kadang, ketika kebutuhan seksual sedang menyergap Abihirt, pada momen tertentu itulah Barbara bisa merasakan bagaimana suaminya berusaha merayu. Sikap bawaan yang tidak pernah bisa Barbara salahkan. Dia tetap menyukai Abihirt, walau menginginkan kehidupan yang lebih kompleks. Seperti ini. Bebas dan indah.

“Mari kita ke hotel.”

Barangkali Samuel tak sanggup menunggu lebih lama. Barbara tahu, bahkan menginginkan hal serupa, tetapi dia memikirkan pernikahannya; hubungan terlarang, aturan mengikat, semua menjadi keraguan besar.

“Kau tahu aku baru menikah bukan?” ucap Barbara, merasa perlu mengingatkan Samuel. Tidak ada yang salah, meski pada akhirnya pria itu tertawa begitu hambar.

“Ya.” Sisa – sisa suara Samuel diselingi kekehan samar. “Tapi ini bukan yang pertama kali kita lakukan. Abi tidak akan tahu.” Dan segera menambahkan dengan tenang, terlalu lancang. Cukup sanggup membuat Barbara cemas.

Dia meringis, lalu menatap Samuel lebih intim. “Tidak bisakah kau menunggu satu minggu lagi?” Kemarin malam Abihirt sudah menyentuhnya. Barbara khawatir jika Samuel akan menemukan sesuatu yang tak pria itu sukai, atau bahkan dia takut tidak akan memiliki banyak tenaga menghadap hasrat Samuel yang tampaknya sedang membara.

“Aku sudah merindukanmu.”

Sialan, ini akan sulit. Samuel tanpa peringatan telah melumat bibir Barbara. Bagaimanapun dia tak memiliki kuasa untuk menolak gairah yang ditawarkan. Terlepas cintanya kepada Abihirt, Barbara sangat ingin Samuel menyentuhnya malam ini.

“Lebih baik kita pergi ke hotel.”

Itu pernyataan terakhir. Mereka akan melanjutkan kebutuhan tertunda ke suatu tempat, lebih pribadi dan saling menggairahkan dengan tenang. Mungkin setelah ini Barbara akan mengirimkan pesan untuk suaminya supaya tidak menunggu.

Tempted by StepdadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang