Chapter VI : Bertatap muka

5 2 20
                                    

Hari yang melelahkan akhirnya berakhir, Indira meregangkan otot-otot pada tubuhnya kemudian ia menyandarkan punggungnya dikursi. Ia menatap komputer yang ada di depannya, lalu tak lama ia mematikan komputer itu dan bersiap untuk pulang.

Ia tersenyum sebagai respon dari sapaan para staf lainnya kepada Indira. Setelah selesai bersiap, ia memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.

Hari ini ia nampak santai, rasanya setelah sekian lama akhirnya ia merasakan hari dimana ia menikmati semua yang terjadi dalam harinya.

Ia tak tau penyebabnya, namun ia sangat bersyukur.

Berbicara tentang malam itu, Fattan dan Indira masih menjadi Fattan dan Indira yang dulu sebelum Indira menyatakan perasaannya. Setelah dipikir, ia cukup berani untuk langsung menyatakannya.

Namun tentunya, keberanian itu tidak terjadi hanya dalam satu malam. Berhari-hari ia pikirkan dengan matang, dan mempersiapkan diri sebelum akhirnya ia berhasil melepas satu beban yang sudah bertahun-tahun lamanya ada.

Indira menghela nafasnya, saat ia akan membuka bilik toilet yang ia pakai sebuah suara membuat ia mengurungkan niatnya.

"Bu Win kamu tau kan staf Tata Usaha, Bu Indira?" Ucap salah satu guru yang kini tengah berada didepan wastafel sambil berias itu.

"Iya tau, kenapa emangnya?"

"Inget ga? Waktu kita di Yogyakarta, Bu Dinda kan nyuruh dia buat pesen makanan kita, iya dia lakuin itu. Tapi tiba-tiba kartunya Bu Dinda dikembaliin sama siswa, terus nyuruh dia buat telpon Pak Davi!" Indira yang mendengar itu, ingat jelas apa yang tengah mereka bicarakan.

"Itu jadi bahan pembicaraan disekolah sih, staf yang satu ruangan sama dia juga banyak yang bicarain." Linda mengangguk, karena momen itu benar-benar jadi pembicaraan semua pekerja disekolah ini.

Indira tahu, tapi ia memilih diam.

"Tapi anehnya, kok Pak Davi bisa yah bergaul sama dia?"

"Diguna-guna kali sama Bu Indira, malah sekarang ini jadi makin deket kan?!" Linda setuju dengan penuturan Wina, mengingat beberapa bulan kebelakang nampaknya hubungan Davi dan Indira semakin dekat.

Dilihat dari banyaknya momen saat mereka terlihat bersama.

"Atau kalo ga, yah Pak Davi juga manfaatin Bu Indira kayak orang lain!" Wina tertawa, "bisa jadi. Orang Bu Indira mah mau mau aja kan di suruh ini itu. Bu Linda tau kan? Pas pertama dia masuk kerja, ga ada satu orang pun yang bantu dia. Tapi setelah liat ternyata dia bisa, ehh makin hari para staf lain malah limpahin banyak kerjaannya ke Bu Indira."

"Heem, sebenernya staf yang ada di ruangan itu juga sama kayak guru-guru yang ga terlalu begitu suka sama Bu Indira, cuman mereka masih butuh Bu Indira jadi di baik-baikin aja" Jelas Linda menggebu, sambil mengoleskan pewarna bibirnya itu.

Indira terdiam, menerima semua ucapan-ucapan yang mereka bicarakan diluar. Ia sangat tahu, sebaik apapun ia melakukan pekerjaannya, pandangan orang lain padanya tak pernah berubah sedikitpun. Mereka masih terus memandang indira sebagai orang yg hanya beruntung bisa diterima bekerja disini, dengan skill pas-pasan juga pendidikan yang kurang setara.

Ia pun sangat tahu, bagaimana semua orang hanya bersikap baik padanya saat membutuhkannya saja. Namun ia abaikan, berharap semua itu berlalu begitu saja. Tapi nyatanya tidak, karena semakin hari, sikap mereka semakin tidak terkendali.

Seperti sudah makanan sehari-hari, jika ada yang membicarakan dirinya.

Ia sadar akan posisinya, mau sedekat apapun, ia hanyalah manusia kecil yang berada diantara orang-orang yang menatapnya dengan remeh. Termasuk Nayla ataupun Syifa, yang bersikap sangat ramah padanya. Tetapi ia tahu, keramahan itu hanyalah topeng semata.

My Choice - Ini Untukmu, Indira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang