12. 17 Should be Sweet, but why isn't it?

68 9 22
                                    





Luna berjongkok di hadapan wanita yang kini mulai tenang. Ia menatap sendu wajah itu. Mata yang dahulu berkilau kini sayu, menatap kosong ke taman sepi di waktu sore. Rambutnya tergerai acak-acakan, sudah mulai memutih termakan waktu. Jemarinya yang keriput menggenggam erat selembar kain yang berada di pangkuan, seolah benda itu satu-satunya penghubung dengan kenyataan.

Dia tampak lebih tua dari usianya.

Bibir ranum Luna perlahan menciptakan senyum, tampak hangat dan haru pada waktu bersamaan. "Maafin aku, Ma..." lirihnya. "Aku janji bakal dateng lagi besok."

Kesibukan mengurus pemakaman serta kepindahan mengalihkan perhatian Luna hingga tak sempat menjenguk sang ibu. Meskipun tidak jauh dari rumah lama, proses perpindahan tersebut tetap saja melelahkan. Letaknya yang lebih dekat dengan sekolah baru menjadi alasan kuat ia memutuskan untuk menetap di sana.

"Itu yang kamu bilang sebelum hilang selama lima hari dan baru muncul sekarang!" Ekspresi marah yang sempat terpasang seketika berubah sendu, persis seperti Luna kecil sebelas tahun lalu. "Takut, Luna... Mama takut kamu nggak akan kembali... Takut ditinggal sendiri lagi, seperti Papa kamu waktu itu..."

Lena menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. bibirnya yang bergetar hampir tak sanggup menahan gejolak batin, kemudian tangannya yang rapuh meraih tangan Luna lalu digenggam erat, seakan takut kehilangan pegangan.

"Mama," Luna menatap ibunya dalam-dalam, mencoba menenangkan. "Aku nggak akan pernah ninggalin Mama. Mama nggak perlu takut, Luna janji."

Lena mengelus pipi putrinya, seolah tak menyadari bahwa wajah anak kecil yang dulu dikenalnya kini telah berubah menjadi wajah remaja yang sangat cantik.

"Tapi... kalau Mama nggak di sini lagi, kalau Mama hilang seperti Papa... Kamu masih sayang sama Mama, kan?"

Luna menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai merambat naik ke dadanya. "Selalu, Ma. Apa pun yang terjadi, aku bakalan tetep sayang sama Mama."

Lena mengangguk pelan, tapi rasa pedih di matanya tak bisa sepenuhnya hilang. "Mama mimpi buruk, Luna... Mimpi kamu pergi dan nggak pernah kembali. Ninggalin Mama sendiri, seperti yang Papa kamu lakukan. Mama nggak bisa..." Ia menggeleng panik, napasnya terasa tercekat. "Mama nggak sanggup sendirian lagi."

Luna mendekat, memeluk ibunya erat, berusaha menyalurkan kehangatan dan kekuatan yang ia punya. "Enggak, Ma. Aku nggak ke mana-mana."

Lena membalas pelukan itu, namun bibirnya bergetar saat ia berbisik, "Mama nggak mau di sini Luna, Mama takut..."

Luna terdiam seribu bahasa, seketika perih menghantam ulu hati kala mendengar bisikan itu. Seribu maaf nyatanya tidak cukup untuk menebus rasa bersalahnya karena gagal dalam membalas budi sang Mama.

Saat Lena akhirnya terlelap dalam pelukannya, beban dan rasa takut wanita itu tampak memudar sementara, seperti bayangan yang enggan pergi. Dengan hati-hati, Luna melepaskan pelukan dan berdiri, menatap wajah Lena yang kini tampak damai dalam tidur.

Ia kemudian berjalan ke pintu kamar dan berbicara pelan kepada seseorang yang tak jauh dari pintu ruang inap Lena.

"Mbak, terima kasih selama ini udah ngerawat mama dengan baik."

Wanita lajang berusia 30-an tersebut tersenyum hangat. "Aku yang terima kasih, Lun, Mbak Lena sudah aku anggap seperti mama aku sendiri."

Luna tersenyum pilu. Wanita di hadapannya telah begitu tabah sejak pertemuan pertama mereka dulu. Kehilangan sosok yang berarti seperti seorang ibu, apalagi dalam keadaan di mana wanita itu dipandang sebelah mata oleh orang-orang normal karena kondisinya, membuat Luna semakin menghargai kehadiran dan ketabahan si sekuriti wanita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Papa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang