04. SEPULUH TAHUN YANG MASIH MENJADI APA-APA

42 11 0
                                    

2013

“Astaga …” Kansya terkesiap ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia menoleh, dan mendapati seseorang yang belakangan ini selalu mengganggu—sudah berdiri di sebelahnya dengan senyum jahil serta menyebalkan yang belakangan ini selalu muncul di hadapannya. “Apaan sih?” Kansya menurunkan tangan Janu yang menempelkan minuman kaleng dingin itu ke pipinya. Padahal sejak tadi, pikirannya sangat kalut—dan kehadiran Janu malah semakin membuat moodnya anjlok.

Janu mendengus dan tertawa. Dia membuka tutup minuman kaleng isotonik yang dibawanya, lalu dia berikan kepada Kansya. “Minum ini.”

Tak ada tenaga untuk menolak dan sedang tidak mood untuk mendebat lelaki itu, mau tak mau Kansya menerima minuman itu serta ucapan terima kasih yang amat pelan.

Janu yang mendengar ucapan terima kasih Kansya hanya menanggapinya dengan senyum. Lelaki itu juga membuka minuman isotonik miliknya lalu meminumnya sedikit.

“Ternyata di sini adem ya. Enak banget buat nyantai.”

Kansya tidak tahu perkataan Janu itu hanyalah basa-basi atau bukan, tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

“Gue baru pertama kali ke sini.” Janu melanjutkan, dan ucapannya itu berhasil membuat Kansya menoleh ke arahnya. “Kenapa? Kaget banget nih?” Janu tertawa kecil. Mata bulat Kansya seperti mengatakan bahwa perempuan itu tidak percaya bahwa setelah dua tahun bersekolah di sini, kali ini memang pertama kalinya Janu kemari.

Kansya mendengus dan menggeleng pelan.

“Gue kalau nongkrong biasanya di kantin sih. Kalau nggak ya di ruang musik.” Sungguh informasi yang sangat berguna …

“Oh iya …” Janu menelengkan kepalanya. “Buat pertanyaan gue waktu itu, jadi gimana? Jawaban lo?”

Pertanyaan? Kansya berpikir sebentar kira-kira apa maksud perkataan Janu—ah …

Kansya tak langsung menjawab. Bagaimana dia bisa melupakan pertanyaan Janu yang itu ya? Yah, tidak penting juga sih menurutnya. Masalah hidupnya sudah pelik, dan Kansya tidak memiliki waktu untuk memikirkan apa yang Janu katakan hari sabtu kemarin itu.

“Sya? Kok bengong?” Janu menjentikkan jarinya di hadapan wajah perempuan itu. “Kenapa? Masih belum bisa ngasih jawaban?”

Pikiran Kansya kembali pada saat Janu tiba-tiba muncul di lingkungan rumahnya dan mengatakan hal yang tidak masuk akal itu.

“Gue mau deketin lo, tapi bakalan gue lakuin di luar sekolah supaya gak ada yang gosipin lo. Itu kan yang lo takutin?”

Haaah … sungguh … Kansya sungguh tidak tahu apa niat Janu dengan mengatakan hal itu. Apa yang Janu pikirkan dan apa mau Janu sebenarnya.

Apa Janu pikir, meskipun dia mendekatinya di luar sekolah itu akan menyelesaikan semuanya? Apa dengan dia melalukan itu, semuanya akan menjadi membaik dan gosip tidak akan menyebar? Apa Janu sungguh tidak tahu betapa terkenalnya lelaki itu di sekolah ini—ah tidak, atau mungkin orang-orang di luar SMA Harapan Bangsa pun pasti tahu siapa Janu jika mengingat betapa luasnya pergaulan lelaki itu?

Yah, sedikit banyak Kansya memang tahu Janu itu siapa dan orang yang bagaimana karena memang informasi itu selalu bisa dia dengar tanpa dia minta.

Karena Janu memang seseorang yang seperti itu.

“Januar Shankara …”

Tubuh Janu seketika tegap ketika Kansya tiba-tiba menyebut nama lengkapnya. Terlebih saat memanggilnya, tatapan Kansya terarah pada langit yang amat biru siang ini.

“Orangtua lo ngasih nama yang bagus buat lo …” Kansya lagi-lagi mengatakan hal itu. “Januar, itu artinya udah jelas. Itu karena lo lahir di bulan Januari, ya kan?” Kansya menoleh sekilas ke arah lelaki di sebelahnya. Tanpa sadar Janu mengangguk—dan perkataan Kansya benar tentang bulan lahirnya itu. Kansya tersenyum dan kembali menatap ke depan. Sebelum lanjut bicara, gadis itu meminum sedikit minuman isotoniknya.

Maybe, If You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang