08. MAKAN SIANG BARENG

36 11 0
                                    

2013

Setelah malam itu, Kansya tak lagi berusaha menghindari Janu. Gadis itu kembali bersikap seperti biasa—bahkan kini sikapnya bisa dibilang lebih bersahabat daripada sebelumnya.

Ketika Janu mendekat, Kansya merespon seperti biasa. Kansya tidak lagi berusaha mendorong agar Janu menjauhi atau menyuruh lelaki itu berpikir ulang untuk mendekatinya. Toh buat apa juga? Apapun yang dia katakan, Janu tidak pernah mendengarkan. Jadi daripada membuang waktu dan terus mengatakan hal-hal yang percuma, Kansya memutuskan untuk pasrah.

Pasrah jika Janu mengganggunya.
Pasrah jika nanti Janu akan membuat hidupnya akan terasa berbeda.

Namun yang pasti, Kansya akan selalu berusaha—terlebih untuk dirinya sendiri agar dia tidak terlalu terjebak dalam permainan yang dibuat lelaki itu. Dia tidak ingin merasakan sesuatu, yang nantinya akan membuat dirinya berada di dalam posisi dirugikan.

Seperti saat ini. Kansya membiarkan Janu yang duduk di sebelahnya sambil meminum teh kotak yang lelaki itu bawa ke rooftop. Bahkan bukan hanya itu, Janu juga membawa camilan dari kantin lumayan banyak dan menyuruh Kansya untuk menghabiskan semuanya.

Supaya Kansya tidak kelaparan katanya. Terlebih Janu tahu jika sepulang sekolah, Kansya akan selalu mampir untuk bekerja di toko bunga sampai malam.

“Lo beneran nggak akan menghindar dari gue lagi kan, Sya?” Janu berkata sambil menatap gadis di sampingnya. Meskipun sejak tadi Kansya tidak membalas tatapannya, namun tak apa. Segini saja cukup bagi Janu. “Ya kalau lo menghindar lagi gampang sih. Kan tinggal gue kejar lagi.”

Kansya berdecak, melirik Janu kesal. “Tutup mulut lo atau gue pergi.”

Janu tertawa karena ucapan yang terdengar sadis dan lucu di waktu bersamaan itu.

“Gue capek aja. Berkali-kali gue nolak niat lo, berkali-kali juga gue bilang sama lo kalau gue hanya anak beasiswa tapi lo tetep maksa pengen dekat sama gue dan lo tetep aja kayak gini. Maksa pengen deket sama gue. Jadi ya udah. Gue udah gak ada tenaga lagi buat ngusir lo terus.”

Janu tersenyum lebar. Kini tatapannya dia arahkan ke depan. “Gue kan juga udah berapa kali bilang. Nggak ada masalah mau lo anak beasiswa atau bukan. Apapun status lo. Gue gak peduli. Seperti apa yang gue bilang kemarin, yang gue butuhin cuma lo. Dan gue gak pernah bohong soal itu.”

Kansya tak menjawab dan memilih untuk terus meminum teh kotak pemberian Janu. Yah, segini saja cukup. Selama Janu tidak membuatnya berada di posisi yang merugikan, semua akan baik-baik saja bukan?

•••

“Tadi pagi di kafe sebelah kayaknya aku ngeliat Ruby Maarisha sama Januar Shankara deh.”

“Hah? Salah lihat kali. Ngapain mereka ada di sini? Tempat mereka itu di Jakarta, bukan di sini.”

“Di kafe sebelah, bukan di sini. Mungkin Janu mau kontrol kali. Kan dua bulan lalu dia sempat di operasi di rumah sakit ini.”

“Lah? Memangnya belum sembuh total? Kali aja dia ke sini karena mau kencan sama Ruby. Mumpung lagi hiatus kan?”

“Nggak tahu deh. Tapi kayaknya iya deh. Mereka ngomong keliatan mesra gitu sih tadi.”

Suara-suara yang tengah membicarakan Janu dan Ruby bisa Kansya dengar dari posisinya yang kini duduk di nurse station.

Bagaimana tidak mendengar? Suara mereka bisa dibilang sangat keras. Terlebih Gea, oknum yang katanya melihat Janu dan Ruby di kafe seberang rumah sakit.

Yaah, tadi Janu memang mengatakan akan pergi ke kafe seberang sih. Jadi mungkin saja apa yang dikatakan Gea adalah benar.

Tapi, Ruby?

Maybe, If You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang