🍂 DUA PULUH TUJUH 🍂

79 14 0
                                    

"HUAAAAAAAAAAAAAA!!!"       Dan, tangis itu pecah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"HUAAAAAAAAAAAAAA!!!"
      
Dan, tangis itu pecah. Buru-buru Sara memindahkan tubuh itu ke gendongannya. Menimangnya dengan lembut. Satu tangannya yang lain juga ikut bekerja menepuk hangat punggung mungil Ghia. Hal itu membuat Naya yang melihatnya sejenak tertegun di balik meja kasir.
      
Aneh. Perasaan aneh itu kembali menelusup di dadanya. Melihat kebersamaan Ibunya dengan Ghia, rasanya sama seperti melihat Ghia pertama kali di kediaman Naka semalam.
      
"Tak apa, aku tak apa. Jangan menangis Ghia,"
     
"Dalah! Dada dalah!!!"
      
Naya mengedip setelah sadar dari lamunannya. Kakinya melangkah bersama kotak P3K di pelukannya. Naya mengambil alih tubuh Ghia setelah meletakkan kotak P3K ke atas meja yang sebelumnya mereka tempati.
      
"Ibu apakan dia? Kenapa bisa menangis sampai begini?"
      
"Tidak Ibu apa-apakan. Dianya saja yang sepertinya cengeng. Iya kan? Dia pasti anak yang cengeng kan?" Tuduh Sara, sambil mendelik pada putrinya.

Entah, tapi seperti ada rasa tak terima melihat Naya dengan mudahnya menenangkan Ghia. Disaat sebelumnya anak itu sulit ditenangkan olehnya.
      
"Ibu bisa mengobati luka Ibu sendiri? Ghia sepertinya takut melihat darah."
      
"Cih, Cemen sekali." Cibir Sara, seraya menatap Ghia dengan sinis.

Pura-pura terlihat tak suka dengan anak manja. Padahal sebenarnya, tak masalah dengan itu. Semua anak berhak manja dengan orang tuanya. Tapi di sini, Naya bukanlah Ibu dari anak itu.
      
Ketiganya sama-sama diam. Dua gadis muda fokus melihat kesibukan Sara. Sementara Sara fokus mengobati luka di jarinya. Nara menatap wajah Sara, Ibunya tak meringis samar sekali. Padahal luka itu terlihat cukup dalam.

"Sepertinya itu harus dijahit."
      
"Tidak usah berlebihan. Hanya luka kecil."
      
Cih! Luka kecil darimana? Naya mencibir dalam hati. Sepertinya Ibunya ini ingin terlihat keren di matanya.

"Lukanya terlihat cukup dalam. Ibu yakin tak perlu dijahit? Ayo ke dokter saja!"
      
"Diam lah, kenapa kau terus merengek? Aku jadi kurang fokus Naya."
      
Naya berdecak malas mendapat delikan tajam dari Ibunya. Punggungnya kembali menyandar ke sandaran kursi. Memilih mengusap hangat saja puncak kepala Ghia yang ada di pangkuannya.
      
Sara mencuri pandang pada wajah masam putrinya disela-sela dirinya membelitkan kasa antiseptik di lukanya.

"Kau sedang mengkhawatirkan ku? Disaat baru saja kau memintaku untuk menceraikan Ayahmu?"
      
Naya menatap jengah. "Iya, kenapa? Ibu tak suka dikhawatirkan anaknya sendiri?"
      
"Hatimu itu dingin sekali. Bagaimana bisa kau bersikap begitu setelah melukai hatiku?"
      
Selesai. Lukanya sudah dibelit dengan baik dengan kasa antiseptik.
      
"Aku hanya membenci Ayah, bukan Ibu! Dan cerai sepertinya memang pilihan terbaik."
      
"Apanya yang terbaik? Aku masih Nyonya besar di rumah itu Naya!"
      
"Lalu apa hubungannya? Apa masih berlaku? Kalau ingin mempertahankan posisi Ibu sebagai Nyonya besar di rumah itu. Seharusnya Ibu tak lari sambil membawaku hari itu."
      
"Kau menyebalkan sekali." Sara menggerutu dengan wajah yang tertekuk kesal. Putrinya memang tak pernah bisa menghibur hatinya.
      
"Dengarkan saja rekaman ini. Lalu ambil keputusan terbaik. Aku harap setelah itu Ibu mau melepaskan pria itu dan fokus padaku. Aku ingin Ibu melupakan hal tak penting, dan fokus pada hal yang lebih penting. Aku ingin Ibu menyayangiku seperti aku menyayangi Ghia. Dan aku berjanji, tak akan lagi kehausan dengan kasih sayang seorang Ayah."
      
Sara tercenung. Matanya menatap dalam tatapan sendu Naya. Ucapan Naya lagi-lagi menamparnya dengan kenyataan yang selama ini coba Sara abaikan.

Time Travel: Wave Of Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang