🍂 DUA PULUH DUA 🍂

83 15 0
                                    

Angin malam yang malam ini bertiup lebih dingin dari malam sebelumnya tak membuat Kanaka muda beranjak dari balkon kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin malam yang malam ini bertiup lebih dingin dari malam sebelumnya tak membuat Kanaka muda beranjak dari balkon kamarnya. Pria berusia awal 20 tahunan itu tampak melamun panjang menatap kosong ke depan. Otaknya terlalu berisik saat ini.
      
Hatinya tengah dilema. Antara ingin membantu kekasihnya atau tetap menjaga hubungan baiknya dengan Kanaya. Gadis bermata dingin yang baru dia kenal seminggu kebelakang ini.
      
Padahal akhir-akhir ini Kanaka sering berkhayal. Sepertinya berteman dengan gadis seperti Naya bukanlah hal yang buruk. Mungkin akan terasa lebih menyenangkan, karena gadis itu dapat menarik hati Terra Adiknya. Yang sebelumnya sangat susah untuk dicuri. Tapi sepertinya dengan mudahnya Naya menarik perhatian Terra sampai kedua gadis itu berteman baik sekarang.
      
Tapi mengingat bagaimana kehidupan Bianca dari yang gadis itu sering ceritakan padanya. Membuat niatnya untuk mempertahankan pertemanannya dengan Naya sedikit agak luntur.

Kanaka lebih bersimpati pada Bianca, mungkin karena itu, sekarang dirinya tengah bersiap-siap mengambil kameranya dan beranjak dari kamar tidurnya sekarang.
      
"Apa-apaan kau ini?! Kembalikan sepatuku dasar tua bangka menyebalkan!!"
      
"Kau mau ini? Ambillah-ambillah," Naka melempar sebelah sepatu Naya ke sembarang arah. Lalu kembali berlari menjauhi gadisnya dengan tawa puas yang menyembur dari mulutnya.
      
Di teras sebrang, Kanaka muda tengah ragu menekan kameranya. Satu jepretan saja, mungkin dia akan menghancurkan hidup gadis bernama Kanaya. Yang dia tahu saat ini gadis itu tengah menikmati kehidupannya.
      
"Kanaka! Aku bilang kembalikan! Bagaimana caraku kembali ke rumah? Kau mau aku berjalan tanpa alas kaki?"
      
Tawa Naka terhenti. Senyum jahil kini terbentang di wajah cerahnya. Kakinya melangkah kembali mendekati Naya. Lalu membawa tubuh gadis itu ke dalam gendongannya dengan sangat mudah.

"Tentu tak akan aku biarkan kakimu menyentuh tanah tanpa alas pelindung Kanaya. Kau sangat berharga untukku."
      
Sedikit lagi. Jika saja salah satu diantara keduanya bergerak mendekat, mungkin bibir keduanya akan bertubrukan saat itu juga. Naya terbengong. Merasakan degub jantungnya yang bertalu cepat karena keintiman keduanya.
      
Cekrik!
      
Jari tangan Kanaka muda bergerak menekan tombol kamera di waktu yang tepat. Pemandangan yang dia ambil tampak begitu intim. Bisa saja seseorang yang melihat hasil jepretannya mengira kedua orang itu tengah berciuman membelakangi kamera.
      
Setelah mendapatkan tiga hasil foto yang tampak sempurna. Kanaka muda kembali menarik diri ke balkon kamarnya. Kembali merenung atas tindakan bodohnya. Sebentar lagi Kanaya mungkin akan kehilangan kepercayaan orang tuanya berkat dirinya.
      
"Aku mendapatkannya Bianca. Aku mendapatkannya untukmu." Lirihnya. Menatap berat hasil jepretan di layar kameranya.

🍂🍂🍂

"Turunkan aku! Kau ingin membawaku kemana?" Naya memukul punggung Naka cukup keras. Pria itu menggendongnya bagai memikul karung beras.
      
"Aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang."
      
"Seseorang? Siapa?" Tangannya berhenti memukuli Naka.
      
"Seorang gadis kecil yang cantik." Naka tersenyum sendu di sela langkah kakinya memasuki lift.
      
"Seorang gadis kecil? Siapamu?" Naya memicing curiga. Otaknya mulai berspekulasi yang tidak-tidak.
      
"Gadis cantik pujaanku setelah dirimu. Kau akan menyukainya setelah melihatnya."
      
Naka membuka pintu kamar mereka. Membuat tawa dua orang wanita berbeda umur di dalam sana terhenti seketika. Mendengar suara tawa anak kecil yang terdengar begitu riang, membuat Naya menegakan punggungnya. Sebisa mungkin memutar tubuhnya untuk melihat sosok kecil itu.
      
Dan kala tatapan keduanya bertemu, Naya merasa merinding seketika. Jantungnya serasa mencelos ke perut. Matanya terasa panas seperti ingin menangis tanpa sebab. Ada apa dengannya? Perasaan aneh apa ini?
      
Sosok itu... Siapa sosok cantik bergigi kelinci dan berponi tipis yang tengah melihatnya dengan binar mata yang terlihat begitu cantik. Kenapa bisa sampai membuat dirinya merasa seperti ini?
      
Kepala pelayan tersenyum hormat melihat kedatangan Tuannya. Lalu sedikit mundur memberikan jarak pada gadis kecil yang dia jaga dari beberapa jam lalu. Naka menurunkan Naya ke lantai kamar. Membiarkan gadis itu menatap sepuasnya ke satu objek yang tak henti mengunci tatapan Naya.
      
"Siapa anak ini? Kenapa ada di sini?" Tanya Naya pada Naka. Meskipun tatapannya masih terkunci pada anak yang ditaksirnya berusia dua tahunan..
      
"Anakku."
      
"Apa?" Barulah Naya menoleh terkejut dengan mata membola sempurna.
      
"Anakku. Cantik bukan? Dia gadis cantik pujaanku di urutan kedua setelah dirimu. Dia yang ingin kuperkenalkan padamu."
      
Dada Naya rasanya meradang. Enteng sekali pria ini bicara begitu padanya tanpa memikirkan perasaannya. Naka benar-benar pria yang susah ditebak. Selalu banyak kejutan yang Naya dapatkan dari Naka.
      
"Ohh, jadi benar kau sudah menikah bahkan memiliki anak? Sejujurnya sejak awal aku sudah curiga padamu. Kau sendiri juga tahu itu bukan? Dan ternyata semuanya memang benar. Spekulasi burukku padamu selama ini benar terjadi sialan!"
      
Mata Naka terbelalak mendengar umpatan Naya. Kepala pelayan pun sama, perempuan itu segera menutup kedua telinga anak batita yang berdiri di depannya.
      
"Jaga ucapanmu Kanaya. Di sini ada anak kecil."
      
"Kenapa? Kau keberatan anakmu mendengar hal itu?!"
      
"Tentu! Orang tua mana yang rela telinga anaknya tercemari dengan kata-kata kasar? Ibunya juga mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkannya ke dunia. Kau harus menghargai itu."
      
"Lihat siapa yang baru saja bicara." Mata Naya ikut melotot murka sekarang. Dadanya benar-benar sudah meradang.
      
"Kanaya bukan begitu maksudku." Ucapan Naka terdengar melemah.
      
"Lalu apa? Kau ingin menjelaskan apa lagi padaku? Wahh! Aku tak percaya kalau selama ini aku tinggal dengan suami orang dan Ayah satu anak! Hidupku ini kenapa kacau sekali!"
      
"Aku belum menikah! Sudah kukatakan itu berapa kali padamu? Aku lajang!" Setidaknya di masa ini dia benar-benar masih lajang.
      
"Lalu bagaimana bisa kau memiliki anak? Kau membuatnya tanpa menikah?!"
      
"Otakmu itu benar-benar." Naka kehabisan kata-kata. "Memangnya memiliki anak harus dengan menikah dan membuatnya dulu? Aku memiliki anak, tapi tidak melalui dua proses itu. Dia menjadi anakku setelah aku mengangkatnya menjadi anakku. Kau mengerti sekarang?"
      
"Tunggu. Apa?" Naya blank. "Jadi, dia anakmu tapi bukan anak biologismu?" Ujarnya memperjelas pertanyaannya.

Time Travel: Wave Of Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang