🍂 LIMA 🍂

208 24 1
                                    

"Apa yang kalian bicarakan? Kenapa berbisik begitu?" Tanya Naya penasaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang kalian bicarakan? Kenapa berbisik begitu?" Tanya Naya penasaran.

Langkah kaki keduanya melangkah beriringan di tengah lautan manusia yang ikut memadati jalanan kayu di atas permukaan air.
      
"Kau memintaku menjadi Ayahmu untuk hari ini kan? Aku membantumu untuk menang, Naya."
      
"Lalu bagaimana dengan Ayah Bianca?" Naya mendongak pada Naka yang masih menekuni ponsel genggamnya. Pria itu benar-benar menjadikan potret Naya sebagai wallpaper ponselnya tanpa sepengetahuan Naya.
      
Naka balas menatap Naya setelah selesai dengan kesibukannya. Ponselnya pun sudah kembali tersimpan di dalam saku celana bahannya.

"Dia tidak mampu menjawabku. Saat aku bilang dia sudah bukan lagi Ayahmu setelah membuangmu tanpa perasaan."
      
Pupil coklat Naya melebar menatap netra hitam Naka. Ucapan yang selalu ingin dia layangkan pada Ayahnya namun tak kunjung keluar dari mulutnya, kini sudah tersampaikan lewat mulut Naka. Tanpa Naya minta.
      
"Terimakasih lagi. Karena sudah hadir untukku hari ini, Paman."
      
Naka tercekat. Apa perkataan kasarnya pada Samuel, dapat membuat Naya merasa selega ini sampai berkali-kali berterimakasih padanya dengan tatapan sesendu ini?
      
"Kakiku lelah sekali. Ayo pulang." Gumam Naya.
      
"Kakimu lelah? Sejak kapan? Kenapa tidak bilang padaku?" Desis Naka penuh kekhawatiran.
     
Naya mengerjap tak percaya. "Untuk apa bilang padamu? Memangnya aku anak kecil?"
      
"Kau bukan anak kecil. Lagi pula aku tidak pernah menyukai anak kecil."
      
"Lalu kenapa kau memperlakukanku seperti anak kecil terus menerus hari ini?!"
      
Bugh!
      
Naya kembali memukul lengan Naka dengan buket bunga.
      
"Kenapa kau terus-terusan memukulku dengan buket bunga hari ini?" Tanya Naka dengan mata yang terbelalak terkejut. Tubuhnya bahkan sudah mundur menghindari serangan Naya yang kapan pun dapat dia dapatkan lagi.
      
"Entahlah. Aku hanya merasa puas saja setelah memukulmu dengan buket bunga. Setelah tidak tahu lagi bagaimana berucap untuk menyuarakan kekesalanku atas tingkah menyebalkanmu itu Paman."
      
Tatapan Naka mengekori punggung Naya yang berjalan menjauh darinya dengan tangan mungil yang menenteng kasar buket bunga pemberiannya. Senyum kecil kembali terbentang di bibir Naka. Senang rasanya Naya dapat memukulnya dengan sesuka hati tanpa alasan yang jelas di era ini.
      
Tidak seperti di masa depan. Gadis itu selalu memendam emosinya seorang diri tanpa berniat melampiaskannya padanya. Sumber datangnya emosi di diri Naya.
      
Kaki Naka mulai mengekori langkah Naya. Lalu berjongkok tiba-tiba di depan Naya. Hampir membuat Naya terjungkal ke depan jika reflek gadis itu tak bagus.
      
"Apa yang kau lakukan di sana?! Sepertinya kau senang sekali dipukul bunga olehku Paman!" Sindir Naya penuh kekesalan.
      
"Naiklah ke punggungku. Aku akan menggendongmu. Parkiran mobil masih sangat jauh dari sini. Naiklah."
      
Naya terbelalak saat puluhan pasang mata kini berpusat pada keduanya. Naya tak suka menjadi pusat perhatian.
      
"Berdiri. Ayo berdiri." Tangan mungilnya menarik-narik pundak tegap Naka untuk kembali bangkit dari posisi bersimpuhnya.
      
"Tidak mau. Naik saja. Cepat."
      
"Apa yang kau lakukan?" Ringis Naya menahan malu dan kesal yang menjadi satu.

Time Travel: Wave Of Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang