8| Dalam Keheningan Bioskop

1 0 0
                                    


***

Happy Reading


Hari yang diisi dengan semangat dan harapan kini berlanjut dalam bayang-bayang keraguan dan ketidaknyamanan. Larisa, bersama dengan teman-teman baiknya, duduk di dalam bioskop yang gelap, diapit oleh layar raksasa yang menampilkan adegan-adegan film yang seharusnya memikat mereka. Namun, perhatian Larisa terpecah. Di sebelahnya, Antony duduk dengan tenang, matanya lebih tertuju kepada Larisa daripada film yang sedang diputar.

"Ini akan menjadi kesempatan yang bagus untuk mendekat," pikir Antony. Perlahan, dia merentangkan tangannya, mencoba untuk meraih tangan Larisa yang berada di pangkuannya. Ketika jari-jarinya menyentuh tangan Larisa, Larisa merasakan sesuatu yang tak nyaman. Hati kecilnya berontak, tapi dia berusaha tetap tenang. Dengan cepat, Larisa mengangkat tangannya, menaruhnya di atas paha, membuat Antony kecewa. Namun, kekecewaan itu tidak menghentikannya. Dia mencoba lagi, kali ini dengan mencoba merangkul pundak Larisa.

Larisa bisa merasakan sentuhan itu. Dia merasa risih. Meskipun ruangan gelap, Larisa tahu bahwa teman-temannya mungkin tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Dalam kebingungannya, dia berusaha menyingkirkan lengan Antony secara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan. Antony, yang merasa dipermalukan oleh penolakan halus ini, hanya bisa meredam amarahnya. Namun, dia tidak menyerah. Sekali lagi, dengan gerakan cepat, dia meraih tangan Larisa. Kali ini, Larisa tidak langsung menolak. Dia terdiam, merasa terperangkap dalam dilema yang tidak nyaman. Antony tersenyum, mengira bahwa Larisa mulai menerima kehadirannya.

Namun, Larisa hanya memikirkan bagaimana cara keluar dari situasi ini. Dia merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa. Pikiran Larisa berkelana, mengingat bagaimana Adrian selalu memperlakukannya dengan penuh hormat, meski sering kali mendapat penolakan. Adrian, meskipun berusaha mendekatinya, tidak pernah memaksa. Larisa merindukan sikap itu, sikap yang kini dia sadari sebagai sesuatu yang membuatnya merasa aman.

"Maaf, aku perlu ke toilet sebentar," kata Larisa, tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Dia melepaskan genggaman tangan Antony dan berjalan menuju pintu keluar. Antony terkejut, tetapi tidak berusaha menahan Larisa. Dia berpura-pura tersenyum kepada teman-teman Larisa yang tampak asyik menonton film, tetapi di dalam hatinya dia merasa kesal. Larisa berjalan cepat ke toilet, hampir berlari.

Di dalam toilet, Larisa duduk di atas kloset, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Air mata menetes dari matanya. "Kenapa semua ini terjadi? Aku tidak menginginkan ini," pikirnya sambil memeluk dirinya sendiri. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak dia harapkan. Di saat seperti ini, bayangan Adrian muncul dalam benaknya. "Adrian... di mana kamu sekarang? Kenapa aku merindukan perhatianmu?" gumamnya dalam hati.

Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka media sosial. Saat membuka akun sekolah, dia melihat berita tentang tim sepak bola mereka yang berhasil lolos ke semifinal. Foto-foto Adrian yang sedang digendong oleh teman-temannya terpampang jelas di layar. Melihat wajah Adrian yang tersenyum lebar, Larisa merasa air matanya kembali mengalir. Dia mengusap layar ponselnya, seolah-olah mencoba menghapus jarak antara mereka.

Dengan air mata yang masih menggenang, Larisa memutuskan untuk kembali ke dalam bioskop. Dia menyeka air matanya, mencuci muka dengan air dingin agar tidak terlihat habis menangis. Setelah merasa cukup tenang, dia keluar dari toilet dan kembali ke kursinya. Namun, kali ini, dia tidak duduk di sebelah Antony. Sebaliknya, dia menempel erat pada teman baiknya, berusaha menjaga jarak dari Antony.

Saat film selesai, teman baik Larisa menatapnya dengan penuh tanya. "Kenapa kamu tidak kembali? Ada apa?" tanya mereka. Larisa tersenyum lemah dan berkata, "Aku merasa pusing, mungkin karena lelah menatap layar terlalu lama." Antony mencoba berpura-pura peduli, "Kamu baik-baik saja, Larisa? Mungkin sebaiknya kita pulang saja."

Namun, Larisa sudah mengambil keputusan. Dia menggandeng tangan teman baiknya dengan cepat, "Kita ke mana selanjutnya?" tanyanya. Antony, yang merasa jengkel dengan perubahan sikap Larisa, tetap tersenyum, "Kita makan dulu, bagaimana?" Dengan berat hati, Larisa menyetujui ajakan itu, tetapi kali ini, dia tidak memberi kesempatan kepada Antony untuk mendekat. Sepanjang waktu makan, Larisa lebih banyak menempel pada teman baiknya, bahkan tanpa memberikan celah bagi Antony untuk berbicara.

Di tengah makan, Larisa diam-diam mengirim pesan kepada ayahnya, meminta agar dia dijemput. "Lokasi kita di restoran Taman Anggrek, Ayah," tulisnya. Ayah Larisa, yang sangat menyayangi putrinya, segera menyetujui dan berjanji akan segera menjemput.

Setelah selesai makan, Antony berkata dengan semangat, "Aku akan mengantar kalian pulang." Namun, Larisa dengan senyum yang penuh kepura-puraan menjawab, "Tidak perlu, Antony. Ayahku sudah ada di depan." Wajah Antony berubah, tetapi dia tidak bisa menolak. Teman-teman Larisa, yang sejak tadi hanya mengamati, segera memutuskan untuk ikut dengan Larisa. "Tentu saja, kami ikut dengan Larisa!" jawab mereka dengan semangat, meninggalkan Antony sendirian.

Setelah berpisah, Antony berjalan menuju mobilnya. Saat masuk ke dalam mobil, dia memukul setir dengan kesal. "Brengsek," katanya dengan marah, merasa gagal dalam usahanya mendekati Larisa.

I GOT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang