Akasa masih memejamkan matanya. Tidak, lebih buruk dari itu ia tak hanya memejamkan matanya, melainkan jatuh pingsan setelah tak kuat menahan rasa sesaknya.
Ibu dan Ayahnya langsung membawanya ke Unit Gawat Darurat dan berakhir menjadi tawanan rumah sakit.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam, namun Bagas belum terlihat. Ibu Akasa sudah memberitahunya jika Asa masuk rumah sakit melalui pesan singkat karena saat di telfon Bagas tak mengangkat. Entah saat ini pria jangkung itu sudah membaca pesan dari Ibu kekasihnya itu atau belum.
Dengan telaten ibu Akasa mengelus lembut punggung tangan putranya yang saat ini tertancap jarum infus. Sudah lama sejak Asa harus di rawat sampai perlu di infus seperti ini.
Bruuuk
Pintu terbuka cukup keras, seseorang membukanya paksa. Siapa lagi kalau bukan yang sangat ditunggu, Bagas. Nafasnya tersengal, sepertinya ia berlari untuk bisa sampai lebih cepat.
"Hahh...hahh Asaa, gimana keadaan Asa, bu?"
"Bagas....tenang nak, Asa udah lebih baik. Sini duduk dulu."
Ibu Asa bangkit dari duduknya, membiarkan kekasih putranya menggantikan posisinya.
"Maafin aku sayang..." ucap Bagas penuh penyesalan. Ia bahkan tak mengindahkan norma sopan santun pada kedua orang tua Akasa. Ia masih bergulat dengan rasa khawatirnya.
"Asa belum sadar dari tadi. Dia pingsan karena sesaknya kambuh." Kali ini Ayah Asa yang bersuara.
Fakta itu tentu semakin membuat tekanan besar yang Bagas rasakan.
Bagas bangkit dari duduknya, beralih menghadap Ayah dan Ibu Asa dengan kepala tertunduk.