PART 5

714 176 6
                                    

Bisma mengedarkan pandangannya kesana-kemari. Pria itu bahkan celingukan sembari mondar-mandir di depan sebuah toko
modern tempat di mana tadi Anton sempat bertemu dengan Vera.

"Ya nggak mungkin juga mbak Vera ada di sini, Bang. Paling-paling tadi itu dia cuma nggak sengaja mampir aja. Lagian juga ini di tempat umum, siapa aja boleh mampir. Nggak mungkin rumah mbak Vera ada di sekitar sini," ujar Anton.

Sejak tadi dia berdiri bersandar pada kap mobil, menunggu Kakak sepupunya yang seperti orang linglung mondar-mandir mencari sosok yang tidak mungkin ada lagi di sini.

Anton meringis menyentuh sudut bibirnya. Sial sekali tadi dia tidak membuat persiapan kalau-kalau mendapat serangan seperti ini dari Bisma.

Andai saja tadi dia menghubunginya melalui telepon, mungkin sudut bibirnya tidak akan terluka dan robek seperti ini.

Nasib sial memang tidak ada yang tahu, pikir Anton.

"Salah kamu sendiri kenapa nggak langsung kasih tahu aku kalau ketemu dengan Vera di sini. Coba kamu tahan dia, tunggu sampai aku datang, pasti bakalan ketemu. Ini apa, kamu cuma ngasih tahu setelah kamu bertemu dengan dia." Bisma mendengus dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Andai saja dia tidak memiliki pikiran rasional, ingin sekali lagi dia melayangkan pukulan ke wajah mulus Anton.

Adik sepupu tidak berguna ini memang selalu memberi kejutan yang selalu terlambat.

"Aku mana tahu kalau Abang ngebet banget mau ketemu dengan mbak Vera. Salah sendiri dulu kenapa juga mau cerai. Menyesal juga nggak akan berguna," ujar Anton sambil mendengus.

"Kamu nggak tahu apa-apa. Kamu nggak paham dengan konflik rumah tangga."

"Aku memang nggak pernah berada di posisi Abang. Tapi, kalau sudah tahu aku mencintai pasanganku, aku pasti bakalan mencari segala macam cara untuk mempertahankan dia. Bukan justru menceraikan dia, seperti yang Abang lakukan ke mbak Vera." Anton berucap dengan santai dan tenang tidak peduli jika Bisma akan panas mendengarnya.

Bisma tidak menyahut. Pria itu terus mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan harapan bisa menemukan keberadaan Vera lagi.

Sayangnya sudah 1 jam mereka menunggu di sini dan sudah 1 jam pula Anton dalam kondisi jenuh, tidak juga membuahkan hasil dan tidak juga bertemu dengan Vera.

Akhirnya kedua laki-laki itu pulang dengan perasaan kecewa. Lebih tepatnya Bisma yang tidak bisa bertemu dengan mantan istrinya itu.

"Kalau ada obat paling pahit sekalipun di dunia ini untuk menyembuhkan rasa sesal, aku tidak masalah kalau harus meminumnya. Sayangnya, tidak ada obat untuk penyesalan," gumam Bisma.

Pria itu menyandarkan tubuhnya pada jok mobil di belakang dengan tatapan kosong menatap lurus ke depan.

"Allah juga nggak mungkin ngasih obat penyesalan buat orang-orang yang bahkan nggak mau kasih orang lain kesempatan." Sahutan Anton terdengar santai dan tenang. "Lagian Abang juga, kenapa dulu mau-mau aja menikah muda? Akhirnya, pondasi  rumah tangga nggak kuat dan roboh deh berantakan."

Bisma tidak langsung menjawab. Pria itu hanya menatap lurus ke depan, dengan pikiran berkelana pada kejadian beberapa tahun yang lalu.

"Dulu aku berpikir kalau menikah dengan Vera, aku bisa memilikinya seutuhnya. Dia akan tetap bersamaku selamanya, tapi sayangnya aku hanya berekspektasi tinggi. Kenyataannya, kami masih terlalu muda untuk memahami ego kami masing-masing. Belum lagi campur tangan Ibu dan Gea yang buat semuanya semakin berantakan dan nggak bisa ditahan."

"Ada campur tangan Gea juga? Gila aja, memang dia ikut-ikutan kenapa?"

Anton baru tahu jika sepupu perempuan yang bernama Gea, juga adik kandung dari Bisma ikut-ikutan dalam masalah rumah tangga kakaknya.

"Kamu tahu sendiri, kehadiran orang baru di rumah yang buat mereka nggak nyaman mungkin." Bisma mengangkat bahunya. "Aku terlalu muda saat itu untuk memahami kalau nggak ada dua ratu dalam satu istana."

"Ah, terima kasih atas pengalaman Abang, setidaknya membuat aku belajar kalau sebelum menikah aku harus mempersiapkan diri baik secara finansial maupun mental." Anton tersenyum tipis menatap Kakak sepupunya. Sedikit merasa kasihan, selebihnya merasa bersyukur karena dia tidak di posisi  Bisma.

Tak lama kemudian mereka kembali tiba di kediaman Bisma. Bisma masuk rumah dengan perasaan kecewa dan Anton kembali ke rumahnya sambil berusaha untuk mencari keberadaan Vera. Setidaknya Anton  sedang berusaha untuk menyembuhkan kerinduan sepupunya itu pada mantan istrinya yang dulu.

Tiba di rumah ternyata adik perempuannya saat ini sedang bercerita dan berkumpul dengan teman-teman sekolahnya.

"Kalau gue jadi lo,  pasti bakalan gue terima anak geng Ronster itu. Ya kali cowok keren-keren kayak gitu ditolak," ujar seorang gadis dengan penuh semangat.

Adik Anton, Arsya, menggelengkan kepala melihat tingkah laku temen-temennya itu. Dia yang menolak laki-laki, tapi temannya yang tampak menggebu-gebu.

"Kita masih kecil, aku nggak mau pacar-pacaran. Nanti hamil tahu rasa." Arsya, dengan keluguannya berkata membuat teman-temannya gemas satu sama lain.

Sementara Anton menggelengkan kepalanya, ternyata doktrin yang diberikannya pada sang adik masuk juga kepikiran dan telinganya.

Baru saja akan melangkah masuk, Anton menghentikan langkahnya ketika mendengar  suara perempuan lain yang mulai membahas topik lain.

"Tapi kalau nggak salah di gengnya Nanta itu ada yang paling ganteng. Dimas. Mungkin lo naksirnya sama Dimas kali?"

"Aku naksir sama Dimas? Nggak mungkin lah. Orang Dimas itu anak nakal. Kemarin aja dia dibawa sama polisi karena berantem dengan teman-temannya. Terus kakaknya deh yang datang buat bebasin dia."

Dimas? Entah mengapa, Anton yang menguping sangat berharap jika Dimas yang dimaksud oleh adik perempuannya itu adalah Dimas yang sama yang ditemuinya barusan.

Sepertinya Anton  akan berbicara dulu dengan Arsya untuk mengkonfirmasi Dimas mana yang dimaksudkan olehnya.

Segala kemungkinan kecil itu bisa terjadi, pikirnya.

Anton melangkah masuk dan kebetulan teman-teman adiknya langsung terdiam sambil menatap ke arahnya dengan mata berbinar.

Anton melempar senyumnya pada mereka.

"Mama ada di dalam, Dek?" Anton bertanya pada adiknya.

"Ada. Mama lagi di kamar, kayaknya lagi tidur siang. Kalau abang mau bangunin mama, tunggu 1 jam lagi. Mama bilang kalau mama mau tidur selama 2 jam. Nah, sekarang udah 1 jam terlewat, tinggal satu jam lagi." Arsya berkata sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu menatap sang kakak dengan mata polosnya.

Anton jangan ditanya, pria itu menganggukan kepala dan memilih untuk masuk.

Bertanya tentang keberadaan mamanya hanya basa-basi semata karena tidak mungkin Anton akan langsung menyelonong masuk melewati adik dan teman-temannya tanpa menyapa mereka terlebih dahulu.

Tak enak kalau harus dibilang sombong meskipun fakta kenyataannya memang Anton sedikit sombong, enggan untuk menyapa orang baru apalagi orang asing.

DIKEJAR MANTAN SUAMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang