Bab 8

538 141 10
                                    

Vera menggerakkan jari jemarinya di atas keyboard laptop dengan sangat lincah.

Sesekali wanita itu menyesap minuman di dalam gelas, lalu tatapannya fokus pada tulisan yang dia buat dengan hasil pemikirannya sendiri.

Perempuan cantik itu saat ini sedang menulis sebuah novel dengan judul 'Wisnu, Si Duta Sawit' yang ia buat di sebuah platform berbayar.

Vera berharap semoga saja ceritanya kali ini akan sangat diminati oleh orang-orang.

Duta sawit sendiri adalah singkatan dari duda tampan sarang duit yang kebetulan Vera mendapatkan ide cerita tersebut dari seorang duda langganan tokonya yang sangat kaya raya.

Duda ini pula rumahnya berada tak jauh dari posisi rumah Vera berada. Mereka bertetangga, namun jarang bertegur sapa karena masing-masing menjaga sikap.

Wanita cantik itu melirik pada wajah masam Dimas.

"Kamu kenapa mukanya masam begitu? Sudah mandi 'kan? Aneh juga kalau masih cemberut nggak jelas." Vera berkomentar saat menatap wajah adiknya yang merengut. Baginya tidak penting, kenapa Dimas memasang wajah cemberut seperti itu.

Memang sudah biasa bukan? Batin wanita itu berucap.

"Mbak, ayo dong, beli daging, ayam, ikan, atau sosis kek. Kenapa cuma ada sayur aja? Aku ini mau makan makanan bergizi. Bukan makanan sapi seperti itu," ujar Dimas penuh keluhan. Sejak tadi dia diam menunggu kakaknya bertanya dan ketika kakaknya bertanya tentu saja Dimas memanfaatkan kesempatan itu untuk memprotes makanan yang dihidangkan untuknya.

Ada salad sayur, sayur asam, tumis kangkung, dan apapun yang dilihatnya di dalam piring adalah jenis sayur-sayuran yang sangat dibenci oleh Dimas.

"Sayur-sayuran itu bagus dan bergizi. Makanya belajar itu di sekolah bukan di jalanan buat tawuran doang. Kayak gitu aja kamu nggak paham."

"Bergizi apanya? Ini mah makanan kambing atau sapi. Daun-daun kayak gini nggak layak dikonsumsi oleh manusia."

"Memangnya kamu manusia?"

Skak.

Dimas bungkam ketika mendengar pertanyaan ini.

Pemuda itu kemudian merengek pada sang kakak untuk segera membelikan makanan yang jauh lebih layak untuk masuk ke dalam perutnya daripada sayur-sayuran yang sangat dibenci olehnya.

"Ayo, lah, Mbak. Aku juga pengen makan yang enak-enak. Masa iya dari kemarin aku dikasih sayur-sayuran. Aku itu pengen tumbuh ke atas, bukan pengen tumbuh-tumbuhan. Pokoknya aku mau makan daging," ujar Dimas merengek.

"Kalau kamu mau makan daging beli sana."

Wajah Dimas langsung berubah cerah saat mendengar pernyataan kakaknya ini.

"Ya udah mana duitnya, biar aku delivery aja. Mbak Vera mau makan apa? Kalau aku pengen makan steak, udang, ah aku juga pengen makan cumi, tadi malam aku lihat orang vlog makan. Jadinya pengen deh." Dimas tersenyum sambil mengusap perutnya membayangkan jika sebentar lagi akan ada makanan yang diinginkannya dihidangkan di depan matanya.

"Pakai duit kamu."

Senyum Dimas langsung menghilang, gerakan tangannya pun terhenti, dilemparkannya tatapan tak percaya pada sang kakak.

"Mbak yang benar aja, aku mana ada uang. Makanya aku dari tadi nggak bergerak dari sini karena nunggu uang dari Mbak."

Gerakan jemari Vera terhenti dan menatap ke arah Dimas dengan kernyitan di dahinya.

"Yakin kamu nggak ada uang?"

Dimas langsung menganggukkan kepalanya.

"Seriusan kamu nggak ada uang?"

Sekali lagi Dimas menganggukan kepalanya kali ini dengan tegas.

Sayangnya, Vera justru terkekeh.

"Oh, berarti tadi Mbak ketemu dompet di bawah kolong tempat tidur kamu, terus Mbak lihat ada banyak duit. Berarti itu duit Mbak bukan duit kamu."

Dimas langsung menegang kaku ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Kakak perempuannya ini.


"Ah, mbak Vera nggak adil. Kenapa pula mbak Vera ambil dompet aku? Kembalikan dompet aku, Mbak."

Dimas langsung bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Vera. Pemuda itu duduk di sebelah kakaknya dan mulai merengek agar segera dikembalikan dompetnya.

Sementara Vera sendiri mendengus sinis menatap Dimas. "Makanya kamu jangan coba-coba untuk curang dengan mbak. Kalau banyak duit itu dipakai, bukan justru disimpan."

"Aku pakai, tapi kalau ada uang Mbak, kenapa pula aku harus repot-repot keluar uang?"

Spontan saja Vera langsung menjitak kepala adik tidak tahu diri ini, daripada bikin emosi mengeluarkan tenaga hanya untuk mengoceh lebih baik tangannya saja yang bergerak.

Maka di sinilah kedua kakak beradik itu berada.

Berada di sebuah restoran bintang 5 dengan banyak sekali menu yang dihidangkan di atas meja.

Dimas yang melihat tumpukan makanan tersenyum penuh haru menatap Vera.

"Ah, mbak Vera memang Kakak terbaik aku satu-satunya yang ada di dunia ini." Dimas mencium jarak jauh Kakak perempuannya, membuat Vera yang melihatnya bergidik ngeri.

Belum lagi tangan Dimas yang terus mengirim ciuman jarak jauh, membuat wanita itu mendelik.

"Jaga sikap. Ingat kalau kita ini ada di mana sekarang?"

"Ingat. Kita ada di restoran di mana orang-orang high class berada. Oke, fix, aku akan menjaga sikap dan bersikap seperti bangsawan." Senyum Dimas langsung merekah memesona dengan tubuh ditegakkan dan mulai mengambil pisau serta garpu yang ada di hadapannya. "Sering-sering Mbak ajak aku makan keluar di tempat seperti ini. Aku pasti bakalan pintar dalam waktu 1 menit."

"Pintar menipu," timpal Vera.

"Oh, aku nggak pernah nipu Mbak."

"Mau Mbak jabarkan?"

Dimas langsung bungkam ketika ditantang seperti itu oleh kakaknya.

Akhirnya keduanya makan dengan tenang menikmati hidangan yang disajikan.

Vera memang seperti itu, mulutnya saja yang kasar, namun bagaimanapun dia tetap menyayangi adik laki-lakinya ini.

DIKEJAR MANTAN SUAMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang