Ariana - 15. Tengah Kemacetan

77 13 2
                                    

Ariana - Susah, Mas.
.
.
^^^^

"Assalamualaikum."

Kafi yang semula tengah berkutat dengan lembaran kertas di atas meja, pun lantas menoleh dan segera membereskan kertas-kertas itu, berikut dengan laptopnya yang segera ia tutup dan ia tepikan, agar bisa berhadapan dengan Ariana yang kini berdiri di hadapannya.

"Nanti jam makan siang, kita pergi ke Pandawa Resto untuk menemui produsen kain, sama sekalian pergi ke tokonya, terus cari bahan-bahan yang sudah dicatat kemarin. Masih ada di kamu, 'kan?"

Ariana mengangguk pelan. "Masih di laptop saya, Mas."

Kafi juga mengangguk. "Ada yang mau ditanyakan?" tanya Kafi ketika Ariana tak kunjung pergi dari hadapannya.

Ariana memandang laki-laki itu sejenak, sebelum menundukkan pandangan. "Mm ... saya boleh tanya?"

Kafi mengangguk lagi. "Boleh, duduk dulu." Ia menunjuk salah satu kursi di hadapannya, meminta Ariana duduk di sana.

Ariana bergerak memilin ujung jilbab segiempat yang ia kenakan.

"Yaya?" Kafi memanggilnya ketika tak kunjung Ariana membuka suara.

Ariana lebih dulu membenahi letak duduknya, ia masih dalam posisi menunduk ketika bertanya, "Kenapa ... kemarin Mas gak jujur tentang Abel? Mas gak jujur tentang status Mas yang gak lajang lagi?"

Kafi mengangkat kedua alisnya, lantas tersenyum tipis. "Siapa bilang?"

Ariana sontak mengangkat kepalanya, menatap Kafi dengan pandangan berani. "Orang iya kok! Kemarin waktu Papa tanya Mas masih lajang, Mas jawab iya, padahal Mas sudah punya Abel!"

Kafi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang kenapa kalau punya Abel?"

Ariana mendesis pelan, menatap Kafi kesal. "Ish! Harusnya Mas jujur aja, kalau Mas itu duda anak satu, gak usah ditutup-tutupi! Toh, Papa sama Mama juga gak masalah dengan status itu, selama Mas memang laki-laki baik, mereka pasti bisa terima kok."

Kafi terkekeh, menundukkan kepalanya sambil geleng-geleng. "Iya-iya, nanti Mas jujur. Ada lagi?" Pandangan dan suaranya yang begitu lembut, terlebih kata 'saya' yang tiba-tiba berubah dengan menyebut dirinya sebagai 'Mas', justru membuat Ariana tak tahan untuk mengalihkan pandangan sembari menggigit bibir bawah kuat-kuat.

Ariana menggelengkan kepalanya tegas. "Gak ada! Tapi, Yaya paling gak suka sama laki-laki yang gak jujur."

Kafi mengangguk lagi. "Kalau menurut kamu ada sikap dan perilaku Mas gak sesuai, bilang aja, biar Mas bisa perbaiki itu. Maaf, ya? Dan, terimakasih karena sudah mengingatkan."

Ariana menghela napas pelan, lalu menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu, Yaya permisi." Gadis itu segera keluar dari ruangan Kafi yang kini menundukkan kepalanya sambil menahan tawa mengingat betapa lucu wajah gadis itu saat terlihat marah seperti tadi.

Siang harinya, mereka benar-benar pergi ke Pandawa Resto sesuai perkataan Kafi pagi tadi. Jaraknya yang cukup jauh, membuat mereka bergerak dari butik menuju tempat tujuan sekitar pukul 11.30.

"Macet, ya?" tanya Ariana saat mobil mereka tak kunjung bergerak maju karena banyak mobil-mobil berhenti di depan mereka.

Kafi melongok ke depan dan mengangguk. "Kayaknya ada kecelakaan di depan, macetnya lumayan panjang." Ia menoleh ke kanan-kirinya, lalu ke belakang. Posisi mobilnya sudah di tengah-tengah, tidak bisa putar arah ataupun mencari jalan pintas agar bisa lepas dari kemacetan.

"Kayaknya bakal lama," kata Kafi dengan tenang sembari mengotak-atik ponsel untuk mengirim pesan. "Saya sudah kabarin Pak Tio kalau kita datang terlambat, semoga beliau belum datang ke sana, jadi gak harus nunggu lama."

ArianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang