Ariana - 12. Kamu Bersedia?

66 10 2
                                    

Ariana - I-iya, saya bersedia
.
.
^^^^

Satu minggu sejak Umi Farida mengutarakan keinginannya pada sang putra bahwa ia menginginkan Ariana menjadi menantunya. Sejak saat itu pula, Kafi melakukan salat istikharah di setiap malamnya. Mencari sebuah petunjuk dari Sang Kuasa untuk hal yang akan ia lakukan, meminta yakin dan menghilangkan keraguannya.

Hari ini, menjalani rutinitasnya seperti biasa. Berkutat dengan laptop, iPad, kertas-kertas berisi segala hal tentang butik yang ia kelola.

Biasanya di pagi hari, ketika baru sampai di meja kerjanya, Ariana akan memasuki ruangannya untuk bertanya perihal tugas yang akan ia lakukan untuk membantu pekerjaan Kafi, seperti kali ini.

Setelah mendapatkan informasi tentang apa yang harus ia lakukan setelah ini, Ariana akan keluar dari ruangan itu. Namun, kali ini Kafi lebih dulu menahan pergerakannya.

"Yaya?"

Ariana yang sudah hampir mencapai pintu, pun menoleh. "Iya, Mas?"

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya sembari menggeser semua pekerjaannya, dan meminta Ariana untuk duduk di salah satu kursi di hadapannya.

Kafi berdehem pelan, menegakkan tubuhnya dengan kedua lengan ia tumpukan di atas meja. "Malam ini, kamu sibuk?"

Ariana yang sudah duduk di kursi di hadapan Kafi, pun mengerutkan keningnya. "Malam ini? Kayaknya ... enggak." Ia menggeleng pelan, sibuk menerka akan maksud Kafi menanyakan hal ini.

"Ayah sama Ibu di rumah?" Pertanyaan yang semakin membuat alis Ariana menyatu.

"Ayah sama Ibu ... ada." Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, masih belum menemukan alasan yang sekiranya masuk akal untuk Kafi menanyakan hal demikian.

Kafi menarik napas panjang, sebelum kembali berucap, "Saya boleh ke rumah malam ini?"

"Hah?" Ariana segera menutup mulut karena refleksnya ketika terkejut selalu terkesan tidak sopan. "Eeee ... sama Abel? Abel mau ketemu saya?"

Kali ini, Kafi menjawabnya dengan gelengan kepala. "Hanya saya."

Hal itu membuat Ariana semakin bingung, meski jantungnya mulai berdebar tak karuan, ada satu kemungkinan yang sepertinya ia terlalu memalukan karena sudah berpikir sepercayadiri itu.

"Mm ... kalau boleh tau, mau apa ya, Mas?" Ia ragu menanyakannya karena mungkin saja Kafi memiliki kepentingan dengan kedua orang tuanya. "Eh, maaf. Ayah sama Ibu ada di rumah kok, Mas. Kalau ada kepentingan dengan beliau, datang aja." Ia tersenyum kecil sebagai tanda permintaan maafnya karena terlalu ingin tahu urusan orang lain.

Kafi menatap Ariana yang kini menunduk. "Saya ingin meminta izin untuk mengenal kamu lebih jauh."

Ariana sontak mengangkat kepala, menatapnya dengan mata mengerjap-ngerjap, mulut yang berulang kali terbuka dan tertutup seolah ingin mengatakan sesuatu namun ia tidak tahu apa yang akan dikatakan.

"Boleh?" tanya Kafi mengangkat kedua alisnya, membuat Ariana tersadar dan segera mengalihkan pandangan ketika tatapnya tak sengaja bertemu dengan laki-laki itu.

Lama Ariana tidak menjawab, ia hanya bisa bergumam bingung, membuat Kafi kembali berucap, "Saya akan membatalkan niat saya kalau kamu tidak mengizinkan."

"Nggg ... b-boleh kok, Mas." Ia meringis canggung. "Kalau gitu, saya boleh keluar sekarang?"

Kafi sempat terdiam beberapa detik untuk menatapnya, sebelum mengangguk dan mempersilahkan ia keluar dari ruangannya.

Sampai di mejanya, Ariana segera menetralkan napasnya memburu, ia memegangi dadanya yang terasa berdebar hebat, kemudian memejamkan matanya dan menjatuhkan tubuh sepenuhnya pada sandaran kursi.

ArianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang