Ariana - 18. Rumah Kita

66 14 1
                                    

Ariana - Rumah ... kita?
.
.
^^^^

"Ariana ... apa kamu bersedia menjadi istri saya?"

"Hng?" Ariana menatap Kafi beberapa saat sebelum menundukkan kepalanya gugup.

Kafi menyerongkan badannya agar bisa menghadap Ariana yang terus menyuapi Abel. "Waktu dua bulan sudah cukup untuk kita saling mengenal, 'kan?"

Ariana melirik Kafi lagi, sebelum menganggukkan kepalanya, pura-pura sibuk dengan Abel.

Kafi terdiam berpikir beberapa saat. "Mungkin ... minggu depan saya akan datang ke sini bersama Umi, kalau kamu mau menikah dengan saya."

Ariana tak berkutik, tampak sekali ia belum menyiapkan jawaban apapun, membuat Kafi kembali berucap, "Kamu tidak harus memberi jawaban sekarang. Tapi, saya minta jawaban dari kamu sebelum hari itu, apa cukup untuk kamu bisa memikirkan jawaban yakin tanpa keraguan sedikitpun?"

Ariana terdiam bingung, lalu Kafi lagi-lagi melanjutkan perkataannya, "Saya meminta jawaban sebelum bawa Umi ke sini, karena saya tidak ingin membebani kamu dengan menerima pinangan saya hanya karena merasa tidak enak dengan Umi atau tidak ingin membuat beliau kecewa. Saya ingin kamu benar-benar menerima saya karena kamu yakin bahwa bersama saya semua akan berjalan dengan baik. Dan lagi, saya juga tidak masalah dengan jawaban kamu yang mungkin berpotensi mengecewakan atau tidak sesuai ekspektasi, tapi jujur saya tidak bisa kalau harus melihat Umi kecewa karena itu."

Karena Ariana tak kunjung memberi respons, Kafi pun terus berbicara, "Diterima atau ditolak, itu sama sekali tidak akan memengaruhi apapun. Kamu masih bisa tetap kerja di butik sebagai asisten saya. Saya pikir, proses pengenalan sudah cukup, saya berniat serius dengan kamu seandainya kamu memang bersedia menikah dengan saya. Jika kamu tidak bersedia, maka saya akan menghentikan proses 'mengenal lebih jauh' ini, dan bersikap layaknya rekan kerja pada umumnya. Menggantungkan hubungan tanpa status yang jelas hanya membuat semuanya terasa membingungkan."

Ariana menarik dan membuang napas berat, lalu memberanikan diri menatap Kafi. "Saya perempuan, Mas. Semandiri dan sekuat apapun, saya akan tetap membutuhkan laki-laki yang mampu membimbing saya, menjadi sandaran untuk saya dalam segala keadaan, yang menjadi tempat untuk saya pulang sejauh manapun saya pergi."

Kafi mengangguk mengerti. "Saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kamu dan kewajiban saya, sebaik yang saya bisa."

Ariana menghela napas sekali lagi. "Saya gak punya wedding dream yang kayak mahar, resepsi dan lain-lain. Tapi, saya selalu punya harapan untuk kehidupan pernikahan yang tenang, bahagia dan penuh berkah."

Kafi mengangguk lagi, memang itu yang paling penting dari sebuah pernikahan, bukan? Bukan perihal hari H pernikahan yang dihiasi dengan dekorasi mewah, tamu undangan melimpah, dan lain sebagainya. Tetapi, tentang bagaimana sepasang manusia itu menjalani kehidupan mereka setelah akad nikah.

"Bisa dibilang, saya cukup dekat dengan keluarga saya, mungkin saya juga gak bisa jauh dari mereka. Jadi, saya mau laki-laki yang bersama saya nanti bersedia menjalin hubungan dekat dengan keluarga saya, menyayangi mereka seperti keluarganya sendiri."

"Menikah memang menyatukan dua keluarga, sudah seharusnya begitu."

"Saya orangnya gengsian, keras kepala, moodnya gampang berubah, maunya dimengerti tanpa harus menjelaskan."

Kafi terkekeh mendengarnya, kemudian menatap Abel untuk mengusap kepala anak itu. "Mungkin, hampir semua perempuan seperti itu?"

Ariana mengangguk menipiskan bibirnya. "Saya bisa melakukan apapun sendiri. Tapi, kalau boleh jujur, saya ingin memiliki suami yang tidak pernah membiarkan saya merasa sendirian."

ArianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang