Bagian 4

397 64 60
                                    


Tangisnya lenyap, menguap pada udara dari helaan napas yang mengandalkan nadinya sendiri.

***

Jika kalian mengira hal paling aneh yang pernah Merta lakukan adalah membuat coretan gambar Bu Riyani semasa SMA dulu, atau tak sengaja kejedot alarm kebakaran, kalian salah besar. Merta merasa hal paling aneh yang ia lakukan adalah saat ini, mengizinkan adik dari seorang mantannya menginap di apartemen yang ia tinggali.

Terutama, Amerta mengetahui bahwa mantannya sudah menikah dengan perempuan lain.

Merta tidak tahu berapa banyak minuman beralkohol yang diteguk Cia, yang pasti, saat ini remaja tersebut tengah tertidur pulas, sementara itu pukul setengah satu malam Merta masih saja merasa gusar.

Pertama, ia kasihan melihat Cia yang pasti mendapat luka mendalam karena kepergian ibunya. Ia seperti melihat dirinya sendiri, kehilangan seorang ibu karena kecelakaan pesawat.

Kedua, Merta kebingungan untuk mengubungi Altair atau tidak, pasti Altair juga mencari Cia, terbukti dari getar ponsel genggam yang berada di tas Cia.

Ketiga, fakta bahwa tadi malam Merta melihat Airin, yang Merta ketahui adalah istri dari Altair, tengah bergandengan dengan pria lain.

Merta kemudian meraih tas Cia, yang di dalamya terdapat ponsel yang terus menerus berdering. Merta kemudian menggeser slide panggilan itu, menjawabnya.

"Dimana, Cia? Abang dari tadi nyariin, kenapa belum pulang? Abang cuti buat nemenin kamu, malah ditinggal kayak gini, kalau mau keluar itu bilang, Dek, jam segini kamu baru angkat telpon Abang," ujar suara di seberang telepon.

Merta tertegun dibanjiri pertanyaan yang begitu banyaknya, "Sorry, Kak, ini Merta, Cia lagi ada di tempat Merta, dia sekarang tidur,"

Di sana, Altair berusaha mencerna bagaimana bisa adiknya kini bersama mantan kekasihnya.

"Bisa share alamatnya?"

"Besok Merta anterin aja, Kak!" tolak Merta cepat.

"Kalau gitu, share aja alamatnya, saya mau kirim makanan, jangan ditolak ya, Ta."

Baru saja menggelengkan kepalanya, Merta kembali urung menolak, akhirnya, ia mengirimkan alamat tempat tinggalnya.

Sekitar tiga puluh menit berlalu, kemudian bell apartemen Merta berbunyi. Merta bergegas untuk membuka pintu, karena pasti itu tukang makanan yang dipesankan Altair.

Ia buka pintunya perlahan, sesungguhnya terbangun cukup lama membuat Merta lapar juga, apalagi makanan yang ia beli belum tersentuh sama sekali, ia masukkan ke dalam kulkas dan dibiarkan saja.

Betapa terkejutnya Merta saat memandangi sosok di depannya. Altair, dengan baju yang kebasahan. "Kak?" matanya terbelalak.

Altair menyodorkan dua buah totebag berwarna coklat berukuran sedang, "Dimakan, ya!"

"Kak, ujan dimana?" tanya Merta meraih totebag tersebut, "Kak Altair gak bawa mobil?"

"Mobil dibawa Cia, dari tempat kamu yang tinggi ini, kamu engga tahu ya kalau hujan?"

Merta berada di lantai 31, terkadang jika awan hujan rendah, ia bahkan tidak mengetahui jika terjadi hujan.

"Saya bawa motor," lanjut Altair.

"Terus sekarang Kak Altair langsung pulang, kah?" tanya Merta cukup bingung, masa iya dia mengajak suami orang masuk apartemennya.

"Kamu sibuk?" bukannya menjawab, Altair menimpalinya dengan pertanyaan.

Merta menggeleng, "Besok Merta baru ada siaran sore,"

"Mau ngobrol?"

Merta membulatkan matanya, seringan itu kata-kata Altair keluar, bagaimana jika istrinya tahu suaminya juga begini.

"Loh, enggak ah, nanti Merta dikira pelakor," tolak Merta mentah-mentah.

"Siapa laki orang? saya?"  tanya Altair.

Merta jelas mengangguk,

"Kamu ngejek saya ya, Ta?" lanjut Altair.

Merta kini kebingungan, "Loh, bukannya Kak Altair dengan Mbak Airin menikah?"

Altair menghela napasnya, "Saya duda,"

Mulut Merta menganga besar, matanya bulat sempurna, ia sangat terkejut mendengar pengkuan barusan.

"D-d-duda?!!?!!" ulang Merta sekali.

"Kan, ngejek saya lagi," jawab Altair.

"Eh, eh, engga, Kak, bukan gitu maksudnya, Merta speechless aja denger kata duda, Kak? are you ok?" jujur, dua kata itu membuat Merta kebingungan sendiri harus merespon seperti apa.

Akhirnya, di sinilah mereka sekarang, rooftop apartemen Merta, memakan kwetiau yang dibawa Altair, sementara itu Cia masih aja tertidur pulas.

"Merta bawain jaket, ya? atau hoodie buat ganti baju Kak Altair? masih kuyup ini, apa gak dingin?"

Altair diam, "Dingin, tapi ya udah.. udah biasa juga saya, hari-hari nyelam lautan gak kenal waktu."

"Saya itu bangga banget loh sama kamu, Ta. Saya tontonin kamu dari awal kamu jadi reporter, yang ke desa-desa wawancarain peternak bebek, terus jatoh ke sawah,"

"KAKKK STOPPP!! PLISSS STOPPPP GAK SANGGUPPPP GUE DENGERNYA!!" Wajah Merta memerah, memang benar, kali pertama ia melakukan siaran langsung seperti itu kejadinnya, memalukan.

"Tapi sejak itu, kamu jadi sering banget tampil di tv karena viral, pasti jadi banyak tawaran job, ya?"

Wajah Merta masih merah, "Iya," jawabnya singkat.

Hening beberapa saat, Merta hanya mengaduk kwetiau yang tersisa, kemeja Altair yang kebasahan membentuk ototnya yang semakin paripurna karena kini ia seorang TNI angkatan laut.

"Saya minta maaf, ya Merta," ujar Altair memecah hening. "Maaf jika saya sempat menyusahkan hidup kamu karena Ayah masuk sel, sekarang, bagaimana kabarnya? sudah 3 tahun bebas ya?"

Merta menggeleng, "Engga perlu minta maaf, Kak, gimanapun, apapun alasannya, dulu Ayah memang salah. Sekarang ayah sangat baik, ayah juga merasa sudah selesai menebus dosanya, sekarang di Makassar," jawab Merta, lukanya kini tak menyakitkan lagi.

"Keren, kamu gak berubah, tetap saja jadi perempuan hebat," sebuah pujian lolos dari bibir Altair, membuat Merta tersenyum sekilas.

"Kak Altair juga sama hebatnya," balas Merta.

Altair kemudian memperhatikan Merta, beberapa saat, "Berhenti panggil saya Kakak ya, Ta? panggil nama aja, kita udah dewasa juga, bukan kakak kelas sama adik kelas lagi,"

Merta yang tengah mengunyah kini terdiam, "Gak enak, Kak, udah kebiasaan gak sih?"

"Iya, kalau kamu bisa aja,"

Altair mengecek arlojinya, pukul setengah tiga, dan bajunya mulai kering. "Saya pulang, ya? nanti pagian saya jemput Cia lagi,"

Merta mengangguk cepat, ia kemudian membawakan Altair jaket miliknya yang kebesaran, namun masih saja tidak muat, "Masuk angin gak pandang profesi, Kak, motoran lagi, udah pake aja jaketnya."

Jaket itu hanya Altair sampirkan. Merta juga menemani Altair ke parkiran, dipakainya helm fullface itu, Merta tutup kacanya.

"Hati-hati, Kak," ujar Merta saat Altair menggunakan sarung tangan.

"Kamu gak kangen motoran bareng saya?"

DUAR!!
APA APAAN DUDA INII!!
Batin Merta mengumpat kesenangan, tapi ia tutupi dengan tatapan ngeri.

"Biasa aja, Kak Altair gak boleh ngomong kayak gitu," ujar Merta.

Altair mengangguk, "Saya kira, hobi kamu masih godain cogan, Ta. Tapi dari tadi saya liat kamu diem aja,"

"KAKKKK?!!! MALUUU GUEE!"

Altair terkekeh, "Saya pulang dulu," Altair memutar gasnya, dibalas anggukan Merta.

Beberapa meter, Altair kembali berhenti, "Gak mau ikut?" tawarnya.

Namun, Merta kabur saja, tidak sanggup jika kakinya tiba-tiba menghampiri dugan itu (duda ganteng).

***

to be continued ...

I Lo(lea)ve You! IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang