Bagian 5

163 50 31
                                    


"Kita pernah saling meninggalkan karena takdir yang tidak bisa dihindari, kemudian kembali dalam tatap hanya untuk bertemu di persimpangan hidup yang penuh luka—aku dengan raguku, dan kau dengan beban yang tak pernah kau ceritakan."

***

3 bulan setelah pertemuan Altair dan Amerta terakhir kali...

Wajah cantik yang semakin berbinar saat ditutupi make-up itu tersenyum, menampilkan senyum terbaiknya. Amerta, reporter muda yang tengah bersinar, memandang kamera dengan penuh percaya diri. Dalam balutan blazer biru navy yang memancarkan profesionalisme, ia memulai siaran langsungnya dari studio utama.

"Selamat sore, pemirsa. Saya Amerta, kembali hadir untuk menyampaikan berita terkini. Kali ini, kami membawa Anda ke Samudra Hindia, di mana aktivitas bajak laut Somalia kembali memanas," ucapnya dengan suara tegas namun tetap tenang.

Layar beralih ke tayangan dramatis yang menunjukkan sebuah kapal kargo besar yang terkepung oleh perahu kecil milik para bajak laut. "Hanya dalam waktu sepekan terakhir, sudah tiga kapal dagang internasional yang menjadi target pembajakan di perairan Somalia. Serangan terbaru terjadi pada sebuah kapal dengan bendera Indonesia yang membawa bantuan kemanusiaan ke Afrika Timur. Para kru kini dilaporkan disandera, sementara pihak berwenang masih berusaha melakukan negosiasi," lanjut Amerta, nadanya penuh urgensi.

Namun, laporan ini menjadi menarik karena informasi eksklusif yang berhasil ia dapatkan. "Berdasarkan sumber dari intelijen internasional, ada indikasi bahwa aktivitas bajak laut ini didukung oleh jaringan kriminal lintas negara yang memanfaatkan hasil pembajakan untuk mendanai operasi gelap lainnya. Selain itu, ketegangan semakin memuncak karena beberapa negara mulai mengirimkan kapal perang ke kawasan tersebut untuk melindungi jalur pelayaran."

Amerta berhenti sejenak, memberi waktu bagi para pemirsa untuk mencerna informasi yang ia sampaikan. "Namun, langkah militer ini juga menuai kritik, karena dikhawatirkan akan memperburuk kondisi di kawasan yang sudah penuh ketidakstabilan. Apakah ini akan menjadi solusi, atau justru menciptakan konflik baru di perairan internasional?"

Senyum tipis kembali terlukis di wajahnya, kali ini dengan sedikit ketegangan yang ia sembunyikan di balik profesionalismenya. "Kami akan terus mengikuti perkembangan situasi ini dan menyampaikan berita terbaru kepada Anda. Tetaplah bersama kami di kanal berita utama."

Saat siaran selesai, Amerta melepas earphone-nya dengan perlahan. Bagi banyak orang, berita ini mungkin sekadar laporan, tetapi baginya, setiap kata yang ia sampaikan adalah tanggung jawab besar untuk membuka mata dunia terhadap permasalahan yang sering terlupakan.

Bersamaan dengan itu, Altair bersama rekan-rekannya, yang merupakan kesatuan tentara Angkatan Laut Indonesia, tak henti memantau laporan-laporan mengenai kasus pembajakan kapal oleh Somalia. Di ruang operasi taktis, layar besar menampilkan peta perairan internasional dengan titik-titik merah yang menandai lokasi pembajakan terbaru. Suara perangkat komunikasi terdengar bersahutan, sementara tim sibuk memverifikasi data dan menyusun strategi.

Altair, seorang perwira muda dengan reputasi tangguh, berdiri di depan layar. Tatapan matanya tajam, memeriksa laporan yang baru saja masuk. "Sandera dari kapal bantuan kemanusiaan dilaporkan telah dipindahkan ke wilayah darat Somalia," katanya sambil menunjuk salah satu titik kritis di peta. "Ini membuat operasi pembebasan semakin sulit."

Salah satu rekannya, Letnan Hana, mendekat dengan laporan tambahan di tangannya. "Komandan, negosiasi dengan bajak laut tampaknya menemui jalan buntu. Tekanan dari pihak internasional semakin besar untuk segera bertindak."

Altair mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. "Kita siapkan semua skenario. Pastikan tim penyelamat dalam kondisi siap. Latihan harus terus berjalan, apa pun keputusan akhirnya."

Di sela-sela ketegangan, pandangannya sempat teralih pada sebuah layar kecil di sudut ruangan yang menampilkan siaran berita terkini. Wajah Amerta muncul di sana, menyampaikan laporan eksklusif tentang kasus yang sama. Suaranya yang tenang dan profesional, seperti biasa, mampu menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya.

Altair diam sejenak, perasaan campur aduk membuncah dalam dadanya. Amerta bukan hanya sekadar reporter bagi dunia luar. Baginya, ia adalah kenangan yang pernah ia coba lupakan, namun tak pernah benar-benar bisa. Mereka dulu berbagi mimpi dan ambisi yang besar, hingga akhirnya jalan hidup mereka berpisah—Amerta memilih karier di dunia jurnalistik, sementara Altair mengabdikan dirinya untuk negeri.

"Komandan, ada masalah?" tanya Hana, menyadari Altair tampak melamun sejenak.

Altair menggeleng cepat, kembali memasang wajah tegasnya. "Kita lanjutkan persiapan. Jangan ada kesalahan."

Namun, di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar menjalankan tugas. Ia hanya bisa berharap bahwa di tengah laporan yang disampaikan Amerta, perempuan itu akan tetap aman di dunianya, sementara ia menghadapi realitas keras yang kini ada di depan mata. Di sela ketegangan ini, Altair tak bisa menghindari bayangan bahwa misi kali ini mungkin saja akan mempertemukan mereka kembali—di tempat dan situasi yang sama sekali tak ia duga.

***

Malam itu, di rumah dinasnya yang sederhana namun rapi, Altair duduk di balkon kecil sambil menatap langit malam. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang biasa ia hirup selama bertahun-tahun bertugas di garis depan. Gelas kopi di tangannya sudah mulai dingin, namun ia tak peduli. Pikirannya melayang, jauh dari tugas-tugas yang menumpuk di meja kerjanya. 

Awalnya, Altair mencoba memikirkan strategi untuk misi berikutnya—persiapan menghadapi ancaman bajak laut yang semakin berbahaya. Namun, perlahan, pikirannya mulai melenceng. Sosok Amerta kembali muncul dalam benaknya, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar pergi. Ia teringat pada wajahnya yang terpampang di layar televisi sore tadi, penuh percaya diri menyampaikan berita dengan ketenangan yang membuat siapa pun terpikat. 

Altair menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan yang mulai membanjiri hatinya. "Kenapa harus dia lagi?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dulu, Amerta adalah bagian besar dari hidupnya, seseorang yang selalu ada untuk mendengarkan kegelisahannya setelah misi-misi berbahaya. Tapi pilihan hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda, dan sejujurnya, Altair tak pernah benar-benar siap menghadapi jarak itu. 

Ia menyesap kopinya yang sudah tak lagi hangat, lalu menatap kosong ke arah gelap lautan di kejauhan. Kekhawatiran lain mulai muncul, menggantikan lamunan tentang Amerta. Statusnya sebagai seorang duda—luka yang masih ia coba sembuhkan—kembali menyeruak ke permukaan. 

Pernikahannya dulu, yang ia kira akan bertahan selamanya, berakhir dengan pengkhianatan yang menghancurkan. Mantan istrinya berselingkuh dengan seseorang yang ia kira teman dekat. Kepercayaan yang ia bangun runtuh begitu saja, meninggalkan rasa pahit yang sulit hilang. Sejak itu, Altair enggan membiarkan siapa pun terlalu dekat, bahkan sekadar untuk memahami luka-lukanya. 

"Bagaimana menurut Merta?" pikirnya tiba-tiba. Ia tak yakin apa yang akan Amerta pikirkan? Apakah ia akan melihat Altair sebagai pria yang gagal menjaga rumah tangganya, atau hanya sebagai seseorang yang terlalu sibuk dengan tugas negara hingga melupakan kehidupan pribadinya? 

Altair mengusap wajahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang semakin menekan. Sebagai seorang prajurit, ia terbiasa menghadapi ancaman nyata—peluru, serangan, bahkan kematian. Tapi menghadapi perasaan sendiri adalah sesuatu yang jauh lebih sulit. 

Angin malam bertiup lebih kencang, membuatnya merapatkan jaket. Ia memutuskan untuk kembali ke dalam, meninggalkan balkon yang kini terasa terlalu sepi. Tapi di dalam hati, ia tahu bahwa sepi itu tak akan hilang. Tidak malam ini, tidak selama kenangan tentang Amerta masih berdiam di sana, bersama luka-luka yang belum sempat benar-benar sembuh. 

***

Dugan (duda ganteng) lagi galau.
Aku gak tau cerita ini masih kalian baca atau engga :)

tapi, aku masih berusaha nulis dan menyelesaikannya.

Love, Bella 🤍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Lo(lea)ve You! IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang