Bagian 1

457 90 53
                                        

Ps : Biar engga bingung, yang belum baca season satu bisa baca dulu di akun DayDreamProject10 dengan judul yang sama.

pssss ; ayok komen di setiap paragraf biar cepet update lagi.

pssssssss : Jadi dewasa capek yahhhh hwhwhwhwwheheh

***

Bagai cangkang tiram yang tertinggal pada pasir pantai, tubuhnya yang rapuh mengelana lautan dalam. Berlari nari, menari lari, bersama benang bernama nadi.

***
Sesak. Rasanya seperti berada di ruangan yang terus menyempit. Bayangan-bayangan tawa Amerta kecil terlintas. Melambaikan tangan pada seseorang di balik jendela pesawat.

"Kapan Mama pulang, Yah?" tanya Merta antusias.

"Mama pulang sebentar lagi," ucap Ayah Merta, sama-sama menatap kepergian pesawat yang ditumpangi Nara, istrinya tercinta.

Padahal, minimal kepulangan Nara adalah dua tahun dari hari ini. Karena perempuan itu memutuskan untuk menjadi seorang TKW, akibat kondisi ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan.

Tetapi ternyata, apa yang dikatakan Ankar terjadi. Bahwa Nara hanya pergi sebentar, terbukti dengan dua hari kemudian Nara pulang, namun berbalut kain kafan.

Dikarenakan kecelakaan pesawat.

Sejak saat itu, Mimpi Amerta Rasian Teraba untuk menjadi seorang pilot perempuan pupus.

Ia tidak mau membawa ratusan nyawa yang mungkin saja bisa hilang ditangannya.

Trauma menyakitkan dan mendalam terhadap kejadian tersebut kerap kali dimimpikan Merta.

Dan kali ini, rasanya kembali seperti mengulang sakit yang sama.

Merta kehilangan sosok yang sempat ia kasihi, karena kecelakaan pesawat, lagi.

Hampir 9 tahun tidak bertemu dan tidak berkomunikasi sama sekali dengan Altair tak membuat Merta lupa, bahwa dulu, seseorang bernama Altair Langit Biru itu sempat menjadi tempat paling teduh untuknya.

Tidak sengaja menemukan nametag di antara luasnya lautan, apakah itu sebuah kebetulan? atau cara semesta memberitahu Merta bahwa harapan ia yang terbungkus dalam-dalam itu harus segera dimusnahkan? sebegitu kejinya dunia memberi kabar.

Merta mengencangkan selimutnya, ia berbaring di salah satu sudut kabin kapal yang disediakan khusus untuk para media. Alih-alih terpejam, pikirannya riuh ramai.

Jika itu benar-benar Altair yang Merta kenal dulu, maka apakah Merta tidak akan pernah kembali meliat Altair selamanya?

Jam menunjukan pukul lima pagi, Merta kemudian bergegas keluar. Kapal pun sebentar lagi sampai di pelabuhan tujuan, membawa korban-korban yang sebagian sudah teridentifikasi identitasnya.

Dilihatnya air yang tenang, tersinari matahari yang baru bangun dari singgasananya. Beberapa saat kemudian, kapal bersandar.
Para petugas yang sudah bersiap dan berjaga segera merapatkan barisan. Keluarga-keluarga korban berkumpul penuh duka. Sebagian menaburkan bunga-bunga di sekitar kapal dan jalur evakuasi.

"Kita bisa balik ke kantor siang atau sore, bahkan ambil cuti dulu hari ini." Rio, seorang kameramen dari media yang sama dengan Merta berujar.

Merta menarik nafasnya, sendu yang mendalam jelas menjadi suasana yang kini ada.

"Kita bisa laporan untuk tayangan berita nanti siang dulu sekarang," jawab Merta yang sedang menunggu situasi kondusif.

"Yo, Letsgoww!" Rio kemudian mengambil kamera dalam tasnya.

I Lo(lea)ve You! IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang