Bagian 2

328 67 59
                                    

Karena jenazah yang Merta lihat sebelumnya, adalah seorang perempuan yang tak lain adalah ibunda dari Altair Langit Biru.

***
Aku berada di tempat ternyaman untuk pulang menurut orang-orang, anehnya, masih saja kedinginan.
***

Amerta mematung, masih dalam dekap Altair. Perlahan, Altair melepas pelukannya dan menimbulkan suasana canggung bagi Merta.

"Turut berdukacita," ujar Merta pelan, menatap mata sehitam bara yang dirindukan, rasanya sesak.

Jelas terlihat jejak tangis di wajah Altair, lelaki itu mengangguk, menopang kedua tangan di pinggangnya, kemudian menatap langit yang masih rintik-rintik. "Boleh bantu saya?" ucap Altair mengepalkan tangannya kini, buku kukunya memutih, ia menahan luapan emosinya, dukanya, sedihnya.

Suara Altair serak, semesta tengah mencabiknya. Tak segan, Merta mengiyakan. Altair menutup pintu belakang Ambulance, kemudian menaiki mobil yang disusul Merta untuk berada di samping kemudi.

Dahi Altair tertunduk di atas setir beberapa saat, ia jelas terpuruk. Nafasnya terdengar kasar dan berat, Merta yang berada di sampingnya bingung harus berbuat apa. "Saya lelah, Amerta." Kini, suaranya parau. Altair menangis, dengan kepala yang masih ia tundukkan di atas setir.

Pelupuk mata Merta mengeluarkan cairan hangat tanpa aba, baru sekarang ia melihat Altair serapuh ini. Perlahan, Merta mengusap punggung tangan Altair, kemudian kembali merangkul dan membawa pada peluknya.

"Biar Merta yang bawa mobilnya," ujar Merta, setelah Altair mulai mereda.

Altair memberikan alamat tujuan pada Merta. Di perjalanan, hanya lagu-lagu dari playlist musik Merta yang diputar dengan pelan. Altair menyandarkan punggung dan kepalanya pada kursi, ia terpejam namun tidak tertidur.

Sesampainya di alamat Tujuan, seorang wanita membuka gerbang, Altair keluar dari ambulance, namun Merta memarkirkan ambulance itu memasuki halaman. Dari kaca spion, Merta meneliti perempuan yang kini tengah berbincang bersama Altair. Dilihatnya perempuan itu, dengan perawakan seusia kurang lebih hampir sama denganya, tebak Merta. Rambutnya tergerai sepunggung dan terawat, hidungnya runcing, bibirnya tipis ranum. Siapakah dia?

Merta kembali pada kesadarannya saat seseorang mengetuk kaca jendela. Ia kemudian membuka pintu dan turun.

"Kak Amerta?" tanyanya ragu.

"Kamu tau aku?" tanya Merta berusaha keras mengingat siapa remaja di hadapannya, sementara itu Altair masih berbincang dengan wanita di gerbang dan tampak serius.

"Ciaaa kakkk, adiknya Bang Altair!" Cia girang, senyumnya lebar.

"Ha? kamu udah gede ajaa?" Begitupun Merta, ia sama-sama terkejut, terlebih karena anak ini masih mengingatnya walau pertemuan mereka hanya beberapa kali dan singkat.

Cia memeluk Merta, "Kak Merta kok bisa di sini? ketemu Abang?"

Merta ragu, apakah Cia mengetahui bahwa di dalam ambulance yang berada di samping mereka, ada jasad ibunya yang terbujur kaku.

"Abang habis dari rumah sakit kah?" tanyanya.

deg..

Cia tidak mengetahui kabar tersebut.

"Mama udah gak ada, sayang," ujar Merta pelan, dan mengusap bahu perempuan muda di depannya.

I Lo(lea)ve You! IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang