Bab 2

24 1 0
                                    

Bola mataku membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya.

Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening.

"Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu.

Namun, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah inj tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan dikepala.

"Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia.

"Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan.

Alih-alih memahami maksudnya, aku justru salah fokus pada nada bicaranya. Apa perasaanku saja kalau dia terdengar formal sekali padaku? Apa karena efek merantau ya? Seperti terbawa arus lingkungannya makanya dia jadi punya nada bicara yang demikian?

Kuenyahkan semua perasaan buruk itu. Tidak penting lagi semuanya. Bagiku yang terpenting saat ini adalah kepulangan suamiku. Ternyata dia masih menjadi milikku. Dia masih ingat janjinya yang akan pulang segera.

Aku menyeka air mata, jadi terharu. "Kenapa Mas nggak ada kabar selama ini? Aku takut Mas kenapa-kenapa di rantau sana," aduku, kini sudah punya tempat pulang.

Dia tersenyum agak tipis. "Maaf. Aku terlalu sibuk di tanah orang sana. Jadi lupa mengabarimu."

"Nggak apa-apa, Mas. Yang penting saat ini Mas udah pulang."

Lagi-lagi dia hanya memberikan senyumannya. Aneh sekali. Setelah lama tak bersua, harusnya dia pun antusias sama sepertiku. Tapi kenapa aku merasa kalau sikap Mas Abri jadi agak dingin. Apa dia tidak merindukan istrinya ini? Dan ... apa perasaanku saja ya, kalau dia tampak berbeda?

Tapi kalau dilihat lagi, yang berbeda darinya hanyalah potongan rambut. Gaya busana. Juga kulit yang agak lebih cerah dan segar. Lebih dari itu, suamiku tetap seperti suamiku yang dulu. Tidak berubah. Walau sekarang agak berisi.

"Abri? Udah pulang kamu? Dari mana aja selama ini? Tiga tahun bukannya ngabarin orang, malah hilang nggak jelas kamu," cecar ibu sambil berdiri menghampiri.

"Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar merasa bersalah. Tapi saya akan coba menebus kesalahan saya pada kalian semua," sahut Mas Abri, sopan sekali.

Ralat! Bukan sopan lagi, tapi sangat sopan dan sangat formal. Sikapnya ini bukanlah sikap suamiku yang lebih suka gaya bicara yang bebas. Apalagi kalau sama ibu. Mas Abri cenderung suka bercanda walau ibu tidak suka.  Semua itu dia lakukan hanya untuk mencairkan hati ibu karena gagal menepati janji untuk membawaku hidup lebih enak.

Tapi hari ini sangat jauh berbeda. Dia seperti bukan dia yang dulu. Malah terlihat seperti orang asing yang memakai wajah suamiku.

"Halah! Kamu mulut aja yang manis. Tingkah kamu busuk," cebik ibu kembali.

"Saya nggak berniat begitu, Bu. Tolong maafkan saya."

"Mas, udahlah. Nggak usah terlalu diladeni apa kata Ibuk. Kayak nggak tahu aja," ucapku, mencoba menenangkannya.

Lagi-lagi aku seperti tak diinginkan, ketika aku hendak memegangi lengannya dia malah menjauhkannya dariku. Kerutan dahiku semakin tercetak sempurna, benar-benar aneh dengan sikapnya ini.

"Karena saya sudah pulang, tolong hentikan acara ini, Bu. Airin nggak bisa dijodohkan begini. Biarkan saya bawa dia lagi. Saya janji akan menjaganya," tambah Mas Abri lagi, yang membuat hati kecilku langsung tersentuh.

"Hei, hei! Jangan seenaknya ya kamu! Aku dan Airin akan bertunangan hari ini. Siapa kamu bisa membatalkan seenaknya?" sembur Pak Agung, marah-marah tak terima.

Jujur saja, melihat wajahnya sudah membuatku muak. Pun, apa haknya melarang suamiku membawaku pergi? Jelas-jelas aku ini hanya dipaksa mau menerimanya. Kalau dari hati yang paling kecil mah, idih-idih amit-amit deh punya suami kayak kacang rebus itu.

Sudahlah bantet, gosong pula! Ihhh.

"Maaf, tapi Airin ini istri saya. Saya berhak membatalkan acara ini!" tegas Mas Abri kemudian.

"Enak saja! Aku sudah lama menunggunya. Lagi pula, kamu itu sudah lama nggak ada kabarnya. Siapa yang tahu niatmu datang ke sini itu baik atau buruk. Atau jangan-jangan kamu berniat membawa Airin ke tanah rantau sana dan menjualnya di sana. Kan sekarang banyak kasus semacam itu," tuding Pak Agung, tak tanggung-tanggung.

"Ibu setuju!" timpa ibu. Katanya dia sependapat dengan omong kosong lelaki pilihannya. "Sebelum kamu kasih bukti ke kami kenapa selama ini kamu nggak kasih kabar, saya juga nggak akan biarin kamu bawa Airin lagi. Dia udah jadi janda sekarang!"

"Siapa yang bilang?" tantang Mas Abri. Kulihat dia merogoh sakunya mengeluarkan dompet. "Sebagai ucapan terima kasih saya ke Ibuk karena sudah menjaga anak dan istri saya, saya kasih imbalan untuk itu. Terima lah, Buk. Nggak banyak. Cuma dua ratus juta."

Sontak saja kami semua tercengang mendengar pengakuannya barusan. Jangankan aku, ibu saja langsung ternganga apalagi melihat sebuah kartu kredit yang diberikan Mas Abri.

"What! Dua ratus juta?" pekik Amy yang sejak tadi hanya menyimak. "Buset, Mas Abri. Kerja apa di rantau sana? Kok udah punya banyak duit aja?"

"Alhamdulillah, kerjanya lancar. Makanya saya jarang kasih kabar," jawab lelakiku itu dengan nada tenang.

"Ini beneran isinya segitu? Nggak bohong, kan kamu?" ujar ibu sembari menarik kartu dengan chip emas ditangan Mas Abri.

Lihatlah bola mata ibuku itu, sudah hampir mau keluar. Benar-benar secinta itu dirinya dengan yang namanya uang. Sampai-sampai dia lupa kalau dia sangat mengutuk Mas Abri sebab tak memberikan kabar.

"Benar, Buk. Ibuk bisa cek secara manual, atau bisan juga lewat m-bankingnya."

Tak butuh waktu lama, akhirnya ibu pun angkat suara. "Bubar-bubar! Ngapain kalian semua ke rumah saya. Sana keluar. Menantu saya sudah pulang. Anak saya juga bukan perempuan tanpa status lagi! Suaminya sudah pulang. Punya banyak uang lagi! Jadi, saya nggak takut lagi sama lisan-lisan kotor kalian yang terus mengatai anak saya! Pergi sana!" usirnya tak segan-segan.

Aku jadi bergidik lucu sendiri. Benar-benar ibuku yang aneh. Moodnya gampang sekali berubah. Tapi paling mujarab mengubah suasana hatinya, tentulah karena uang.

Detik itu pula semua tamu-tamu yang kebanyakan para tetangga ini langsung menghamburan keluar. Ada yang kesal, ada yang masih tercengang, ada pula yang ikut terlihat senang.

Terserahlah apa yang terjadi. Pokoknya hari ini aku bebas. Entah itu bebas dari hinaan, bebas dari omelam Ibu, dan juga bebas dari prasangka burukku tentang suamiku.

"Mas, ayo ke kamar. Bersihin tubuh kamu. Aku kangen banget, Mas. Pengen pelukk," bisikku, manja. Sungguh, aku memang benar-benar merindukannya.

"Kita langsung pulang aja. Aku sudah menyiapkan rumah untukmu dan anak kamu. Baiknya langsung ditempati," jawabnya sekenanya.

"Anak kamu? Kayak bukan anak sendiri aja," sindirku kemudian.

Dari banyak hal yang dia katakan, kalimat konyol ini yang membuatku sedikit merasa aneh. Apa maksudnya cuma bilang anak kamu, bukannya seharusnya anak kita?

Suamiku Sudah Wafat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang