09

48 10 0
                                    

Ghea kembali ke kelas dengan langkah ringan, lalu duduk di depan meja Arina yang sedang sibuk dengan buku catatannya. Ghea menyeringai kecil sebelum membuka percakapan. "Mau gue kenalin sama temen gue gak?" tanyanya, suaranya penuh antusias.

Monica, yang duduk di samping Arina, mendongak dan mengangkat sebelah alisnya. "Temen lo yang gak bener itu?" tanyanya skeptis.

Ghea tertawa kecil, lalu menanggapi dengan santai. "Pacar lo si Ann berarti gak bener juga?" Ucap Ghea, menyindir balik.

Monica mendengus, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. "Kecuali Ann," katanya, mencoba menutupi rasa geli. Ghea hanya mengangguk, menerima jawabannya tanpa banyak protes, lalu kembali fokus pada Arina yang masih menunduk menatap bukunya.

"Mau gak?" Ghea mengulangi pertanyaannya, berharap mendapatkan respon lebih dari Arina.

Arina mendesah, kelihatan malas menanggapi. "Gak dulu," jawabnya singkat, tetap fokus pada catatannya.

"Ayolah Rin, coba dulu aja, siapa tau suka," Ghea mendesak, suaranya terdengar lebih memohon.

Arina menutup bukunya, menatap Ghea dengan tatapan datar. "Hhh.. gak dulu, gue sibuk ngurusin urusan lain."

Ghea tidak menyerah. "Apa coba yang lo urusin? Gak ada kan? Yang ini beda, Arina," ucapnya, mencoba meyakinkan.

Arina memutar matanya, jelas terlihat enggan. "Bedanya? Bukannya semua orang itu sama aja ya? Gue gak percaya," sahutnya, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan.

Ghea terdiam sejenak, lalu memanggil dengan nada yang lebih lembut, "Rin?"

Arina akhirnya menyerah setelah menarik nafas panjang. "Hh.. iya-iya, gue mau," jawabnya dengan nada pasrah.

Mata Ghea berbinar senang mendengar jawaban itu. "Yes! Nanti gue kasih tau ke orangnya," katanya dengan semangat, hampir tidak bisa menyembunyikan rasa puasnya.

Arina hanya mengangguk pelan, kembali ke bukunya dengan perasaan campur aduk. Sementara itu, Ghea sudah membayangkan reaksi Willen saat mendengar kabar baik ini, tidak sabar menunggu momen yang akan datang.





...





Keesokan paginya, Willen berangkat ke halte bersama dengan Ghea. Di sana, mereka melihat Arina sudah lebih dulu tiba, seperti biasa, sibuk dengan ponselnya. Willen merasa gugup, sedangkan Ghea hanya tertawa kecil melihat kebingungan temannya itu.

"Ini gimana..." Willen bergumam, matanya melirik Arina yang duduk tak jauh dari mereka.

"Lo kayak orang punya utang tau gak sih? Tinggal ngobrol doang sama Arina," kata Ghea dengan nada mengejek.

Willen menggeleng pelan. "Lo tuh gak tau rasanya jadi gue, jantung gue tuh deg-degan pas ada di deket dia, apa lagi ngobrol sama dia."

Ghea menghela nafas, sedikit gemas dengan tingkah laku Willen. "Terus gimana?"

"Lo buka obrolan dong," pinta Willen dengan nada memelas.

Ghea mengangguk, siap membantu. "Ok."

Namun, sebelum Ghea bisa bertindak, Willen dengan cepat berubah pikiran. "Eits! Gak jadi, ntar lo berdua lagi yang ngobrol."

Ghea hanya memutar mata, merasa sedikit frustrasi. "Ya udah lo sana ajak dia ngobrol, keburu bus-nya dateng."

"Gak berani," Willen merendahkan suaranya, makin terlihat ragu.

"Cupu bener," sindir Ghea tanpa ampun.

"Lo mah!" balas Willen, setengah kesal.

Ghea tersenyum tipis, menatap Willen dengan mata menyipit. "Suka sama primadona sekolah, padahal nyalinya sekutil, diambil orang baru tau rasa."

"Kok lo ngomong gitu?!" Willen protes, tersinggung oleh kata-kata Ghea.

"Makanya ajak ngobrol!" desak Ghea dengan nada keras kepala.

"Besok deh besok," Willen mengelak lagi, suaranya lemah.

"Ck! Besok," ucap Ghea sambil menggeleng pelan, tidak percaya dengan kelakuan Willen.

"Iya besok! Besok gue berangkat sendirian!" Willen bersikeras, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Ghea mengangkat bahu, menyerah untuk kali ini. "Ya ya ya, semoga berhasil."

Bus pun datang, dan seperti sebelumnya, Willen belum berani mengajak Arina untuk sekadar ngobrol santai. Sifat pemalu dan kurang percaya dirinya menjadi penghalang besar bagi Willen untuk mendekati Arina. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus mengumpulkan semua keberaniannya untuk berbicara dengan Arina—sebelum kesempatan itu benar-benar hilang.


































To be continued......































🗿🗿🗿

Popcorn!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang