"Sepertinya aku terlalu banyak membawa barang-barang tidak berguna."
Aku menoleh, tepat saat Yangyang menjatuhkan diri di atas kasur dengan bibir mengerucut lucu. Wajahnya tampak pasrah, menatap barang-barangnya—didominasi dengan berbagai boneka dan plushie lucu yang sudah berhamburan di lantai.
Aku tahu darimana datangnya benda-benda itu, karena saat kali pertama memasuki kamar lama Yangyang di flatnya, benda itu berada di setiap sudut kamar, bahkan menginvasi sebagian besar space di kasurnya. Kami harus tidur saling berdempetan satu sama lain selama beberapa hari karena aku memutuskan untuk tinggal di kamarnya setelah masa sewa kamarku di motel telah habis. Beruntung Yangyang tidak keberatan, anak itu justru merasa senang karena bisa dekat denganku.
Itu juga memudahkanku untuk membujuknya ikut pulang bersamaku. Awalnya tidak mudah, tetapi Haechan dan Mark dengan sukarela membantu, meski mata bak elang Jaemin yang galak selalu memantauku layaknya CCTV 24 jam. Pria kecil itu sangat posesif terhadap Yangyang yang sudah dianggapnya sebagai adik—bahkan sampai menangis di bandara tadi.
"Tidak ada yang tidak berguna, bukankah semua itu benda kesayanganmu?" Aku tersenyum jenaka, menghentikan sebentar kegiatanku dari menata baju domba kecilku di lemari kamar barunya—di apartemenku.
Saat kami berkemas, aku baru tahu jika Yangyang payah dalam menata pakaiannya ke dalam koper, anak itu melemparnya dengan asal-asalan dan berhasil membuatku frustasi. Saat kuomeli, dia tertawa renyah sambil berkata, "Kalau punya Kun-ge, semuanya bisa beres dengan cepat. Aku menyayangimu, Ge." kemudian dia membubuhkan ciuman di pipiku sebagai bentuk antisipasi.
Sialnya anak itu berhasil, jadi daripada marah, aku menarik tangannya sampai dia jatuh di atas pangkuanku. Saat kulit kami bersentuhan—karena kami sama-sama menggunakan celana pendek di atas lutut, aku dapat merasakan sengatan listrik yang membangkitkan instingku sebagai dominan. Kuelus sebentar paha putih bersih itu, rasanya sungguh berbeda, ditambah reaksi Yangyang yang justru mengalungkan tangan di leherku dengan ekspresi memabukkan khasnya. Perlahan tapi pasti, kemudian kami berciuman, ciuman rakus yang cukup liar. Nyaris melakukan adegan ranjang di siang bolong jika Haechan tidak tiba-tiba memasuki kamar dan menangkap basah kami berdua.
"Tidak apa-apa, nanti Gege bantu menatanya untukmu, atau kita perlu membeli sebuah lemari untuk menyimpan koleksi bonekamu?" Aku menambahi, memberinya sebuah penawaran.
Yangyang menggeleng cepat kemudian mendengkus. "Kamu terlalu berlebihan, Ge. Aku akan merasa tidak enak kalau merepotkanmu terlalu banyak."
Ini adalah salah satu hal juga baru kupelajari dari Yangyang, meski anak itu jahilnya tidak tertolong, dia mudah merasa tidak enakan— terutama pada orang baru.
Aku meletakkan lipatan pakaian miliknya di atas koper, kemudian berdiri dan duduk di sampingnya. Kuraih tangan Yangyang yang ukurannya lebih mungil dari milikku sambil kuelus pelan menggunakan ibu jari.
"Tidak perlu merasa begitu, kamu tanggung jawabku mulai sekarang," kataku sembari mendongak, menatap wajah ayu yang malah fokus menggambar pola tidak jelas di kasur. Mirip seorang anak yang habis dimarahi ibunya sepulang sekolah.
"Ge, kurasa aku benar-benar jatuh cinta padamu. Bagaimana kalau besok kita menikah?" Yangyang mendongak, rautnya terlihat konyol sewaktu mengungkapkan ajakan menikahnya sampai tawaku meledak. Sontak kupeluk gemas tubuh kecilnya sampai limbung dan berakhir menidihnya.
"Kau beneran tidak sabar, ya?" tanyaku dengan kedua alis naik turun, menggodanya.
Yangyang mengerucut kemudian memeluk leherku. "Bercanda, tapi kalau kau mau, ayo kita lakukan," balasnya dengan wajah serius, dan aku tertawa lagi mendengar ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER THE HORIZON [KUNYANG]✔️
Fanfiction[SHORT STORY - MEDIUM PACE] Bagi Liu Yangyang, Qian Kun adalah idola dan inspirasi terbesarnya dalam dunia musik. Sedangkan bagi Qian Kun, dunianya sudah berakhir saat dia kehilangan indera pendengarannya. *** "No matter how close to the sun, let t...