📌 Yangyang POV
"Seumur hidup itu terlalu lama, kalau menghabiskannya dengan orang yang tidak tepat, sama saja meminum racun sampai mati."
Aku mendongakkan kepala, tepat ketika mama terkekeh ringan setelah selesai menceritakan kisah pernikahannya yang kandas dengan Papa Kun-ge, dulu. Kalimatnya barusan mengingatkanku pada suatu ketika saat aku dan Bunda berbincang ringan melalui telfon. Tepat beberapa hari sebelum pernikahanku dilaksanakan. Kebetulan sekali, Kun-ge sedang berada di agensi untuk rekaman lagu baru, sementara aku berleha-leha di apartemen, menghabiskan satu series film tanpa jeda, ditemani satu baskom besar berondong jagung yang membuat dapur seperti habis dilanda bencana. Akulah bencananya.
Bagian terbaiknya aku bisa menghabiskan lima kaleng cola dan minuman kemasan dengan pemanis buatan yang termasuk dalam kategori 'biohazard' bagi Kun-ge. Kabar buruknya, aku harus menerima ceramahan, persis pastur yang biasa berkhotbah di gereja, tepat pada pukul tiga pagi lebih lima belas menit, itu berlangsung sekitar setengah jam. Tetangga mungkin akan mengira bahwa sedang ada pengusiran setan dadakan.
Sebagai bentuk hukuman, makanan ringan di lemari kabinet dapur disumbangkan seluruhnya kepada anak-anak nakal yang hobi berlarian di lorong gedung apartemen. Minuman dan kalengan soda yang tersisa dibawa ke agensi, dibagikan secara percuma kepada para staff. Selama sepekan penuh aku harus memakan makanan sehat memuakkan yang sebisa mungkin dikreasikan menjadi sesuatu yang tidak membosankan oleh suamiku tercinta. Snack berganti menjadi buah potong di dalam tepak siap makan, dan kalengan soda berganti menjadi botolan jus berbagai rasa yang memenuhi kulkas-hasil kerja keras Kun-ge.
Dia menghukumku, tetapi daripada terasa sebagai hukuman, rasanya seperti dia sedang mencurahkan seluruh perasaan cintanya padaku.
Tidak ada yang lebih berarti daripada dicintai oleh seorang Qian Kun.
"Yangyang, bagaimana kabarmu, Nak? Apa Nak Qian memperlakukanmu dengan baik?" tanya Bunda jenaka, saat itu jam menunjukkan pukul empat sore.
Saat itu aku hanya tertawa pelan. "Aku baik-baik saja, sangat baik," balasku. "Kun-ge memperlakukanku merawat dan mengurusku seperti seorang Tuan Putri."
"Agak berlebihan sih..." tambahku membuat Bunda tertawa geli di sebrang, aku hanya terkekeh. "Bunda tidak perlu khawatir."
Perlahan, tawa Bunda berhenti, kudengar suara dehamannya. "Tidak ada orang tua yang tidak khawatir saat anaknya akan menikah, seumur hidup waktu yang terlalu panjang, Yangie..."
Kudapati dua perbedaan di antara Bunda dan Mama. Bunda lemah, tetapi memilih bertahan bersama Ayah yang temperamental. Pria yang sifatnya dapat disebelas dua belaskan dengan tirani. Ayah orang yang keras kepala, tidak mau mendengarkan orang sekitarnya, pantas dia memiliki label alot tak kasat mata di belakang namanya selain kolot.
Sementara Mama adalah wanita kuat yang memilih untuk pergi, membawa Kun-ge hidup berdua bersamanya, tidak peduli orang akan mencemoohnya. Selama Kun-ge bahagia bersamanya, dunia tidak lebih berarti baginya. Mama memiliki prinsip menghindari dan membuang hal-hal pelik dalam hidup, seperti 'Mengapa kita harus bertahan pada hal-hal yang menyakiti kita? Sementara hidup hanya sekali. Kalau tidak berakhir bahagia, lantas apa?'
Hidup hanya sekali, jangan sampai disesali menjadi seutas kalimat yang sering kudengar. Satu-satunya yang terbesit di pikiranku saat mengingat sosok mertuaku. Mungkin ini sebabnya Kun-ge tumbuh menjadi sosok pria yang diidamkan hampir seluruh wanita di muka bumi. Maaf saja, dia milikku sekarang. Fakta ini selalu membuatku tersenyum bangga, arogansiku melambung ke titik paling tinggi, rasanya ingin sekali memamerkan fakta itu ribuan kali-jika perlu sampai para penggemar mual dan muntah-muntah hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER THE HORIZON [KUNYANG]✔️
Fanfiction[SHORT STORY - MEDIUM PACE] Bagi Liu Yangyang, Qian Kun adalah idola dan inspirasi terbesarnya dalam dunia musik. Sedangkan bagi Qian Kun, dunianya sudah berakhir saat dia kehilangan indera pendengarannya. *** "No matter how close to the sun, let t...