Yangyang menggigiti bibirnya sedari tadi dan itu merupakan kebiasaannya yang nampak jika sesuatu berhasil menganggu pikirannya. Kepalanya mendongak, mencuri-curi pandang pada Kun di meja pojok—di tempatnya biasa mengamati Yangyang. Kali ini Kun tidak sendirian, karena Mark menemaninya disana. Lelaki yang sadar jika sedang diperhatikan melambaikan tangan, Yangyang yang kelabakan memasang cengiran sambil mengangkat jempolnya.
"Kau kenapa?" Yangyang menoleh, atensinya sepenuhnya beralih pada Haechan yang sedang mengutak-atik kunci-kunci gitar. "Beberapa hari ini kau terlihat banyak pikiran, setelah Kun-ge tinggal di tempat kita. Ada apa?" Haechan mendongakkan kepala.
Yangyang tersenyum kemudian menggeleng. "Tidak ada apa-apa, Chan."
"Jangan berbohong Liu Yangyang." Haechan membalas dengan raut datar, pertanda dia tidak senang. "Katakan sebelum kita mulai," titahnya tak terbantahkan.
Pemuda kelahiran 10 Oktober itu meneguk ludahnya sendiri, di bawah tangannya sibuk meremat ujung kaus kebesaran milik sang kekasih yang dipakainya-katanya suka cium wanginya Kun. "Kun-ge mengajakku ikut dan kembali dengannya."
Sebelah alis Haechan terangkat. "Lalu? Bukankah itu wajar?" Nadanya terdengar menggantung, sedikit Haechan melirik kekasih temannya yang asik berbincang dengan bos mereka. "Kau takut pada penggemarnya? Atau takut karena akan satu kota lagi dengan kedua orang tuamu?"
Yangyang menghela napas. "Opsi kedua... Kau tahu aku tidak terlalu peduli dengan penggemar. Kun-ge benar-benar menyayangiku dengan tulus." Pandangannya terarah sebentar pada Kun sebelum kembali pada Haechan.
"Chan, apa menurutmu aku dulunya seorang penyelamat dunia?" Yangyang mulai berbicara ngawur. "Karena sekarang aku punya kekasih sesempurna Kun-ge."
Haechan yang mendengar ucapan asal Yangyang memutar bola matanya malas. "Banyaklah bersujud, Yangie."
"Kurasa memang."
"Lalu apalagi? Kau takut meninggalkan tempat ini?" Pemuda berkulit tan itu kembali melanjutkan topik pembicaraan mereka sebelumnya.
Yangyang mengepalkan tangannya. "Aku terlanjur nyaman dengan semua ini..."
"Ada mimpi yang harus kau kejar Yangyang, kembalilah bersamanya." Yangyang mengerjapkan mata mendengarkan penuturan Haechan yang langka-menurutnya. "Kau ingin jadi penyanyi kan? Ayo, buktikan dan tampar orang tuamu dengan fakta bahwa kau bisa melakukannya tanpa mereka."
"Berdiam diri di zona nyamanmu terlalu lama hanya akan membunuh mimpi-mimpimu," tambahnya diakhiri dengan kekehan, Haechan kembali sibuk dengan kunci gitarnya sedangkan Yangyang masih termenung menatap Kun dari kejauhan.
"Belum mengatakannya pada Kun-ge tentang orang tuamu?"
Yangyang menggeleng pelan. "Belum, hatiku sakit kalau membicarakannya."
"Hmm..." Haechan mengangguk-anggukkan kepala. "Katakan padanya alasan kenapa kau ragu untuk kembali, dia berhak tau."
"Apa menurutmu begitu?" dahi si manis marga Liu mengerut.
"Tentu saja, bodoh!" Tanpa ancang-ancang Haechan melayangkan pukulan pada lengan Yangyang sambil berdiri. "Dia serius padamu."
Yangyang meringis pelan dengan raut masam karena pukulan Haechan itu meski sering mengaku pelan, tetap bertenaga. Alias, Haechan tak pandai mengatur tenaganya dalam hal memukul orang di sebelahnya.
"Kalau kau sendiri bagaimana, Chan? Mimpimu."
Haechan menunjuk Mark dengan dagu. "Tuh mimpiku disana, sudah ayo kita mulai!"
Yangyang mencebik mendengarkan penuturan Haechan. Sekali budak cinta memanglah budak selamanya.
Selamatkan Haechan, Ya Tuhan...
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER THE HORIZON [KUNYANG]✔️
Fanfiction[SHORT STORY - MEDIUM PACE] Bagi Liu Yangyang, Qian Kun adalah idola dan inspirasi terbesarnya dalam dunia musik. Sedangkan bagi Qian Kun, dunianya sudah berakhir saat dia kehilangan indera pendengarannya. *** "No matter how close to the sun, let t...