BAB 2 Dewi Fortuna

7 1 0
                                        

Waktu jam pulang kantor telah tiba. Sore hari yang aku tunggu. Waktu dimana insting manusia mulai muncul. Rutinitas yang tak pernah bosan aku lakukan, yaitu mencari makan untuk dinner private. Anjay.

“Kak, boleh minta barengan gak?” Pertanyaan yang sangat mengejutkan dari seorang gadis muda yang berparas seperti Arab ini. “Ha? Bukannya kamu bawa motor, La?” jawab ku dengan kebingungan. “Aku gak bawa motor. Tadi naik ojek online.” sahut Lala.

Respon Lala yang terdengar polos tapi bikin bingung satu kelurahan. “Terus tadi kamu bawa kunci motor. Tapi gak ada motor gitu???” tanyaku penuh keheranan. ‘Bukankah pertanyaanku masuk akal? Yang tidak masuk akal adalah si Lala ini kan?’ Batinku.

“Nah gini, Kak, ceritanya. Jadi motorku tadi pagi bermasalah. Jadi aku titipin ke bengkel deket kos. Terus aku minta temenku cewek yang ojek online buat nganter aku.” Lugas Lala menjelaskan. Dengan segala penjelasan yang disertai gerak tangan. Lala mencoba menjelaskan seperti presentasi.

“Biasanya kan kuncinya ditinggal. Ini kamu bawa?” tanyaku kepada Lala. “Aku gak mudah percaya, Kak, sama orang. Jadi ya aku bawalah kuncinya! Kalo motorku dijual gimana?” ucap Lala melempar pendapatnya.

Oke. Mungkin si Lala ini antara sangat berhati-hati atau kebangetan. Aku juga bingung yang mana, atau malah bukan dua hal itu alasannya? Lalu apa kabar montir yang mau ngetes motornya Lala???

“Oke. Kos kamu dimana?” sahutku tanpa pikir panjang. Pertanyaanku basa basi banget. Karena pas interview dia udah jelasin lokasi kosnya. “Deket kampusku kok. Nanti aku arahin pas dijalan, Kak.” jawab Lala. Wajahnya yang imut mengekspresikan kesenangan mendapat boncengan gratis. “Ya udah ayok!” ajakku antusias.

~~~

Diperjalanan itu didominasi percakapan tentang kucingnya yang bernama Garry. Entah mengapa aku antusias sekali mendengarkan. Padahal aku gak begitu suka kucing. Dan kenapa kucing betina diberi nama Garry? Siput peliharaan SpongeBob aja cowok loh.

“Kasihan banget Garry. Dia terkena jamur di kupingnya.” Lala memberi informasi yang mengundang simpati, karena dia terlihat sedih saat bercerita. “Tapi udah kamu bawa ke dokter hewan kan?” tanyaku mencoba bersimpati walau dengan moralitas bukan pecinta kucing.

“Udah, Kak. Alhamdulillah sekarang mendingan,” jawab Lala dengan mata yang berkaca-kaca. Aku ikut lega mendengar kabar Garry si kucing jamuran. 

~~~

Tidak terasa perjalanan 15 menit sudah terlewati dengan cerita Garry yang menghiasi dalam perjalanan. Lala berterima kasih kepadaku sambil cium tangan?!

“Loh loh gak perlu pake cium tangan! Jadi ngerasa tua banget aku,” ucapku dengan nada terkejut. Meskipun terlihat sopan, tapi sejujurnya itu melukai hati pria 26 tahun ini. “Hihihi.. maaf, Kak, refleks soalnya,” sahut Lala dengan pipi memerah.

Lala tersenyum manis sekali kala itu. Matanya yang terpejam riang diikuti tawa kecilnya. Sungguh menyelimuti hati.

“Tunggu. Aku dan dia kan baru kenal. Kok jadi baper? Gak boleh gak boleh, Tobi harus profesional dalam bekerja! Tapi ini kan di luar jam kantor? Nope! Tetep gak boleh, lagian Lala terpaut 6 tahun lebih muda dariku. Merasa seperti pedofil. Cih!” Batinku bergejolak.

Aku pun berpamitan dengan Lala. Menarik gas dengan pelan, serta sesaat menengok ke belakang. Memastikan dia sudah masuk ke dalam kos. “Anjir. Dulu buatnya pake bahan berkualitas kali ya? Bisa secantik itu.” Diriku monolog. Sepanjang perjalanan pulang selalu teringat sikap sopan dia kepadaku tadi sore. Lebih jujurnya lagi, teringat wajah manis dan cantik si Lala.

Tuna AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang