Parkiran motor kantor Arseri di sisi kiri gedung kedatangan penghuni baru, sepeda motor klasik yang membuat laki-laki di sekitarku seketika berkasak kusuk.
Saat ini aku, Bang Sabda, Mas Jevan, dan Mas Bumi sedang nongkrong di teras samping yang menghadap langsung ke arah parkiran, sambil menunggu kedatangan Rifki dan Mas Ilham.
Keduanya ijin datang telat untuk latihan sore ini, katanya ada urusan keluarga.
"Ilham tiap ganti cewek, ikutan ganti motor." Komentar Mas Jevan saat Mas Ilham terpantau sedang memarkirkan motor barunya.
"Banyak juga duitnya." seru Mas Bumi dan Bang Sabda berbarengan. Aku cuma memandangi mereka bergantian tanpa berkomentar apapun.
Mas Ilham lalu jalan dengan penuh percaya diri ke arah kami. "Sorry ya telat."
Aku menangkap kode mata antara tiga cowok di depanku. Begitu Mas Ilham berdiri di samping Mas Bumi, tangan laki-laki itu langsung mengunci leher Mas Ilham, Mas Jevan juga beranjak menahan kedua tangan Mas Ilham yang coba memberontak lepas.
Bang Sabda menyempurnakan aksi dengan menggerayangi saku celana mencari sesuatu.
Pasti kontak motornya, dasar bocah. Padahal kan bisa minta pinjem baik-baik.
"Test drive," kata Bang Sabda dengan puas, begitu benda kecil berharga itu sudah di tangan.
Tak lama dia sudah duduk di atas motor baru Mas Ilham. "Bang mau kemana?" Respons bertanyaku lebih cepat daripada si pemilik motor itu sendiri.
"Apasih, kamu di situ aja." Laki-laki itu menjawab ketus.
"Ikut." Aku tiba-tiba jadi ingin mencoba duduk di boncengan motor itu.
"Ikut mulu, aku cuma ke depan bentar. Beli rokok di Indomaret."
"Iya, ikut pokoknya." Aku beranjak berdiri menyusulnya.
"Nanti sama Jevan aja."
"Nggak mau, sama Bang Sab aja."
Ketiga laki-laki tadi (Mas Jevan, Mas Ilham, dan Mas Bumi) cuma menyimak perdebatan kami, yang mungkin sudah jadi rutinitas membosankan bagi mereka semua.
Aku masih berkeras ikut, dan makin membuat Bang Sabda kesal karena nggak bisa langsung pergi, sebab sekarang posisiku berdiri mengangkangi ban depan motor.
"Awas ya, minggir." Bang Sabda sudah menstarter motor yang makin membuatku panik, tanganku rusuh berusaha mencabut paksa kontak motor tersebut. "Mas Jevan tolong," teriakku meminta bantuan.
Di tengah kehebohan itu, Rifki memasuki parkiran dengan tampang keheranan. "Ribut apa sih?"
"Nah, itu tuh. Naik motor sama Rifki aja sana, sama aja." Bang Sabda seperti lega telah menemukan penyelamat.
"Nggak mau, aku ikut naik motor ini aja."
"Ih, nggak boleh gitu loh. Rif, denger nggak Titah bilang apa? masa dia bilang nggak mau naik motor Lo." Bang Sabda malah bersikap licik memperkeruh suasana dengan kalimat bualannya.
"Aku nggak ngomong gitu kok."
"Parah Lo Ta, sakit hati banget Gue. Jelek-jelek gini motor Gue udah lunas ya. Malah belum tentu motor Bang Sabda lunas. Pasti masih nyicil kan Bang?"
"Bukan punya Gue, ini punya Ilham." Bang Sabda mengatakan itu sambil mengedikkan kepala ke arah Mas Ilham.
"Eh anjing, Gue nggak pernah beli nyicil ya." Mas Ilham rupanya kepanasan mendengar tuduhan Rifki.
Semuanya jadi makin ribut, sahut-sahutan ledekan bercampur tawa memberiku kesempatan mengambil helm Rifki yang dia letakkan di spion motornya.
"Ayo jalan cepet." Aku membenturkan helm Rifki ke helm yang dikenakan Bang Sabda.

KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA TITAH (selesai)
Chick-LitAku, Titah Cinta. Panggung demi panggung adalah duniaku, penuh tantangan yang harus kuhadapi tanpa ragu. Sebagai penyanyi aku terbiasa berdiri dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri di bawah sorot lampu. Aku juga terlatih menghadapi banyak tat...