21. Sering Kecewa

1.3K 221 54
                                        

Dari kecil aku sering kecewa, tahu nggak kenapa?

Karena aku sering berharap.

Aku berharap Papa akan memujiku saat semua nilaiku bagus, atau ketika aku menang berbagai lomba, tapi itu nggak pernah terjadi. Lalu aku kecewa.

Aku berharap Mama akan mendengar dengan antusias semua ceritaku, soal tipe cowok idamanku sampai siapa pacar pertamaku, tapi itu nggak pernah terjadi. Lalu aku kecewa.

Aku berharap pacar-pacarku dulu mencintaiku dengan tulus, bukan karena orang tuaku kaya, atau karena usahaku menyelesaikan tugas-tugas mereka. Tapi lagi-lagi itu nggak terjadi. Lalu aku kecewa.

Sekarang aku berharap Bang Sabda suatu hari akan mencintaiku, tapi saat mendengar cerita soal mantan-mantannya yang lebih dewasa dan pintar dariku. Lagi dan lagi, untuk ke sekian kalinya. Aku kecewa.

"Kamu sendiri gimana Ta? pasti belum pernah pacaran ya? mangkanya segitu penasarannya dicintai cowok?" Bang Sabda tertawa kecil di ujung kalimat tanyanya.

Aku pura-pura tertawa untuk menyembunyikan kegetiranku, lalu meminum pelan-pelan air mineral milikku.

Iya ya, segitu berharapnya kah aku pada bentuk cinta yang ideal

Lalu aku meletakkan semua beban itu ke pundak Bang Sabda. Untuk memenuhi semua ekspektasiku soal cinta, yang selama ini belum pernah kudapat secara penuh dan utuh.

"Balik yuk Bang, kasian anak-anak kelamaan nunggu."

"Mereka kan juga lagi pergi makan bakso, belum ngabarin kalau udah balik ke Arseri. Disini dulu aja, gantian aku mau denger masa lalu kamu." Bang Sabda mungkin menangkap raut gelisahku. Dia menjauhkan botol air mineral itu agar aku berhenti minum.

"Kamu beneran nggak pernah pacaran?"

"Pernah, tapi mungkin nggak se-epic kisahnya Bang Sabda."

"Emang gimana?"

"Ya, biasa aja. Dulu aku pernah pacaran sama ketua OSIS, tapi cuma dimanfaatin buat dapetin dana sponsorship dari Papaku buat kegiatan-kegiatan sekolah. Terus pernah juga pacaran sama anak Band, tapi cuma dimanfaatin buat ngerjain tugas-tugasnya." Aku melihat Bang Sabda menatapku dalam.

"Kamu sayang sama mereka waktu itu?"

"Sayang lah," kataku ragu. Aku nggak tahu arah pembicaraan ini, nada Bang Sabda seserius dosen yang bersiap menyampaikan informasi soal kuis dadakan. Tapi kenapa? Apa aku salah?

"Emm, gitu. Ta, menurutmu sayang itu apa sih? sayang itu kayak gimana?"

"Ini mau ngetes aku? ya gitu pokoknya. Aku nggak bisa jelasin gimana, terlalu abstrak buat dijelasin."

Dia tersenyum mengelus kepalaku sekilas. "Gimana orang lain bisa menuhin ekspektasimu, kalau kamu nggak bisa ngejelasin apa yang kamu rasakan dan harapkan." 

"Emang menurut Bang Sabda sayang itu apa?" Giliranku memutar pertanyaan itu untuk dijawabnya. Sepertinya dia tahu sekali soal itu.

"Kalau aku memahami sayang sebagai perasaan tulus yang nggak ngarep balesan. Banyak cara buat nunjukkin rasa sayang. Dari yang aku baca, ada namanya teori Chapman. Jadi beliau memetakan lima hal Ta, terkait ekspresi seseorang saat mengungkapkan atau menerima rasa sayang. Pertama, dengan verbal atau kata-kata, namanya Words of Affirmation. Kedua, lewat sentuhan kayak pelukan atau ciuman, namanya Physical Touch. Ketiga, ngebeliin atau ngasih sesuatu, disebutnya Receiving Gift. Keempat, ngabisin waktu bareng-bareng, disebut Quality Time. Terakhir, nge-treat dengan tindakan nyata contohnya masakin sesuatu, bantuin ngerjain sesuatu disebutnya Act of Service. Nah, semua orang bisa aja ngungkapin sayang pakai kelima cara itu, tapi pasti ada kecenderungan di satu atau dua cara tertentu."

Keras kepala membuatku nggak ingin dikoreksi dengan teori apapun. Entah kenapa, penjelasan panjang lebar dari Bang Sabda terdengar menyudutkan, setelah aku bercerita padanya soal masa laluku.

Jadi aku yang salah, karena merasa nggak disayang sama pacar-pacarku dulu?

"Oh gitu, jadi aku yang salah selama ini. Karena nggak memahami apapun. Jangankan paham, tahu aja nggak."

Bang Sabda menghela napas, "Titah, terserah mau kamu dengerin atau nggak. Tapi kalau aku boleh ngasih saran berdasar pengalamanku, baiknya urusan sayang atau apapun itu di hidup ini harus kamu sikapi dengan simple. Minimalisir ekspektasi, jangan cuma lihat keadaan dari sudut pandang orang pertama alias sudut pandangmu sendiri. Banyak-banyak bersyukur, kalau ada hal-hal yang nggak enak lewat di hidup kita, hadapi aja. Kadang kita juga harus bisa bertahan di keadaan paling sulit."

"Makasih Bang Sabda, perempuan-perempuan itu sangat beruntung pernah punya sisi Bang Sabda yang hangat dan romantis." Aku mengatakannya setengah hati.

Dia tertawa.

"Tapi mereka nggak sama aku sekarang. Mereka udah lebih bahagia harusnya sama laki-laki lain." Kalimat itu malah menjebakku di sebuah harapan baru.

***

Sedikit pendek, karena memang harusnya ini masuk ke part kemarin 🙏

Makasih ya yang sudah mau baca SABDA-TITAH. Aku tahu banyak yang penasaran soal POV SABDA.

Mohon bersabar yaaa.

Aku juga harus belajar lagi soal gaya penulisan dan perspektif laki-laki.

Oh ya, untuk semua kritik, saran, pertanyaan silahkan disampaikan yaaa. InsyaAllah aku jawab pelan-pelan satu persatu yaaa 💙💙✨🙏

Sehat-sehat yaaa semuanya, bahagia selaluuuu 🌼

SABDA TITAH (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang