2

44.8K 119 0
                                    

Desahan yang terdengar manja dari bibirku sepertinya diartikan oleh pemilik tangan kasar itu sebagai izin untuk lebih menjamah tubuhku. Sentuhan itu semakin intens sehingga tubuhku menggelinjang karena terangsang.

Aduh, tampaknya reaksi tubuhku ini disadari oleh yang lain. Tidak hanya satu tangan yang menggerayangiku, tetapi dua, empat, ah aku tidak tahu lagi. Seluruh tubuhku, antara leher dan lutut, menjadi sasaran mereka yag menyerang dengan remasan dan cubitan.

Untung saja tujuanku sudah dekat. Aku langsung meminta sopir untuk berhenti dan turun secepatnya. Bahaya kalau aku terlalu lama di sini, karena posisiku terkepung tubuh besar mereka sehingga mereka bisa berbuat apa saja terhadap tubuhku.

“Kiri pak!”

Aku langsung bergegas keluar di tengah desakan para pekerja itu. Remasan mereka semakin intense dan bahkan mencoba menarik bajuku.

Bahaya ini kalau dibiarkan, bisa-bisa tujuanku terlewat karena aku larut dalam sentuhan para pria itu. Aku juga tidak ingin mengambil risiko terjebak bersama mereka, sehingga aku memberanikan diri untuk menegur mereka.

“Lepasin!”

Mereka sontak berhenti mengerjaiku karena seluruh penumpang memandang ke arah belakang. Mau tidak mau para pria ini melepaskanku dan aku langsung buru-buru turun.

Bus langsung melaju sesaat kakiku menyentuh aspal. Aku membalikkan badan sambil menatap para pria itu dengan sorot mata tajam. Mereka tertawa gemas, sebagian lagi tampak menjulurkan lidahnya. Dasar pria-pria menjijikkan.

Saat berjalan ke arah perumahan, aku baru menyadari kancing kemeja ku terlepas. Sialan, tubuhku bagian depan terbuka. Beberapa kancing bajuku bahkan lepas karena tarikan pria kasar di bus tadi.

Aku langsung buru-buru mengancingi baju yang tersisa sambil berjalan ke arah perumahan. Di perumahan ini, orang yang bukan penghuni harus melapor ke pos jaga yang ada di gerbangnya.

Aku sebenarnya kurang menyukai para penjaga di sini. Dia menanggapi orang-orang kecil sepertiku dengan ketus, sementara penghuni dan orang-orang bermobil dengan sangat ramah.

Apalagi mereka sering menatap mesum ke arahku saat beberapa kali aku ke perumahan ini. Namun, aku tidak bisa berbuat apa apa, bahkan untuk menegur, karena aku butuh izin untuk masuk ke dalam.

“Mau ke mana” ujar salah satu penjaga sambil mengamatiku dari atas sampai bawah. Pandangan itu membuatku semakin gugup dan otomatis menyilangkan lengan di dadaku karena kancingnya terbuka.

“E-Eh.. mau ke rumah Bu Rani pak. Itu di mana ya pak?”

“Bu Rani yang mana?”

Aku langsung menyodorkan kartu nama yang diberikan ibu itu. Petugas membacanya, lalu menoleh ke petugas lainnya yang juga memperhatikan kami dari dalam pos.

“Ibu ini rumahnya di dekat bundaran utama, pagar tinggi warna hitam. Tapi kamu harus kami periksa dulu sambil tinggalkan identitas di sini”

Aku tertegun mendengar ucapan petugas itu. Aneh, sebelumnya tidak pernah seperti ini. Apa mungkin karena di awal masuk, aku tidak interaksi dengan mereka karena datang bersama majikanku?

“Gimana. Kalau tidak mau, ya sudah kamu tidak bisa masuk. Wong itu prosedur di sini” ujarnya semakin ketus.

Ah, sudahlah. Aku pasrah dan mengangguk pelan lalu masuk ke dalam pos. Aku merasa semakin gugup karena dia menyeringai sambil mengikuti ku dari belakang.

Cklek.

Pintu pos ditutup dan aku digiring ke sudut ruangan yang tidak terlihat dari luar. Aku merasa tersudut karena dua petugas itu berada di depan dan belakang.

“Identitas mana”

“I-iya pak” ucapku sambil menyodorkan kartu identitas yang kuambil dari dompet lusuhku. Tanganku masih melindungi dadaku karena kancing yang terlepas.

Dia menyimpan kartu identitasku di laci, sementara petugas lain yang dibelakangku menarik kedua tanganku ke atas.

“Ini prosedur pemeriksaan ya. Tanganmu di belakang kepala dulu, kami mau periksa”

Ah, aku tidak bisa melindungi pakaianku yang setengah terbuka karena kancingnya yang lepas. Posisi itu juga membuat bagian perutku agak tersingkap karena baju kekecilan ini tertarik ke atas.

Mereka berdua mengamatiku dengan mata jelalatan. Aku dibiarkan dengan posisi itu sementara satu petugas menggerayangiku dan yang lainnya mengambil video aksi tersebut.

“Pa-pak, kok begini..”

Meskipun mencoba berontak, aku sebenarnya menikmati sentuhan mereka. Cara tangannya yang menjelajahi tubuhku bukanlah untuk memeriksa, tetapi mempermainkanku.

Apalagi, rabaan mereka cukup lama di area buah dada dan di sela pahaku. Pakaianku sudah terbuka dan berantakan seiring sentuhan mereka.

“Sudah, turuti saja neng”

Aku memejamkan mata sambil menggigit bibirku. Tanganku yang saling bertaut di belakang kepalaku saling meremas untuk menahan gairah. Suara mereka yang tertawa membuatku semakin yakin mereka hanya bersenang-senang dengan tubuhku.

Di saat aku mulai menikmati sentuhan mereka, mereka tiba-tiba berhenti memeriksaku. Aku menghela napas panjang sambil menatap mereka sayu. Aku menanti aksi apa yang akan mereka lakukan kepadaku.

“Baiklah, sekarang aman. Ini identitasnya, Neng Putri ya. Maaf ya, kami hanya menjalankan tugas. Tapi kalau keenakan, ya tinggal ke sini lagi”

Omongan salah satu satpam itu membuat wajahku yang putih menjadi merah padam. Aku malu sejadi-jadinya karena ketahuan menikmati sentuhan mereka.

“E-engga kok pak. Maaf tadi refleks” ujarku sambil menutup mulutku. Aku lalu mengambil kartu identitas lalu bergegas keluar dari pos penjagaan.

Sesekali aku menoleh ke belakang, dan ternyata mereka masih mengamatiku dari jauh. Aku kembali membayangkan tangan-tangan kekar mereka kembali mempermainkanku.

Bisa gila ini. Selang beberapa jam, ada dua aksi dari para lelaki yang meningkatkan gairahku. Semua karena aksi pamer dengan majikan terakhirku yang membangkitkan hasrat ini.

Aku terus berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku tidak bisa mengikuti hasrat ini. Terlalu liar untuk dibiarkan. Aku harus bisa mengendalikan diri agar tidak terjatuh dalam jurang kenikmatan ini.

Cukup bagiku untuk memuaskan diri. Dengan kondisiku sebagai orang miskin ini, bisa saja orang-orang menjebakku dan menjadikanku pemuas nafsu mereka.
Bahkan bisa saja mereka menjualku.

Dengan kecantikan khas mojang priangan yang bermata sipit dan hidung mancung ini, aku bisa saja menggoda para lelaki. Namun, jika salah melangkah, aku akan dijual sama mereka nanti.

Aku harus bisa menjaga diri. Semoga saja Bu Rani bisa memberikan jalan keluar atas lilitan kemiskinan ini. Jadi pembantu di rumahnya pun tidak apa-apa, asalkan ada penghasilan.

Setelah tiba di rumah yang dimaksud, aku menarik nafas panjang sambil merapihkan kembali rambut yang berantakan dengan tanganku serta pakaianku.

Sambil memencet bel, aku berdoa semoga ini langkah yang terbaik untuk menyelamatkan hidupku dan kakekku. Semoga Bu Rani mau menerimaku dan memberiku pertolongan dari lilitan kelaparan ini.

Jika dia tidak bisa membantu, apakah aku harus masuk ke dalam jurang kesesatan itu? menjajakan tubuhku yang sintal ini kepada para hidung belang yang bisa aku rayu hanya demi segenggam beras?

Buruh NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang