Petunjuk arah yang diberikan Pak Doni cukup mudah sehingga aku bisa mencapai tujuan tanpa kehilangan arah. Tidak butuh waktu lama, aku mendapatkan tongkat alat bantu untuk kakek di toko perlengkapan medis yang ada di tengah-tengah pasar.
Ternyata pasar di sini cukup lengkap. Aku baru menyadari karena belum pernah ke sini. Maklum, uangku terlalu sedikit untuk berbelanja hal yang lain, jadi jarang sekali pergi ke pasar lain selain di dekat rumah.
Sepertinya aku bisa menambah pakaian untuk kami. Baju kakek sudah banyak yang jelek, sementara aku tidak mungkin pakai baju rombeng ke pabrik. Bisa-bisa mereka menang banyak karena melihat kulitku dari sobekan baju hihihi.
Aduh, bahaya. Aku sudah mulai berpikiran nakal. Aku mencoba alihkan pikiran kotor ini dengjan mengamati pakaian yang ada di salah satu pusat perbelanjaan di sana. Uang saku yang Bu Rani berikan cukup banyak. Jadi mungkin aku bisa membeli tiga stel pakaian untuk kakek, dan dua untukku dan masing-masing dapat beli dua set pakaian dalam.
Setelah mendapatkan beberapa baju untuk kakek, aku berjalan ke rak pakaian dalam. Aku terpaku bingung di dekat rak tersebut sambil memikirkan ukuran apa yang cocok untuk kakek. Aku baru sadar beberapa orang tampak mengamatiku dengan tatapan aneh.
Ternyata aku baru sadar, boks pakaian dalam pria sebagian besar bergambar pria ganteng dengan badan yang kekar. Sial, aku mungkin dikira orang cabul. Ingin rasanya lekas beranjak dari tempat ini, tetapi aku belum tahu ukuran pakaian yang cocok.
Akhirnya aku beranikan diri bertanya pada salah satu pramuniaga yang tengah merapikan kotak pakaian dalam. Mukaku memerah menahan malu karena baru pertama kali menanyakan hal ini kepada orang lain.
“Mas, permisi”
“Iya, ada yang bisa saya bantu kak?”
Aku terpana saat dia menoleh. Tatapan mata tajam dan rahang yang tegas menghiasi wajah gantengnya. Badannya yang cukup tinggi membuatku harus menengadah untuk sekadar menatapnya. Dadanya yang bidang dan tegap membuat hatiku bergetar.
“Anu… Kalau untuk pakaian dalam kakek saya, baiknya pakai yang mana ya?”
Sial, aku terlihat gugup. Aku harus menenangkan diri, karena selama ini melihat raut wajah seperti orang arab begini hanya bisa aku nikmati di brosur-brosur iklan. Dia lalu berbicara dengan senyum ramahnya,
“Kakeknya tingginya gimana? Badannya seperti apa? Kurus, apa gemuk kak?
“Sepertinya lebih tinggi dari saya sedikit mas. Mungkin segini. Badannya juga lebih kurus dari aku” ujarku sambil mengangkat tangan seakan menunjukkan ukuran tinggi kakek.
Pria itu tampak berpikir karena menyilangkan tangan dan memegang dagunya sambil melihat rak pakaian dalam. Ah, kegantengannya meningkat. Aku juga sadar, sesekali dia melirik ke arahku sambil mengamati rak pakaian. Aku jadi semakin gugup dengan lirikan tajam itu.
“Nah, mungkin bisa pakai yang ini mba” kata pria itu sambil mengambil salah satu boks yang berisi tiga pakaian dalam.
Aku tersenyum senang karena menemukan apa yang dicari. Setelah mengambil satu boks lagi dengan ukuran yang sama, aku mengucapkan terima kasih kepada mas ganteng itu.
“Mas makasih yaa” ujarku sambil melambaikan tangan lalu beralih ke lorong pakaian wanita.
Saat memilih pakaian untukku, pikiranku agak buyar karena masih membayangkan mas yang tadi. Dadaku berdegup kencang, karena belum pernah melihat pria setampan dan segagah itu. Jangan harap melihat seperti ini dari para lelaki di kampung yang miskin itu.
Ah sudahlah, dia tidak akan mau sama aku. Ya meskipun orang-orang bilang aku cantik, tetapi kan aku miskin. Tidak punya apa-apa. Tidak pantas naksir ke para pria tampan dan gagah seperti mas itu.
Aku meyakinkan diri sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu mencoba mengalihkan pikiran ini dengan mencari-cari pakaian yang cocok. Saat berkeliling di rak baju formal, aku mengambil satu stel kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam.
Aku juga menambah kaos dan legging yang sudah lama aku inginkan namun tidak terbeli. Selama ini, aku hanya mengenakan celana legging bekas dan celana jeans belel pemberian orang-orang yang tentu sudah longgar.
Saat melintasi rak pakaian dalam, aku bersemangat melihat ada beberapa set yang diskon. Namun, bentuknya aneh, terlalu kecil sepertinya. Tetapi ini ukuranku. Apa karena modelnya ya? Ah sudahlah, yang penting murah. Aku bisa dapat empat set karena diskonnya lumayan besar.
Hmm jadi penasaran dengan pakaian dalam itu. Aku pun langsung mencari kamar pas untuk menggunakannya. Maklum, celana dalam kan tidak bisa dicoba, jadi harus dibeli dulu baru dipakai.
Tetapi saat melihat kamar pas di sana hanya ditutup oleh tirai, aku menjadi bimbang. Apalagi kamar pas itu hanya tiga ruang dan tidak dipisah antara laki-laki dan perempuan. Takutnya saat aku mencoba, ada orang yang membuka tirai.
Namun entah setan apa yang merasukiku, aku akhirnya nekat dan mencoba pakaian dalam itu di sana. Aku juga merasa perlu mengganti pakaian dalam yang dikenakan, sudah usang dan tidak nyaman.
Aku mengambil kamar pas yang agak pojok biar lebih aman. Kututup tirai dan memastikan tidak ada celah intip, namun agak sulit karena tirai terus bergoyang karena ditiup kipas angin yang mengarah ke sini.
Aku melihat ke arah luar dan ruang tunggu tampak sepi. Sepertinya aman. Aku akhirnya memutuskan untuk tetap mengganti pakaian dalamku di sana meski dengan perasaan deg-degan.
Di antara rasa khawatir untuk mengintip, ada perasaan lain yang menjalar dari perut menuju ulu hatiku. Nafsu syahwat tiba-tiba menguasai tubuhku saat aku menanggalkan pakaian satu per satu.
Namanya juga mau mencoba pakaian dalam, jadi semua yang aku pakai harus dilepaskan. Aku menoleh ke arah tirai, untuk memastikannya rapat. Aku pun sengaja menggantungkan baju di atas tirai agar orang-orang tahu ada yang menggunakan kamar pas ini.
Aku menatap tubuh polosku di cermin full body itu. Wajah oriental dengan kulit putih mulus, tubuh yang padat berisi dengan ukuran gunung kembar yang besar dan sekal. Aku sesekali memutar tubuhku untuk mengamati secara keseluruhan.
Ah, kecantikan ini mungkin bisa menggoda siapa saja, termasuk mas ganteng tadi. Aku bahkan berharap dia datang ke sini dan bercinta denganku sambil melihat cermin.
Gila, pikiranku bertambah liar. Aku bahkan membiarkan tirai agak sedikit terbuka dan berharap ada yang mengintip.
Aku lalu mencoba pakaian dalam yang dipilih satu per satu. Semuanya berukuran pas, tidak kesempitan. Sepertinya memang modelnya seperti ini, tipis dan cenderung mini. Untuk bra tidak masalah, namun celana dalamnya sangat kecil, hanya membalut area sensitifku dan sedikit pinggangku.
Bahkan, dari belakang, garis bokongku masih mengintip, lalu dengan kain yang semakin menyempit sehingga bongkahan pantatku terpapar sempurna.
Celana dalam ini sangat seksi, namun aku menyukainya. Aku merasa lebih percaya diri karena menonjolkan aset-aset yang kumiliki.
Setelah puas memandang tubuh berbalut pakaian dalam ini di depan cermin, aku kembali mengenakan kaos dan celana jeans ketat yang kemarin diberikan Bu Rani.
Saat menoleh, aku tersadar tirai yang ada terbuka setengah. Aku panik sambil menoleh keluar. Untungnya, saat itu tidak ada orang yang ada di sekitar kamar ganti.
Sebenarnya saat mengamati tubuhku yang hanya mengenakan pakaian dalam, aku mendengar beberapa langkah seperti mondar-mandir di sekitar kamar pas. Namun, aku tidak menghiraukan itu karena terlalu fokus menikmati tubuh ini dan merasa tirainya telah kututup serapat mungkin.
Aku lalu bergegas ke konter penitipan dan mengambil tongkat untuk kakekku di sana, lalu berjalan terburu-buru keluar pusat perbelanjaan itu. Aku merasa ada yang mengikutiku, tapi aku tidak berani menoleh karena takut. Saat menunggu bus di halte, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku sehingga membuatku terkejut.
“Aahh!”

KAMU SEDANG MEMBACA
Buruh Nakal
Ficción GeneralPerkenalkan, namaku Putri, wanita yang bekerja di salah satu pabrik pengolahan kayu tua di pinggir kota. Memang di pabrik itu hanya akulah satu-satunya perempuan yang bekerja di sana. Maklum, tidak ada pekerjaan lainnya, sementara kakekku yang tua r...