Ding dong
Tidak lama dari aku memencet bel, seorang perempuan paruh baya datang dan membukakan pagar. Dia tidak menggeser pagar susah payah, hanya menekan tombol di pojok dalam pagar. Canggih.
Aku terpana saat melihat rumah mewah dan megah itu. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat dari dekat rumah sebesar dan seindah ini.
“Mau cari siapa mba”
Suara ramah ibu itu membuyarkan lamunanku. Perawakannya lebih pendek dariku, namun tubuhnya cukup berisi dan sehat.
“Ah, maaf bu.. Saya mau mencari Bu Rani” ujarku sambil menundukkan badan. Satu tanganku tidak lepas dari baju kemeja bagian dada yang telah copot kancingnya.
“Mba nya dari mana?”
“Minta tolong bilang saya Putri, cucunya yang ketemu di rumah sakit bulan lalu”
Wanita itu lalu menatapku heran. Mungkin karena aku menyebut ketemu Ibu Rani di rumah sakit kali yah.
“Hmmm.. Baiklah. Saya bilang ke Ibu seperti yang dirimu bilang yah mba”
“Iya bu”
Dia lalu masuk ke dalam, sementara aku masih menunggu di luar pagar sambil mengamati gerbang perumahan yang masih dalam jarak pandang.
Aku masih khawatir dua satpam bejat itu masih mau menyerangku. Apalagi, dari kejauhan ternyata mereka melihat ke arahku.
Beruntung ibu itu langsung keluar sambil tergopoh-gopoh. Dia langsung mempersilakan aku masuk sambil menarikku ke dalam.
“Ibu langsung bilang mau ketemu kamu. Secepatnya. Ayo buru mba” ujar ibu itu sambil mendorong pelan tubuhku.
Ibu Rani ternyata menunggu di dalam sesaat aku membuka pintu. Dia menyambutku dengan semringah dan langsung menggenggam kedua tanganku.
“Aduh si cantik datang ke rumah. Gimana gimana, ada yang bisa ibu bantu? Gimana keadaan kakekmu? Aduh, ini bajumu kenapa?”
Rentetan pertanyaan itu membuatku semakin gugup. Aku lalu digiring oleh Bu Rani ke sofa yang teronggok di ruang depan itu.
Sofa nya cukup besar sehingga membuat tubuhku seakan tenggelam. Perempuan cantik itu lalu masuk ke dalam beberapa saat dan mendatangiku sambil membawa sepasang pakaian bagus.
“Pakai ini dulu. Ini pakaian dari almarhum anak saya, perawakannya sana seperti kamu. Coba sana, mudah-mudahan cocok ya. Bibi, tolong antar Putri ke toilet yang di bawah”
Perempuan paruh baya itu mengangguk sambil melakukan perintah majikannya. Tanpa disuruh, aku lalu mengikutinya hingga ke depan toilet.
Aku lagi-lagi terpana saat masuk ke toilet tamu itu. Ukurannya sebesar gubukku dan jauh lebih bersih. Kalau boleh memilih, lebih baik aku tidur di sini dibandingkan gubuk itu.
Tanpa berlama-lama aku mengganti pakaianku. Kaos oblong pink polos dan celana skinny jeans yang benar-benar pas di tubuhku. Aku lalu menyisir rambutku lalu mengikatnya dengan karet gelang yang kebetulan ada di lantai.
Sepertinya itu tidak dipakai, toh aku menemukannya di lantai. Saat keluar toilet, perempuan itu memandangku sambil mengerutkan keningnya.
“Kamu ikat rambut pakai apa?”
“Eh.. Ini aku dapat karet gelang dari lantai bu”
Aku gugup, takut apakah tindakanku itu dianggap buruk. Aku juga salah, seenaknya mengambil barang di sana meskipun sudah tergeletak di lantai.
“Ma-maaf bu. Aku pikir karena di lantai itu jadi sampah yang bisa diambil”
Perempuan itu lalu menggelengkan kepala. Dia merogoh sakunya dan mengambil penjepit rambut yang lebih layak dan bagus.
“Bukan gitu, masa ikat rambut pakai karet kotor. Ini pakai punya saya. Ayo kita kembali ke tempat ibu”
Aku terharu. Mataku panas dan berair karena merasakan kebaikan dari perempuan itu. Aku lalu mengangguk kencang dan berjalan sambil kembali mengikutinya dari belakang.
Saat mulai mendekati Bu Rani, dia melihatku sambil tersenyum tipis. Matanya mengamatiku dalam, seperti mengenang masa lalu yang berselimut duka.
Air mata menetes tipis dari pelupuk matanya. Aku menjadi kikuk melihat ibu yang cantik itu menangis. Mungkin dia menyadari kegugupanku, sehingga dia buru-buru memberi penjelasan sambil menenangkan aku.
“Eh, maaf ibu jadi teringat Nisa, almarhumah anak ibu yang mirip sekali perawakannya dengan kamu, Putri. Jadi waktu kamu pakai baju itu, saya jadi merasa melihat anak saya kembali”
Aku menjadi iba karena Bu Rani menyimpan duka yang mendalam, namun sikapku semakin canggung karena tidak tahu berbuat apa. Aku jadi berpikir keras sambil menggigit jari, sementara kaki ku tampak bergerak-gerak gelisah.
Tiba-tiba Bu Rani tertawa, mungkin dia menganggap tingkahku lucu. Dia lalu kembali menenangkan diriku dengan mencoba bertanya tujuanku ke rumahnya.
“Sudah-sudah. Tidak usah dipikirkan. Sekarang ibu mau tahu, tujuan kamu ke sini apa? Ada yang bisa aku bantu?”
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menata kata agar tidak salah terucap, karena aku akan meminta bantuannya.
“Begini bu.. Setelah tabrakan kemarin, Mbah sudah tidak bisa bekerja lagi ternyata. Selama ini, hanya mbah yang mencari uang untuk kami makan, sementara saya dilarang untuk ke luar karena takut kenapa-kenapa”
Bu Rani menatapku iba. Dia segera beranjak menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Saat menuju ke kamarnya, dia sempat memanggil perempuan tua itu untuk membawakanku minuman.
“Mbok Marni, tolong ambilkan minum untuk Putri, sama makan siang yang tadi dibungkus semua ya, ada rantang yang masih bagus kan?”
“Baik bu, nanti saya bungkus semua makanannya”
Oh, perempuan baik itu bernama Mbok Marni. Aku lalu mengamati kedua perempuan itu berjalan ke arah yang berlawanan. Bu Rani berjalan ke arah tangga, sementara Mbok Marni bergegas ke arah belakang.
Tidak lama kemudian, Bu Rani yang duluan datang menghampiriku. Di genggamannya terdapat amplop cokelat yang cukup tebal. Bahkan beliau ingin memberikanku pekerjaan sebagai salah satu pembantu di rumahnya.
“Ini ada sedikit uang untuk mbah di rumah. Lalu begini, seminggu lagi, kamu kembali ke sini yah. Bantu-bantu Mbok Marni di sini. Nanti ibu gaji kamu kok. Jadi, kamu ada penghasilan untuk bantu-bantu mbah nya. Nanti mbah nya jangan kerja lagi”
Aku tercekat. Bu Rani terlalu baik. Aku tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini. Aku mencium tangan Bu Rani sambil menangis tersedu-sedu.
“Ibuu terima kasih banyakk.. Saya tidak menyangka ibu akan membantu seperti ini. Saya akan balas kebaikan itu, Saya akan berbuat yang terbaik untuk ibu”
Bu Rani lalu membelai kepalaku dan berkata lembut.
“Sudah-sudah. Pulang dulu, minggu depan baru ke sini yah, Ibu masih ada urusan dulu ke luar kota. Jadi belum bisa urus di sini”
“Baik bu” Aku mengangguk mantap.
Mbok Marni datang menghampiri tidak lama kemudian. Dia membawa satu rantang makanan yang masih hangat.
“Ini bu, untuk Mba Putri nya. Mba, dimakan ya makanannya. Ini bukan makanan sisa kok.. Ibu bilang, ambil semua dari meja makan, jadi ini yang masih bisa dimakan”
“Terima kasih buu..” Aku lalu memeluk Mbok Marni sambil tersedu-sedu. Dia membalas pelukanku sambil menepuk-nepuk punggungku.
“Dimakan ya.. Panggil saja saya Mbok Marni” ujarnya sambil tersenyum.
“Baiklah. Mbok, antar Putri keluar ya”
“Baik bu”
Aku pun pulang sambil bernapas lega. Akhirnya salah satu masalah hidupku terselesaikan. Aku memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk memperpanjang kehidupanku dan kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruh Nakal
General FictionPerkenalkan, namaku Putri, wanita yang bekerja di salah satu pabrik pengolahan kayu tua di pinggir kota. Memang di pabrik itu hanya akulah satu-satunya perempuan yang bekerja di sana. Maklum, tidak ada pekerjaan lainnya, sementara kakekku yang tua r...