Aku tidak pernah bangun pagi sebahagia ini selama hidup. Tidurku sangat nyenyak di kamar yang bersih dan kasur yang empuk. Sendirian, karena Kakek tidur di kamar yang lain.
Tenang saja, kakek juga tidur di tempat yang nyaman. Bahkan, dia aku tempatkan di kamar depan yang lebih luas. Malam kemarin, awalnya dia tampak ragu dengan ruangan yang baginya terlalu mewah.
Kasur empuk yang dia tiduri sangat jauhh lebih baik daripada dipan kayu beralas karpet buluk di gubuk. Ada juga AC yang siap mendinginkan ruangan jika udara di dalam ruangan terlalu panas sehingga dia tidak perlu berkipas.
Malam itu kami tidak henti-hentinya bersyukur. Bahkan kakek langsung tertidur lelap setelah berbaring di kasur dengan sprei berwarna putih gading.
Begitu pun aku. Tidak butuh waktu lama aku langsung terlelap dan menuju alam mimpi hingga pagi menjelang.
Aku memulai pagi itu dengan berkeliling di sekitar rumah karena saat bersama Bu Rani kemarin, kami tidak melihat rumah sepenuhnya. Saya mengecek seluruh ruangan yang ada, mulai dari kamar tidur kakek, ruang tamu, hingga dapur kotor dan kamar mandi yang ada di halaman belakang.
Sebenarnya aku kurang suka dengan posisi kamar mandi yang berada di area belakang yang terbuka. Apalagi, orang-orang bisa saja masuk ke dalam rumah melalui pagar belakang yang tingginya hanya sekitar 2,5 meter.
Aku semakin waswas karena di sebelah rumah ini adalah tanah kosong sehingga posisi ruang belakang ini rawan dimasuki orang. Tidak jauh dari sana, terdengar suara aktivitas orang membangun lantai dua rumah tetangga.
Jika diamati, para tukang bangunan di sana bakal bisa melihatku keluar masuk kamar mandi. Aku khawatir mereka bisa saja menggangguku dan tinggal masuk ke dalam rumah dengan memanjat dinding belakang.
Namun, aku tidak mungkin protes ke Bu Rani karena bakal menjadi manusia yang tidak tahu diuntung. Dapat ini saja sudah syukur. Mungkin nanti aku harus lebih berhati-hati dan terus mengunci pintu belakang.
Ah sial, ternyata anak kuncinya sudah berkarat sehingga tidak bisa dipakai. Aku menghela nafas panjang dan mencari cara untuk mengunci pintu.
Sepertinya aku bisa menggunakan tungkai sapu untuk mengganjal pintu dari dalam nanti. Aku tersenyum lega karena ukuran tungkai sapu nya cukup untuk menahan engsel pintu sehingga tidak bisa dibuka dari luar.
Oke, saatnya berangkat ke pabrik. Namun, saat aku bersiap mandi, tiba-tiba pintu depan diketok. Aku langsung panik karena masih mengenakan handuk kecil dan kumal yang kubawa dari rumah.
Handuk itu bahkan tidak menutupi belahan gunung kembarku dengan sempurna. Saking kecilnya, handuk itu hanya menutupi sedikit dari bawah pangkal pahaku dan tidak bisa dililit sehingga masih menyisakan celah kulit yang terbuka.
Toktoktok
“Mba Putri, ini saya Pak Rozak. Mau memberikan formulir domisili di komplek ini untuk administrasi”
Aduh, itu ternyata Pak RT. Aku semakin bingung karena baju yang aku lepaskan tadi sudah terlanjur aku lemparkan ke baskom cucian. Maklum, baju layak pakai yang kumiliki
sangat sedikit sehingga harus sering dicuci.
“I-iya pakk sebentar”
Ah, sudahlah. Tidak ada waktu lagi. Kalau kelamaan, aku khawatir akan membuat Pak RT jengkel. Aku langsung bergegas membuka pintu dan menghadapi Pak RT sambil bersembunyi di balik pintu.
“Walah, lagi mau mandi ya mba? Maaf nih, pagi-pagi saya ganggu. Biar lebih cepat kelarnya, mba juga bisa masuk ke dalam komplek dengan leluasa”
“Eh, iya pak. Nanti saya isi ya pak.. Saya mau berangkat ke pabriknya Bu Rani dulu”
“Aduh.. gimana ya. Sebaiknya diisi pagi ini biar nanti Mba Putri ga ketahan di pintu depan, ditanya-tanya sama pak satpam”
Aku diam sesaat dan akhirnya menganggukkan kepala lemah. Aku terpaksa mengulurkan tangan untuk mengambil formulir itu. Sepertinya Pak RT sengaja berdiri agak jauh, agar aku mencondongkan tubuh ke depan sehingga tubuhku terpapar lebih jelas.
Sepertinya tujuannya tercapai. Aku melihat matanya jelalatan memandang tubuhku yang terbuka. Lengan hingga pangkal dan sebagian dadaku terbuka dan memperlihatkan putih mulus kulitnya.
“Nnghh. Sudah ya pak, sebentar saya isi dulu” ujarku sambil menutup pintu.
Tapi ternyata lelaki tua itu menahan pintu sambil berkata ketus. Ucapannya membuatku tidak berkutik dan menurutinya.
“Heh. Kamu itu ga sopan ya ke yang lebih tua. Terus kamu mau suruh saya menunggu di depan dengan pintu tertutup? Saya ini Pak RT lho di sini”
“E-eh, maaf pak. Saya salah. Baik pak, silakan masuk” ucapku sambil membuka pintu dan mempersilakan duduk.
“Nah, begitu dong. Saya haus nih Mba Putri. Boleh minta air teh manis?”
Aku yang berdiri mematung dan hanya terlilit handuk mini menjadi suguhan menarik. Dia memandangku dari atas hingga bawah dengan tatapan ingin melahapku. Aku jadi merinding dan berharap dia cepat keluar dari rumah ini.
“I-iya pak. Sebentar”
Aku berjalan agak cepat ke arah dapur dan mengambilkan minuman. Saat menyeduh teh, tiba-tiba Pak RT meminta sesuatu yang ganjil. Dia meminta aku datang sambil membawa teko yang berisi air panas.
“Sekalian teko panas nya ya Putri. Biar bisa saya refill”
“Baik. Tunggu sebentar pak”
Aku manut saja seperti sapi yang dicolok hidungnya. Aku merasa perlu menuruti semua kata-katanya biar dia cepat pergi dari rumah ini. Tapi tidak mungkin aku membawa teko dan cangkir teh tanpa menggunakan baki.
Setelah menemukan baki, aku berjalan menuju ruang tamu. Tentu aku kesulitan karena handuk kecil yang melilit tubuhku harus aku jepit dengan ketiak agar tidak melorot.
Namun handuk sialan ini tidak berpihak kepadaku. Saat hampir tiba di meja dekat sofa, tiba-tiba handukku melorot dan memperlihatkan tubuhku.
Aku ingin menutupinya, tetapi pasti teko dan cangkir yang ada di baki akan jatuh dan pecah. Saat aku menatap Pak RT, ternyata dia telah merekam kondisiku sambil menyeringai.
“Kamu mau menggoda bapak yaa.. Rekaman ini bakal jadi bukti dan akan saya adukan ke Bu Rani. Ternyata, Putri yang dia bawa ke rumah ini adalah perempuan penggoda”
Aku tentu panik mendengar hal itu. Ingin rasanya aku melempar air panas di teko ini ke arah muka mesumnya. Tapi tidak mungkin karena akan memperburuk suasana.
“Kamu harus nurut bapak. Sekarang, jalan ke sini dengan kondisi seperti itu”
Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Aku berjalan menunduk dan membiarkan area sensitifku terpampang bebas, sementara dia kembali merekamku. Mukaku memerah malu karena dipermalukan seperti ini.
Saat aku menunduk untuk meletakkan teh dan teko itu, tiba-tiba dia meremas keras gunung kembarku yang menjuntai.
“Mmmh..”
Aku hanya bisa merintih sambil menggigit bibir bawahku. Remasan itu membuatku terangsang di sela-sela ketakutanku. Aku menahan teriakanku agar kakek tidak terbangun. Aku tidak mau dia melihatku dilecehkan seperti ini.
“Mantap. Sekel. Bagus barangnya ha ha ha” Dia meremas daging empuk ini sepuasnya.
Aku hanya bisa mematung dengan posisi membungkuk. Namun, rangsangan dari aksi itu membuat pinggulku sedikit bergoyang. Melihat reaksi seperti itu, dia terkekeh sambil berjalan ke arah pintu.
“Sekarang segitu dulu. Sudah agak siang, dan saya pulang dulu sebelum istri di rumah curiga. Ingat ya. Kau harus menuruti kata-kataku jika tidak ingin video ini sampai ke Bu Rani” ujarnya sambil menutup pintu.
Kaki lemas, tubuhku terhempas di lantai dan bersimpuh. Aku menangisi nasib buruk yang bakal menimpa. Video itu cukup untuk membuatku terusir dan kembali terhempas ke dunia miskin itu. Mau tidak mau, meskipun tidak suka, aku harus menuruti semua yang Pak RT inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruh Nakal
General FictionPerkenalkan, namaku Putri, wanita yang bekerja di salah satu pabrik pengolahan kayu tua di pinggir kota. Memang di pabrik itu hanya akulah satu-satunya perempuan yang bekerja di sana. Maklum, tidak ada pekerjaan lainnya, sementara kakekku yang tua r...