6

43.3K 124 0
                                    

Pelecehan yang dilakukan Pak RT membuatku shock. Aku hanya terdiam berdiri di bawah shower yang mengucurkan air, membiarkan rambut dan tubuhku basah dengan bulir-bulir yang seakan berpacu di permukaan kulit mulusku.

Kecantikan dan kulit mulus ini adalah satu-satunya anugerah yang kudapat dari lahir. Meskipun lahir dan besar di lingkungan miskin, aku adalah perempuan satu-satunya dengan kulit mulus di sana. Karena itu, para pria di sana ingin sekali mendekatiku sehingga kakek menjadi posesif

dan tidak memperbolehkanku ke mana-mana.

Ah, sudahlah, semua sudah terjadi. Aku tidak bisa kembali mengulang waktu dan memilih untuk mengenakan baju yang basah dibandingkan harus berakhir seperti ini. Sialnya, aku juga terangsang dengan perlakuan tidak senonoh itu. Bahkan, aku merasa liang ku becek saat membersihkannya.

Tangan ini pun bermain dengan lincah di sana. Aku menyandarkan tubuhku di dinding dan mencari kenikmatan nafsu yang telah meninggi karena dikerjain oleh tangan kasar Pak RT.

“Nnnghh.. Aaahh”

Aku mengerang cukup kencang dan mendapatkan klimaks. Aku terduduk di bawah shower yang masih mengeluarkan air. Nafasku tersengal, mulutku terbuka karena merasakan puncak kenikmatan.

Semenjak aku dilecehkan saat menjadi tukang cuci, aku menjadi lebih sering mencari kenikmatan dengan tangan sendiri. Aku mengenal cara itu saat dikerjain eks majikanku berkali-kali sampai aku merasakan kenikmatan syahwat yang luar biasa.

Aku bahkan membayangkan bisa menjilat liangku sendiri karena apa yang dilakukan eks majikanku itu enak banget, nikmat tiada tara. Aku sambil menggelinjang dan mencapai klimaks berkali-kali jika dijilat oleh lidah kasar pria berbadan besar itu.

Kepuasan ini membuat kaki ku lemas. Aku mencoba berdiri dengan menopang tubuhku ke dinding, lalu berjalan keluar kamar mandi dengan tertatih sambil memegang sisi handukku. Aku sudah terlalu malas melilitkannya, jadi hanya memegang kedua ujung handuk sambil menjepitkannya dengan lenganku.

Saat membuka pintu belakang, aku mengalami kesulitan karena pintunya macet. Aku mencoba membukanya, tetapi engsel pintunya sangat kaku. Aku mencoba berkali-kali sambil menoleh ke arah bangunan yang direnovasi tidak jauh dari rumahku untuk memastikan para tukang bangunan tidak mengamatiku.

Dugaanku bertolak belakang dengan kenyataan. Saat menoleh, ternyata para tukang mengamatiku. Sepertinya lima, atau enam. Entahlah, aku keburu panik karena mereka melihatku dengan mata jelalatan.

Apalagi dengan handuk yang hanya menutupi sebagian tubuhku. Kulit mulus yang terpampang sempurna ini tentu membuat batang pria normal mana pun akan cepat berdiri dan ingin menikmatinya.

Pandangan kami yang beradu membuatku semakin gugup. Aku semakin panik saat mereka mendekatiku dengan cara melalui tembok ke tembok sambil menanyakan kondisiku.

“Bisa ga neng? Kalau engga, kami yang ke sana buka pintu nya” ujar salah satu kuli.

“Buka yang lain juga ha ha ha” yang lain menimpali sambil melihat dengan tatapan mesum.

Oh tidak, aku bakal dikerjain lagi ini. Aku mencoba semakin kencang dan bahkan agak mendobraknya. Tanganku sudah tidak fokus lagi menahan handuk karena keduanya berada di engsel pintu untuk memaksa masuk ke dalam.

Belahan gunung kembarku udah ke mana-mana karena tubuhku terguncang saat mencoba membuka pintu. Bahkan, bagian sisi tubuhku agak terbuka karena ujung handuk yang tidak dipegang. Aku melihat mereka dengan tatapan takut karena sorot mata mereka yang sangat ingin menyerangku.

Cklek

Akhirnya terbuka. Aku langsung masuk ke dalam secepat kilat dan mengunci pintu dengan sapu. Aku terduduk di balik pintu dan bersembunyi sambil mendengar gelak tawa mereka yang menggodaku. Aku harus berhati-hati karena tidak ingin hal-hal yang buruk menimpaku.

Cukup bandot tua bernama Rozak itu saja yang memegang kartu AS ku. Sebenarnya aku dipaksa, tetapi dia mahir mengambil gambar sehingga aku tampak seperti rela dipermainkan.

Aku mengintip ke luar untuk memastikan para kuli kasar itu kembali ke tempat mereka. Aku menghela nafas lega saat mendengar sayup-sayup suara mereka mengerjakan kesibukan masing-masing.

Aku tidak ingin begini. Namun, jika aku mengadu, mereka pasti akan mencelakaiku. Aku mau pindah ke mana lagi. Jadi, aku akhirnya harus bisa mencari cara agar tidak mengalami hal yang sama.

“Putri ngintip apa di belakang? Mbah lapar.. mau makan”

Aku terkejut karena tiba-tiba kakek datang ke arahku sambil merangkak. Karena rumah ini lebih luas dari gubuk, jadi dia merangkak lebih jauh. Aku menghampiri kakekku dan memapahnya ke kursi makan.

Posisi handukku udah ke mana-mana. Bahkan, sebelah gunung kembarku sudah terpampang bulat. Namun, aku tidak merasa canggung karena hanya ada kakekku di sana.

“Kamu pakai baju dulu tho… Ini mbah sudah bisa duduk aman”

“He he. Iya mbah, sebentar ya. Mbah makan dulu saja, ini sudah disiapkan di atas meja semua.”

Aku lalu mengenakan pakaian setelah menyiapkan makan kakekku. Setelah itu, aku membantunya ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat lalu mandi.

“Sudah, mbah nanti bisa merangkak sendiri” ujarnya menolak saat aku ingin menunggu di depan kamar mandi.

Aku yakin interaksi ini terlihat dari para tukang itu. Untungnya, mereka tidak nekat menghampiri dan tetap bekerja meskipun dari sudut mataku, aku melihat mereka mengamati kami.

“Baiklah mbah. Putri mau keluar dulu ya mbah, mau beli sesuatu”

“Yasudah, mbah bisa sendiri di sini. Justru mbah bisa lebih betah hehe”

Aku lalu pamit dan keluar menuju jalan raya. Di Pos depan, tampak Doni tengah menonton tivi sambil berjaga.

Senyumnya merekah saat aku mendatanginya. Dia lalu keluar dari pos dan menghampiriku sambil menawarkan bantuan.

“Ada yang bisa saya bantu Mba Putri?”

“Iya nih Kang Doni. Saya pengen beli tongkat buat kakek saya, beli nya di mana ya?”

“Oh, mba bisa cek di pasar yang ada di dekat sini. Tinggal naik angkot warna biru, lalu berhenti di pasar. Tidak usah menyeberang ya, angkotnya ada di sisi kiri kok”

“Makasihh Kang. Oiya kang, aku mau sekalian nanya deh, kalau mau ke pabrik enaknya pakai apa ya?”

“Itu lebih gampang sebenarnya. Mba keluar komplek tinggal nyebrang, lalu naik mikrolet yang warna biru. Nanti tinggal berhenti di terminal, lalu naik ojek ke arah pabrik. Atau bisa naik angkot warna cokelat, nanti turun pinggir jalan yang ada plang pabriknya”

Aku merasa terbantu dengan arahan-arahan itu. Doni jua menjelaskannya dengan baik sehingga mudah diingat. Saat kami berbincang, satu pria besar dan tambun datang menghampiri.

Kedatangannya membuat Doni langsung bersikap siap. Ternyata dia adalah kepala keamanan di komplek ini.

“Siap pak. Perintah”

“Kamu habis ini patroli seperti biasa ya. Jangan lupa cek bagian belakang. Ada tukang dari bangunan yang menempel dengan tembok komplek bisa masuk ke sini. Muter-muter saja biar mereka tahu komplek kita penuh pengawasan”

“Siap pak. Saya berangkat sekarang”

Pria itu lalu menoleh ke arahku yang mengamati interaksi mereka, lalu kubalas dengan senyuman sambil mengangguk.

“Perkenalkan Pak.. Saya Putri, yang dibawa Bu Rani untuk menjaga rumahnya di sini. Saya bersama kakek tinggal di rumah dekat bundaran”

“Oh, ini yang namanya Mba Putri. Perkenalkan, saya Dirman. Kepala keamanan di komplek ini,” ujarnya sambil tersenyum penuh arti sambil mengedarkan pandangannya seakan memindai tubuhku.

Aku mulai risih dengan tatapannya. Aku heran, dia seakan ingin melahapku, padahal kami baru saja bertemu. Aku langsung buru-buru meninggalkan pos karena takut diapa-apain.

“Saya berangkat dulu ya pak.. ada urusan dulu” aku mencoba menghindar dan pergi meninggalkan Pak Dirman.

Buruh NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang